Midnight Call

1.2K 129 17
                                    

Menjelang tengah malam, Forth takut Beam akan hyper esok pagi. Atau kelelahan karena begadang.

 Atau kelelahan karena begadang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beam lupa kalau terjaga sendirian semalaman berarti ia harus menghadapi pikirannya sendiri dalan keheningan malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Beam lupa kalau terjaga sendirian semalaman berarti ia harus menghadapi pikirannya sendiri dalan keheningan malam.

Beam lupa kalau terjaga sendirian semalaman berarti ia harus menghadapi pikirannya sendiri dalan keheningan malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


'Kamu kenapa?'

'Nggak kenapa-napa. Nggak bisa tidur.' Bohong. Beam tidak mungkin tidak bisa tidur kalau tidak ada apapun yang mengganggu dalam pikirannya.

'Beam?'

'....'

'Sayang?'

'Hmm..'

'Aku ke sana ya?'

'Iya. Pintu nggak dikunci.'

Forth masuk tanpa mengetuk lalu mengunci pintunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Forth masuk tanpa mengetuk lalu mengunci pintunya. Pacarnya duduk menyandar headboard tanpa bergeming. Buku-buku berserakan di sekelilingnya. Forth meletakkan sebungkus martabak yang dibawanya di atas meja pantry. Ia mengeluarkan kunci motor dan ponselnya lalu meletakkannya di meja nakas sebelum naik ke atas kasur.

'Beam?' Ia harus menutup dan merapikan seluruh buku di kasur sebelum bisa meraih Beam.

Beam hanya menoleh ke arahnya tanpa mengatakan apapun. Tatapannya kosong.

Forth meraih tubuh kekasihnya dan mendekapnya erat. Bahu Beam menyandar pada dada Forth yang hangat. Kepalanya ditarik perlahan ke arah ceruk leher Forth. Rambutnya yang biasanya selalu rapi disisir lembut dengan jari-jari yang kasar karena mengendarai motor dan berkutat dengan alat-alat lab.

Entah berapa lama mereka diam dalam posisi itu sampai akhirnya Beam bergerak perlahan. Ia melingkarkan kedua lengannya ke pinggang Forth dan menghela nafas panjang.

'Forth sayang Beam. Tau?' Beam hanya mengangguk tanpa suara.

Forth mencium puncak kepala Beam sebelum kembali berkata, 'tidur, yuk.' Beam kembali mengangguk lalu merebahkan badannya di kasur.

'Forth?' panggil Beam pelan. Forth baru saja merebahkan badannya di hadapan Beam.

'Ya?'

'Pinjam punggungnya, ya.' Forth tersenyum kecil lalu mencium kening Beam. Ia lalu membalikkan badannya. Tangan kanan Beam ditarik dan dilingkarkan pada pinggangnya. Forth mengaitkan jari-jari mereka lalu mencium tangan pacarnya.

Forth menunggu.

Ia tahu Beam bukan tipe yang mudah membuka diri. Ia belajar bersabar menghadapi Beam dan seluruh pikiran-pikirannya.

Ini bukan kali pertamanya menghadapi pikiran yang menyabotase pandangan Beam terhadap dunia. Tidak mudah bagi Beam untuk mengakui perasaan yang sering terpendam lalu meledak secara tiba-tiba. Lebih sulit lagi ketika ia merasa sesak dan tidak bisa menangis.

Forthlah yang membebaskannya. Biarlah hatinya selalu ikut sakit setiap kali mendengar Beam terisak perlahan di balik punggungnya. Atau ketika ia merasakan hangat bercak pada punggungnya di mana Beam membenamkan wajahnya. Tak apa.

Forth mengerti Beam.

Jari-jari yang terkait dengannya bergerak dan meremas tangannya lembut. Terima kasih. Entah berterimakasih atas apa. Forth mengusap punggung tangan itu dengan ibu jarinya.

Forth siap dengan apapun yang Beam ingin ceritakan atau tidak ceritakan.

'Aku kangen papa.' Forth mengangguk.

'Padahal ia yang pergi meninggalkan semuanya. Dan aku sudah menganggap ia tak ada.' Beam berbisik pelan. 'Lucu. Cuma karena postingan orang yang membanggakan ayahnya, lalu aku ingin menangis.'

Marah. Kecewa. Sedih. Keacuhan. Kegilaan. Emosi Beam tidak pernah linear. Selalu sekompleks itu.

Tak apa. Forth bisa melihatnya. Kerinduan akan sosok yang sudah pergi 3 tahun dan tak pernah kembali. Yang lalu bersikap seolah mereka tak punya ikatan apapun.

 Yang lalu bersikap seolah mereka tak punya ikatan apapun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terimakasih karena sudah mencintai Beam. Bukan Beam si playboy. Bukan Beam si incaran semua cewek dari ujung kampus ke ujung yang lain. Bukan Beam si teman mabuk-mabukan. Bukan Beam si anggota geng Dokter Gila. Beam yang insecure, takut, rapuh, dan yang mencintai Forth sebesar rasa cinta Forth padanya.

- end -

Maaf kalau agak sedih-sedihan. Aku butuh outlet hehe. Besok mungkin akan update yang bodoh-bodoh lagi.
Terimakasih sudah membaca. Terimakasih atas vote dan komen kalian yang membaca.

Forthbeam Random StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang