Bab 12

1.9K 184 2
                                    

Arya Prananta.

Begitu nama panjang cowok tersebut. Baru saja keluar dari ruangan kepala sekolah.

Kenapa? Apa dia bermasalah?.

Tentu tidak. Sangat tidak mungkin seorang siswa teladan dan andalan sekolah selama 4 bulan ini, terhitung sejak Arya terdaftar sebagai peserta didik baru melakukan hal tak baik.

Arya tidak sendirian. Ia bersama seorang ibu ibu. Ya, itu adalah Uminya.

"Arya adalah siswa yang cerdas. Selama 4 bulan bersekolah disini sudah banyak prestasi diukirnya. Potensi akademiknya sangat mencengangkan" ucap Pak Basir sepuluh menit yang lalu.

"Kami bangga mempunyai siswa seperti Arya. Dia baru saja menjuarai kontes polisi sekolah tingkat provinsi, menjabat sebagai ketua Rohis dan in syaa Allah akan terpilih juga menjadi ketua osis." lanjut kepala sekolah mengenakan kopiah hitam itu.

Tubuh gemuknya berkali-kali bergeser demi mendapat posisi duduk yang nyaman.

Umi Arya berkali-kali melafalkan syukur dari bibirnya mendengar bertubi-tubi pujian terhadap anak bungsunya itu.

"Dan kali ini, dengan bangga sekali kami sampaikan pada bunda Arya bahwa anak kita, Arya Prananta Abdul Hadi pada bulan besok diperkenankan untuk dahulu selangkah dari teman-temannya, menduduki kelas sebelas." Pak Basir makin menggebu-gebu. Ruangan bercat biru muda itu dipenuhi oleh suara kebanggaannya.

Umi dan Arya masih belum percaya. Dua beranak itu mematung.

"Itu artinya, Arya hanya butuh waktu 5 bulan dikelas 10. Dan in syaa Allah akan begitu juga dikelas 11 dan 12." tambah Pak Basir saat menyadari kebingungan siswa dan walinya itu.

"Subhanallah. Alhamdullah. Lailahaillallah. Allahu Akbar."

Tak henti-hentinya Umi melantunkan kalimat tersebut saat mendengar kalimat terakhir Pak Basir. 

"Kalau dibiarkan. Arya akan terganggu dan bahkan akan mengganggu dikelasnya karena sudah bosan sama pelajaran yang sudah sangat ia pahami Bun. Karna itulah sekolah dan dinas pendidikan mengambil tindakan ini." jelas guru berperawakan tegas itu, lagi.

Didekapnya bangga Arya, putra kecilnya yang barusaja menginjak dewasa. Air mata bahagia lolos begitu saja dari pelupuk matanya. Begitu juga Arya, mulutnya bungkam.

Dilepaskannya pelukan itu. Kemudian ia melakukan sujud syukur.

"Bahagialah nak. Dan jangan berhenti berkarya dan berprestasi." ujar Pak Basir.

Arya berdiri dari sujudnya dan menyalami kepala sekolahnya itu.

"Terimakasih banyak Pak. Ini semua berkat bapak dan guru-guru juga. Arya bukan apa-apa tanpa sekolah ini." ucap Arya.

Pak Basir mengangguk, tak mengurangi rasa bangganya.

Umi Arya air matanya masih menetes. Mengingat putra kecilnya yang dulu sangat susah belajar di madrasah karena sakit kepala yang sering menghantuinya. Tapi sekarang, putra kecilnya itu telah menjelma menjadi sosok yang cerdas. Ini semua berkat kegigihan suaminya yang tak pernah menyerah mengusahakan yang terbaik untuk Arya.

Ya, dulu Arya dipaksa umi untuk bersekolah di pondok sesuai impiannya ingin mempunyai anak seorang santri. Dan karna itulah dirinya sering berkonflik dengan suami.

Hadi, abi Arya tak begitu mengekang. Karna dilihatnya putranya itu berbakat di sekolah umum maka  tak masalah baginya. Tapi pelajaran agama pasti tetap ditambahkannya saat dirumah terlebih rumah mereka terletak disebuah pesantren milik keluarga.

Dan hal ini lah yang selalu memicu konflik bagi kedua orang tua Arya.

Tapi sekarang, konflik itu sepertinya akan mereda. Setelah sang umi melihat dengan nyata kemampuan sang anak di sekolah umum.

•••

Arya & Alika (Ayat Cinta Anak Rohis) |TAMAT|Where stories live. Discover now