What Are We?

909 163 54
                                    

"Langitnya mendung."

"Iya."

Hongjoong menatap gumpalan awan yang melayang di atas langit kelabu. Sebentar lagi hujan turun.

"Pulang, yuk?"

"Duluan aja, Sang," ucapnya pada Yeosang yang sedari tadi berdiri di sampingnya. "Lo kan pulang naik bus. Gue make mobil. Gak akan apa-apa."

Yeosang menghela napasnya, "ya udah gue duluan. Jangan sampe sakit, Joong."

"Iya," Hongjoong masih saja menikmati kelamnya langit siang hari itu, "hati-hati di jalan."

Yeosang meninggalkannya sendiri. Sekolah itu sudah kosong. Tinggal dia seorang diri, menatap langit yang sebentar lagi meneteskan airnya. Kursi taman di pinggir lapangan itu tidak juga ditinggalkannya. Hongjoong ingin air hujan menghantam tubuhnya, membawakan dingin yang menusuk tulang, mengundang sakit agar datang esok harinya.

Hatinya sakit. Tulangnya seperti yang mencair, ototnya mengendur. Jam-jam seperti ini, biasanya ponselnya berdering dengan hebat. Jam pulang sekolah sudah jauh lewat. Biasanya ponselnya akan terus-menerus bergetar, akibat dari ayahnya yang membombardirnya dengan pertanyaan sama.

'Sudah di mana? Kenapa belum pulang?'

Sekarang ponselnya diam. Tidak ada yang menanyakannya. Tidak ada yang mengharapkannya pulang.

Tes
Tes..
Tes..

"Ih, cengeng kali," Hongjoong mengusak matanya. Mencaci dirinya dalam hati. Kenapa ia menyia-nyiakan kasih sayang ayahnya dengan prasangka buruk tentangnya dan organisasinya? Terlambat untuk menyesal. Ayahnya kini tinggal abu yang disimpan di vas di dalam lemari kaca di kamarnya.

Mencaci dirinya, karena tidak bisa melindungi adiknya. Membiarkan tubuhnya dikuburkan seadanya, tanpa ditemukan kepalanya. Masa depannya yang masih panjang dan bisa menjadi lebih indah dihentikan begitu saja oleh orang yang bahkan tidak diketahui hingga sekarang. Kenapa ia tidak menghentikan Jaemin dari bisnis gelapnya sejak lama? Setidaknya, itu yang bisa ia lakukan agar adiknya tidak diburu.

Begitu pula dengan teman-temannya. Menghilang tanpa jejak. Sebagian ada yang sebentar lagi memasuki dunia perkuliahan, ada pula yang baru saja memasuki dunia SMA, mimpi mereka terputus begitu saja. Raib ditelan bumi.

Shaaa....

Hongjoong memejamkan matanya, menikmati butiran-butiran airmata langit yang membasahi bumi. Berharap beban penyesalannya bersih dibasuh hujan.

Prak..
Prak..

Ia membuka matanya, bertanya-tanya mengapa air itu tidak lagi membasahi wajahnya.

Sebuah lapisan plastik bening melindunginya, seseorang memayunginya.

Hongjoong menoleh, menemukan seorang lelaki yang memayunginya. Ah, ia membawa dua payung.

"Gak usah alay. Nanti sakit."

Hongjoong memamerkan cengirannya, menyiratkan bahwa ia baik-baik saja, "ya udah iya... makasih, Hwa..." kemudian payung itu diambilnya.

Hanya senyuman setipis benang dipamerkan Seonghwa. Ia cukup yakin ada sesuatu yang salah dengan kekasihnya ini. "Kenapa belum pulang, Joong?"

"Kamu sendiri?"

"Ada ulangan susulan," jawab Seonghwa. "Pulang, yuk. Istirahat di rumah."

Hongjoong akhirnya bangkit berdiri, lalu menggandeng tangan Seonghwa. Berjalan menembus hujan bersamanya cukup memperbaiki suasana hati Hongjoong.

AmmoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang