Bagian Tiga Puluh Enam

149 22 3
                                    

Selamat pagi, selamat melanjutkan!
Hiyaks!

◀️☸️☸️☸️▶️

  "Kau memang hebat, Ren!" puji Mr. Houghton malam ini saat makan malam bersama keluarga kecilnya, juga Reena, di hotel tempat mereka menginap.

  "Terima kasih, Tuan," jawab Reena lirih, hampir tanpa ekspresi karena sejak lomba selesai siang tadi, Mr. Houghton terus memujinya.

  Reena lihat, Eric dan ibunya menatapnya kagum sementara Steve tampak terus melahap makan malam di sebelahnya.

  "Silver ticket sudah kamu dapatkan. Babak berikutnya akan dilangsungkan tiga hari lagi. Nah, kamu punya waktu dua hari untuk latihan. Lakukan yang terbaik, Ren." ucap istri Mr. Houghton dengan keramahan yang berlebihan.

  "Ba-baik, Nyonya," jawab Reena. Ia sering dibuat heran oleh sikap wanita itu, ucapannya kadang semanis madu, kadang sepahit racun. Tapi Reena tak terlalu mempermasalahkanya.

  "Di awal-awal, tadi aku sempat pesimis, Ren. Kamu ketinggalan jauh." Eric andil melantunkan komentar.

  "Hush!" Mr. Houghton menghentikannya. "Mari kita selesaikan makan malam ini, setelah itu istirahat," lanjut beliau.

  Reena dan yang lainnya mengangguk-angguk.

◀️☸️☸️☸️▶️

  Senja ini Reena menuntun kudanya ke kandang, ia diiringi Steve yang sudah menemaninya latihan seharian, pelatih kuda sewaan Mr. Houghton berjalan di belakang mereka.

  Menuju babak penyisihan ke dua yang akan dilangsungkan lusa, tujuan utama Reena adalah memenangkan golden ticket dan masuk 15 besar.

  "Nenekmu masih kritis, Ren." terang Mr. Houghton pagi tadi saat Reena bertanya soal keadaan neneknya.

  Kabar itu diperjelas saat Reena meminjam smartphone Steve dan menelpon sendiri pihak Rumah Sakit.

  Rindu, sesal, kesal, amarah, cinta, semuanya bercampur dan mengguyuri perasaan Reena, bak aliran air terjun warna-warni yang jatuh di atas bebatuan, bercampur, saling berebut untuk mendominasi. Hingga akhirnya cintalah yang menang, dan karenanya Reena jadi sungguh-sungguh berlatih karena ingin masa tinggalnya di Bandung segera usai dengan prestasi terbaik, hal yang setidaknya akan membuat hatinya tenang saat kembali memapasi neneknya nanti.

  "Bagaimana latihanku hari ini, Steve?" tanya Reena sembari mengikat Milky-White usai masuk ke kandang. Pelatihnya memohon pamit, meninggalkannya bersama Steve yang siap memberi makan kuda putih itu.

  Steve tersenyum seraya mendorong gerobak berisi jerami dan mendekatkannya kepada kuda putih itu. "Aku tidak akan memujimu seperti yang dilakukan keluargaku. But, all is well, kau sangat emosional hari ini, membabat habis waktu tempuh lebih cepat dari perkiraan pelatih."

  Reena mengangguk, ia lantas membantu Steve memindahkan jerami dari gerobak ke tempat pakan. "Makan yang banyak, Milky," ucap Reena sembari mengusap-usap kepala kudanya.

  Setelah Steve mengembalikan gerobak ke tempat asalnya, ia dan Reena berjalan beriringan keluar dari D'ranch menuju hotel. Tak ada percakapan berarti di sepanjang langkah itu, hanya tatapan kagum yang dilakukan masing-masing dengan cara mencuri kesempatan.

  "Peluhmu akan jadi penebus rindumu pada nenek, Ren," ucap Steve setiba mereka di hotel.

  "Makasih, Steve," jawab Reena sambil tersenyum, kekagumannya pada pemuda itu terus tertahan. Dia memang bijak, tapi apakah ia akan melakukan hal yang sama dengan hal bernama cinta? batinnya saat mereka berpisah menuju kamar masing-masing.

  "Steve!" Reena sempat mencegah keberlaluan pemuda itu, hingga Steve menoleh dan mengernyitkan dahi. "Terima kasih sudah mau ikut berpeluh, mengiringiku seharian ini."

  "Semua orang berpeluh, Ren, ini hari yang panas," jawab Steve sambil terkekeh.

  Mereka akhirnya berpisah, meninggalkan senyum lebar di bibir Reena karena sikap manis Steve seharian ini. Kapan ia menembak hatiku?

  "Ren," Steve tiba-tiba memanggil, membuat Reena segera menyembulkan kepala keluar dari pintu. Ia menemukan Steve menyembulkan kepala juga.

  "Sampai bertemu di meja makan."

   Reena mengangguk-angguk.

BERSAMBUNG....
VOMMENT YUK...

BANG MY HEART ✓ [Selesai]Where stories live. Discover now