Bagian Tiga Puluh Lima

138 20 5
                                    

35—


  "NENEKMU masih koma, Ren."

  Kata-kata Mr. Houghton terus terngiang  di kepala Reena subuh ini, sejak operasi yang dijalani neneknya kemarin dan Reena tak bisa menunggui, Reena kerap menitikkan air mata dalam waktunya berdoa.

  Reena sangat mengkhawatirkan keselamatan neneknya karena operasi yang dilakukan berkali-kali itu. Tapi ia bisa apa? Ia merasa segala hasratnya untuk pulang ke Magelang hanya bisa ditebus dengan kemenangannya dalam kompetisi balap kuda yang akan berlangsung pagi ini, terlebih kebaikan Mr. Houghton kini seakan menancap di pundaknya, menuntutnya untuk membalas budi dengan melakukan segala kemauan pria tersebut.

  Subuh ini, di waktu breaving menjelang kompetisi dimulai, Reena menanggalkan segala hal yang merumitkan pikirannya. Untukmu, Nenek. Reena janji akan memenangkan babak ini dan seterusnya, batinnya mantap seraya mendengarkan arahan dari panitia. Di kanan dan kirinya, para peserta kompetisi tampak mendengarkan pitutur panitia dengan seksama. Sementara itu, di sudut ruangan maha luas tersebut, dimana para pendamping peserta duduk berbaris, Steve terus memandangi Reena. Sesekali mereka berdua bertemu pandang dan Steve memberi semangat kepada Reena dengan senyuman tulus penuh keyakinan.

  Kompetisi balap kuda yang Reena ikuti kali ini merupakan kompetisi besar yang melibatkan peserta dari seluruh penjuru tanah air. Reena sempat kaget mengetahui biaya pendaftarannya yang bernilai puluhan juta rupiah, membuatnya memikirkan para pesaing yang pastinya kebanyakan lahir dari kalangan papan atas.

  Pada kompetisi hari ini, peserta akan bersaing secara sengit demi memperebutkan silver ticket dan masuk ke 30 besar. Sementara itu waktu yang dibutuhkan untuk keseluruhan turnamen ini adalah 12 hari, selain karena pesertanya sangat-sangat banyak, tempat turnamen berlangsung hanya ada satu tempat.

  Usai breaving, para peserta diminta masuk ke stadion, menyapa para penonton dan supporter untuk kemudian dipersilakan duduk berbaris di tepian track, menunggu nomor peserta dipanggil.

  "Apa kau gugup, Ren?" Tanya Steve yang duduk di dekat Reena.

  Reena tersenyum tipis. "Kurasa tidak, aku hanya ingin segera melarikan kudaku," jawabnya sembari memandangi nomor peserta yang ada di pergelangan tangannya. Selain tercetak di punggungnya, angka 70 itu juga tertera di helm-nya.

  Steve tersenyum. "Beberapa hari terakhir aku mencoba memahami apa tujuanmu ada di kopetisi ini, Ren. Karena aku tak tahu perjanjian apa yang kau sepakati dengan ayahku. Tapi akhirnya aku mengerti, kau sangat menyayangi Nenekmu."

  Reena mendunduk. "Nenekku adalah segalanya bagiku, Steve."

  "Pernahkah kau berpikir apa tujuan ayahku mengikutkanmu dalam lomba ini?"

  Reena menggeleng. "Aku tak ingin pikiranku menjamah ke sana, Steve. Ayahmu orang baik, itulah yang kutahu. Aku akan berusaha melakukan yang terbaik hari ini untuk membalas jasa baik ayahmu yang sudah mau membiayai operasi nenekku."

  "Kau tahu nominal hadiah utama dari lomba ini?"

  "Seratus juta rupiah, right?"

  Steve mengangguk-angguk. "Ayahku pernah bilang uang tersebut tetaplah untukmu. Jadi aku kadang heran ia mendapatkan apa dari semua ini."

  Mata Reena terbelalak, heran dengan pernyataan ini. "Di antara dunia yang dipenuhi orang-orang kolot, ayahmu sungguh berhati malaikat, Steve."

  "Aku akan mengajakmu menerka-nerka apa tujuan ayahku selama ini, tapi tidak sekarang. Sekarang, yang terpenting, aku yakin kau akan menang dan mendapatkan silver ticket tersebut."

  "Terima kasih, Steve." Reena menatap Steve, dan dibalas dengan tatapan pula. Keduanya lantas mengalihkan pandangan ke arena lomba, sama-sama tersenyum di antara sorak sorai penonton yang meriuh di stadion maha besar itu. Jantung Reena berdebar kencang ketika tiba-tiba Steve meraih tangannya dan menggenggamnya, genggaman yang erat, seolah menunjukkan bahwa pemuda itu mendukung Reena dengan keyakinan penuh akan kemenangan. Bagai dua magnet yang disandingkan, Reena membalas genggaman itu dan mengusap lembut tangan Steve.

  Mentari mulai bersinar terang ketika nama Reena disebut, ia segera pamit kepada Steve.

  "Aku akan menyambutmu di garis finish, Ren," ucap Steve. "Jadilah yang tercepat, melesatlah bukan seperti anak panah, tapi bagai peluru panas, " lanjutnya seraya memandang wajah Reena dalam-dalam.

  "Trims," jawab Reena mantap sebelum akhirnya melenggang menuju lapangan bersama puluhan peserta yang akan menjadi pesaingnya.

  Ketika bersiap di garis start dan mendongakkan kepala, Reena merinding melihat penonton yang memenuhi kursi tribun bagai lautan manusia. Suara gemuruh antusiasme mulai membahana, mereka dikumpulkan takdir bagai warna-warni sebentang mozaik yang indah.

  Pesaing Reena di sesi ini ada puluhan orang, semuanya gadis muda dan menunggangi kuda yang gagah-gagah. Wajah masih-masing dari mereka menyiratkan ambisi, tatapan mereka lurus ke depan, ada keyakinan di sana, juga rasa takut yang berusaha disangkal, dan Reena mengalaminya juga.

  Kompetisi sesi ini pun akhirnya dumulai setelah peluit dibunyikan. Diiringi gemuruh suara yang mengelilinginya, Reena melarikan Milky White sekencang mungkin, tatapannya penuh kewaspadaan.

  Harus Reena akui, lawannya di turnamen ini sangat berat. Selain kuda mereka yang gagah-gagah, bakat mereka juga seolah ada di level Dewa, mereka menyelip lawan bagai ksatria yang menebas lawannya dalam perang, melesat segesit anak panah. Menyongsong garis finish seakan dikejar kematian.

  Reena tak tahu pasti posisinya, yang ia tahu banyak lawan yang sudah menyelipnya.

    "Aku akan menyambutmu di garis finish. Jadilah yang tercepat, melesatlah bukan seperti anak panah, tapi bagai peluru panas."

  Di antara kewaspadaan tatapannya, Reena tersenyum penuh keyakinan mengingat kata-kata Steve.

  "Hiyaks!" Ia berteriak lantang sambil menempelkan dadanya di punggung Milky-White. Seketika pikirannya larut dalam adrenaline bersama kecepatan kuda yang ia pacu, semua lawan seakan menghilang, penonton melenyap, sorak-sorai berubah menjadi suara seseorang yang ia cintai, Steve. Hening, sehening padang rumput di dekat rumahnya pada pagi hari, sejuk, tak ada kekhawatiran, tak ada ketakutan, apalagi keraguan.

  Pelatuk sudah ditekan, peluru panas sudah melesat. Cepat. Kalau lawannya melesat bak menghindari kematian, Reena-lah hal yang mematikan itu.

  Hingga akhirnya, keyakinan kuat itu mengantarkan Reena berhasil menyelip banyak lawannya dan jadi yang terdepan hingga garis finish menyambutnya.

  Sontak gemuruh suara penonton menggema berkali-kali lipat dari sebelumnya. Saat panitia berseru. "Selamat kepada nomor punggung 70 atas nama Falovre Reenata!"

  Dengan napas berembus cepat, Reena menghentikan laju Milky White dan memeluk kuda itu. Di antara kekecewaan yang tergaris di wajah-wajah peserta yang gagal, tak lama kemudian Steve datang dan menghampiri Reena, mengerlingkan mata ke arahnya, membantunya turun dari punggung Milky-White lalu memeluk Reena dengan erat. "Congratulations!"

  BERSAMBUNG....
  THANKS FOR READING!
  TINGGALKAN VOMMENT, PLEASE.

BANG MY HEART ✓ [Selesai]Where stories live. Discover now