12: he have been burnin'

2.1K 356 29
                                    

"Eunwoo, udah, kamu duduk aja ya," ucap mama sambil mengambil alih tumpukan piring dari tanganku.

Pagi ini aku dan mama saling bahu-membahu menata meja makan bersama bibi, sedangkan papa sepertinya sedang berolahraga, sementara San masih belum bangkit dari tidurnya. Alih-alih tidur di sofa, ia menghabiskan sisa jam tidurnya di atas matras tebal yang entah ia temukan dari mana.

"Yaampun, udah ada banyak makanan," celetuk papa dengan handuk di lehernya.

Papa berjalan ke sisi mama dan merangkul pinggang mama dengan mesra. Ah, apakah suatu saat nanti aku dan San bisa sedekat mama dan papa?

"Eunwoo loh yang masak," ucap mama, "dijamin enak banget deh."

Aku terkekeh, "Ah, mama juga masak kok, aku bantuin doang."

"Permisi, nyonya, ada paket,"

Bibi tiba-tiba datang dan menyerahkan amplop coklat besar ke arahku. Aku menerima amplop itu dan menelitinya; tertulis jika San adalah penerima paket ini, tetapi tidak ada sama sekali nama pengirimnya.

"Ah, punya San. Makasih ya, bi," ucapku.

"Sekalian bangunin San, suruh ikut sarapan," ucap papa.

Aku mengangguk, "Oke, pa."

Aku segera bergerak menuju kamar San. Apapun isi dari amplop ini, ku harap isinya tidak akan mengecewakan.

tok tok tok

"San?"

"Hm,"

Setelah adanya jawaban dari pria itu, aku membuka pintu kamar dan menemukan pria itu berjalan dari kamar mandi hanya dengan handuk besar yang melingkar di pinggangnya. Aku segera memutar tubuhku; wajahku memerah, jantungku berdetak kencang sekali. Kau barangkali bisa mendengar suaranya.

"Ck, kamu gila ya?!" omelku.

San berjalan mendekat dan berhenti tepat di belakangku. Ia menyandarkan dagunya pada bahuku, "Apanya yang gila?"

Badanku sedikit berdersir karena geli. Secepat mungkin, aku menggunakan amplop coklat yang ku bawa untuk menyembunyikan wajahku. "Awas!" seruku dari balik amplop.

San tertawa dan melepaskan dagunya. Tapi, tidak berhenti sampai di situ, ia memutar tubuhku, melepaskan amplop coklat dari wajahku dan membuatku menatapnya.

"Apanya yang gila?" San mengulang pertanyaannya.

"Nggak tau! Ini, ada paket!" aku meletakkan amplop itu di atas meja dengan sedikit bantingan. "Mama sama papa nungguin, sarapan!"

Aku segera berlari meninggalkan San dan kembali ke ruang makan. Bodoh, apa sih yang pria itu pikirkan?!!

"Mana San?" tanya papa.

"Kenapa muka kamu merah?" mama menatapku penuh selidik, "Diapain sama San?"

Aku menggeleng cepat, "Enggak!"

Mama dan papa tertawa. "He's the way too playful, even in the morning," ucap papa.

"I know, right? Just an exact clone of you," balas mama. "San is your son at all."

Bersamaan dengan itu, aku mendengar hentakan langkah kaki dari tangga. San tampak berjalan menuruni tangga dengan tergesa-gesa, tangannya memegang erat amplop coklat tadi.

Aku semakin mengerutkan dahiku ketika San tidak sama sekali berbelok ke arah ruang makan. Sebaliknya, ia menyambar kunci mobilnya dan pergi begitu saja.

"Loh, San!" panggil mama.

Kami bertiga sontak ikut berlari mengejar langkah pria itu. Namun, bagai tuli, San tetap melangkah menuju mobilnya.

"SAN!!" seru papa.

Ia sama sekali tidak mengindahkan seruan papa. Dengan mobil hitamnya, San melaju dengan cepat meninggalkan rumah, membuat satpam rumah kami agak kewalahan karena saking cepatnya ia memacu mobilnya.

"Astaga, apa lagi sih yang dia pikirin!" gerutu papa dengan kesal, "He's getting weird."

Aku segera meraih ponselku dan mengetikkan beberapa pesan pada Yeosang. Ya, tanpa San ketahui, aku sempat bertukar nomor ponsel dengan Yeosang. Bagaimanapun juga, aku harus menjalin hubungan baik dengan sekretarisnya, siapapun orangnya.

Beruntung, Yeosang membalas pesanku dengan cepat. Aku mengerutkan dahiku karena Yeosang pun berpikiran sama denganku; bahwa San pergi untuk menemui Edith.

"Pa, ma, aku harus pergi," ucapku cepat.

"Enggak, Eunwoo, enggak. Biar papa aja yang urus San, kirim alamatnya ke papa," ucap papa, menahan lenganku.

Mama mengangguk, menyetujui ucapan papa. "Kamu di rumah aja, biar papa sama mama yang urus."

Aku menggeleng, "Aku pasti bisa urus San kok, ma, pa. Aku akan bawa San pulang secepatnya."

Aku berusaha meyakinkan mama dan papa untuk mengizinkanku pergi. Masalahnya, San pergi untuk bertemu dengan Edith dan aku tidak mau  papa dan mama marah besar seperti insiden tadi malam. Dengan hati, mama dan papa melepas tanganku, membiarkan aku kembali ke dalam rumah untuk meraih kunci mobil dan kembali bersua dengan panasnya aspal jalan raya.

Di belakang kemudi aku kembali mengecek alamat yang Yeosang kirimkan kepadaku. Kota ini tidak terlalu jauh dari posisiku, tetapi aku yakin bahwa San akan mengendarai mobilnya seperti orang kesetanan, maka aku tidak bisa buang-buang waktu di sini.

Aku menarik tuas transmisi dan mulai menginjakkan kaki keluar dari rumah. Semakin mendekati jalan raya, aku mempercepat laju kendaraanku. Sebelum hal yang buruk terjadi lagi, aku harus bisa mencapai San secepatnya.

Peta di ponselku membawaku ke jalan yang sedikit lebih berliku dan masuk ke daerah pemukiman yang cukup padat. Aku sedikit sangsi tentang sebuah hal; penampilan Edith benar-benar terlihat berkelas, mana mungkin ia tinggal di tempat seramai ini?

Aku mengecek alamat yang Yeosang berikan padaku. Alamat ini benar, bahkan ada mobil San berhenti di depan sebuah rumah yang tampak kosong. Tapi, rumah siapa ini? Mengapa ia sampai harus berkebut-kebutan ke kota sebelah, hanya untuk menghampiri rumah tak berpenghuni?

Aku memarkirkan mobilku tepat di belakang mobil milik San. Dari posisiku, aku melihat pria itu terduduk di depan pintu dengan tangannya memegang lunglai amplop coklat yang sepertinya merupakan paket yang datang pagi ini.

Aku memutuskan untuk turun dari mobil dan menghampiri pria itu. Aku memasuki halaman rumah dengan hati-hati, sedikit berusaha membaca keadaan.

"San," panggilku.

Pria itu tidak menjawab, ia justru menyembunyikan mukanya semakin dalam di balik tekukan kakinya. Aku semakin tidak mengerti, maka dari itu aku mengambil amplop itu dari tangan San. Pria itu tidak tampak melawanku.

Aku mengeluarkan isi amplop tersebut perlahan, dan alangkah terkejutnya aku dengan apa yang ada di sana; sebuah sertifikat tanah, rumah, surat kuasa pengalihan hak milik, serta lipatan kertas kusut. Aku menatap San dengan tatapan tidak percaya, apa lagi yang ia sembunyikan di belakangku?

Aku kembali menatap berbagai macam kertas di tanganku. Surat tanah biasaㅡtunggu, Edith?

 Surat tanah biasaㅡtunggu, Edith?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

: (

Daybreak ➖ATEEZ San [✔]Where stories live. Discover now