Bab 2

83.7K 6.4K 440
                                    

Selamat Membaca









Setelah menghabiskan waktu di hotel, Elang membawa Nadella ke rumah yang baru kali ini gadis itu kunjungi. Dia turun dari dari mobil, dan memandangi rumah di depannya ini. Tidak terlalu besar dan mewah, tapi sederhana dan terlihat sangat nyaman untuk ditinggali.

“Ayo masuk,” ajak Elang setelah mengambil koper mereka di bagasi mobil.

Nadella tersenyum dan mengangguk. Dia mengikuti langkah Elang memasuki rumah itu.

“Rumahnya nggak sebesar rumah Ayah. Maaf, ya,” katanya setelah mereka berada di ruang tamu.

Nadella menggeleng. “Ini udah cukup, kok, Mas,” balasnya.

Ya. Gadis itu masih tahu diri. Elang terpaksa menikah dengannya. Tapi, lelaki itu sudah menyiapkan rumah untuk mereka. Bukankah ini memang sudah lebih dari cukup?

“Mau lihat kamar kita?” tanya Elang sambil melemparkan senyuman menggoda kepada Nadella, gadis itu mau tak mau ikut tersenyum membalas Elang. Dia mengangguk.

Elang tersenyum lebar, meraih tangan Nadella, dan membawa berjalan menuju kamar yang ada di ruang tengah.

“Ini kamar kita,” kata Elang setelah mereka berada di dalam kamar.

Nadella berjalan ke arah jendela besar di sisi kamar. Jendela itu menghadap langsung ke taman kecil di samping rumah. Ada sebuah ayunan di bawah pohon besar di sana. Terlihat sangat nyaman.

“Aku bangun rumah ini pakai uang aku sendiri,” ujar Elang sambil melingkari tubuh Nadella dengan pelukannya. “Ayah sama Bunda sempat bilang mau bantu. Tapi, aku nolak. Aku pikir, aku mau buat bangga istriku karena aku berhasil membangun rumah sendiri. Hasil jerih payah aku sendiri.”

Nadella tersenyum miris tanpa sepengetahuan Elang. Lelaki itu berhasil membuat rumah dengan uangnya sendiri. Tapi, kini malah harus menikah dengan gadis yang tidak dia cintai.

Nadella memberanikan mengusap pelan tangan Elang di perutnya. “Makasih, Mas. Maaf kalau aku merepotkan,” ujarnya pelan.

Elang terkekeh dan menggeleng pelan. Dia membalikkan tubuh Nadella ke arahnya. Tangannya mengusap lembut pipi gadis itu. “Kamu nggak merepotkan. Asal nurut sama aku, itu udah sangat membantu,” ujarnya.

Nadella tersenyum, dan mengangguk. Ya. Memangnya apa lagi yang bisa dia lakukan selain menurut? Elang sudah mau menikahinya. Dia masih tahu terima kasih.

Elang ikut tersenyum, dia mendekatkan wajahnya ke arah wajah Nadella yang membuat gadis itu memejamkan kedua matanya. Saat bibir keduanya hampir menempel, dering telepon milik Elang membuat keduanya saling menatap. Sesaat kemudian, kekehan meluncur dari kedua mulut mereka.

Elang menjauhkan dirinya dari Nadella. “Sebentar, ya,” ujarnya sambil meraih ponsel, dan mengangkat panggilan suara di sana.

Setelah mengangkat telepon, Elang berjalan ke arah Nadella yang duduk di ranjang, tengah menantinya. “Tadi yang telepon dari rumah sakit. Ada pasien darurat. Aku diminta ke sana sekarang. Kamu nggak apa-apa?” Lelaki itu terlihat bersalah kepada Nadella.

“Iya. Nggak apa-apa. Itu kan udah tugasnya Mas Elang.” Nadella berucap sambil tersenyum. Apa Nadella sudah mengatakan kalau Elang adalah seorang dokter bedah di salah satu rumah sakit terbaik di kota ini?

Elang membawa Nadella ke dalam pelukannya. Dia memberikan kecupan di kepala gadis itu. “Maaf, ya. Seharusnya kita masih saling mengenal dan menghabiskan waktu berdua. Tapi, aku harus ke rumah sakit.”

Nadella memberanikan diri membalas pelukan Elang. Jika memang Elang tengah berpura-pura, maka biarkan Nadella menikmati ini.

“Nggak apa-apa, Mas. Masih ada banyak waktu,” ujarnya.

NadellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang