Chapter 1

7.1K 736 5
                                    

Chapter 1


"Anda... Anda tidak mungkin serius," ucap Draco parau, begitu dia menemukan suaranya.

Pria tua yang duduk di depannya itu tersenyum dengan tenang, tangannya tergenggam di bawah dagunya, matanya berkilau dalam cahaya lilin yang redup.

"Aku benar-benar serius, Nak," ujar Albus Dumbledore dengan senyum lembut, mata itu berkedip geli seolah perkataannya tak hanya menguraikan kondisi kehidupan yang jauh dari kata normal yang melekat pada Draco selama beberapa minggu terakhir. Perasaan tidak percaya yang awalnya Draco rasakan setelah mendengar perkataan kepala sekolah segera tergantikan dengan kemarahan, perasaan yang akhir-akhir ini lebih familier dari sebelumnya.

"Saya menolak," hardik Draco, mengepalkan tangan di lengan kursi kelewat empuk yang bersikeras Dumbledore simpan di kantornya. Dumbledore tidak bicara selama beberapa saat, hanya terus memandang Draco melalui kacamata setengah bulannya.

"Aku mengerti kemarahanmu, Draco," akhirnya dia berkata, rasa iba mengerutkan mata biru yang tajam itu.

"Anda tidak mengerti," ucap Draco dengan nada sekeras yang dia bisa. Mungkin jika dia tidak cukup menghormati si tua bodoh itu, dia akan menyerah pada skema gilanya ini. Dan bagaimana bisa ia memandangnya seperti itu, berpura-pura tahu apa yang Draco rasakan? Ayahnya di Azkaban, ibunya mengalami semacam gangguan mental, Pangeran Kegelapan menginginkannya untuk tujuan jahat yang tak seorang pun akan memberitahunya, dan sekarang, untuk melengkapi semua ini, seorang tua bodoh pecinta muggle memutuskan bahwa cara terbaik untuk mengekspresikan rasa iba menyedihkannya pada Draco ialah mengirimnya pergi untuk tinggal bersama penyebab semua masalahnya, Harry Bloody Potter.

"Kau anak yang cerdas, Draco," ujar Dumbledore dengan suara yang tetap tenang menyebalkan. "Tentunya kau memahami keseriusan situasi ini. Ibumu menghubungiku, meminta agar kau selamat dari kemurkaan Voldemort, setelah apa yang terjadi dengan ayahmu di Kementerian, ia pasti akan menghukummu. Jika kau menghargai hidupmu, kau akan menerima rencana yang telah dijalankan Orde dengan tekun untukmu." Nada bicara Dumbledore berubah tajam ketika dia berbicara, dan sekali lagi amarah kembali melonjak dalam diri Draco. Jadi sekarang dia seharusnya bersyukur atas apa yang terjadi padanya? Dia ingin melompat bangun, untuk mengarahkan tongkatnya pada si tua bodoh itu...

Saat itu juga, pintu besar dengan pahatan kayu pada batu yang mengarah ke kantor Dumbledore itu terbuka. Profesor Severus Snape berdiri di ambang pintu, mata kelam itu dengan cepat mengamati pemandangan di depannya. Menangkap mata Draco, dia melemparkan tatapan peringatan padanya lalu mengalihkan pandangannya ke Dumbledore dan menundukkan kepalanya setengah sentimeter.

"Kepala Sekolah."

"Severus, senang sekali melihatmu," ucap Dumbledore dengan senyum lebar, menunjuk ke arah kursi empuk di dekat mejanya. "Duduk, duduk."

Severus mengambil beberapa langkah lebih cepat ke kursi, duduk di kursi yang ditawarkan, dan menyilangkan lengan di dadanya.

"Draco dan aku baru saja mendiskusikan situasi hidupnya musim panas ini."

"Begitu," ucap Severus, suaranya dingin dan datar.

"Dia tentu saja tidak ingin tinggal bersama Harry, tapi begitu dia memikirkannya, aku yakin dia akan memahami kebijaksanaan saat kedaan berbahaya begini untuk tinggal di Privet Drive. Akar manis?" Ketika tak satu pun dari mereka menjawab, Dumbledore hanya terkekeh dan memasukkan sepotong permen ke mulutnya.

"Semenjijikkannya Potter, rumahnya adalah salah satu tempat teraman yang tersedia. Berbagai penangkal dan mantra yang telah berusaha menjaga agar anak idiot itu tetap hidup benar-benar luar biasa. Tentu saja, mengingat tindakannya baru-baru ini, semua penangkal dan mantra itu akan sia-sia," tutur Snape dengan seringai.

"Aku yakin Harry akan tetap hidup dan sehat sepanjang musim panas," Dumbledore berbicara, "seperti kau, Draco. Sekarang, aku harus makan sesuatu untuk diriku sendiri. Mau bergabung denganku?"

"Tidak terima kasih," ujar Severus singkat saat Dumbledore bangkit dari mejanya dan berjalan menuju pintu. Setelah pintu itu mengayun tertutup di belakang Dumbledore, Draco berbalik ke arah Severus, sebuah protes muncul di bibirnya. Snape mengangkat tangannya sebelum perkataan itu punya kesempatan untuk lolos.

"Diam," ujar Snape, bangkit dari kursi. Dia mondar-mandir beberapa kali di sekitar meja Dumbledore. "Kau akan melakukan seperti yang Kepala Sekolah katakan."

"Tapi-" mulai Draco, kemarahan muncul dalam dirinya. Severus adalah satu-satunya orang yang bisa dia percayai selama beberapa minggu terakhir, profesor favoritnya, teman keluarganya, dan ayah baptis sumber kenyamanannya; nasihat dingin dan datar yang dia berikan pada Draco di momen-momen paniknya telah membantunya melalui masalah mengenai hukuman penjara ayahnya dan histeria ibunya. Sekarang sepertinya dia sama sekali tidak memerhatikan Draco, dan itu melukai hatinya.

"Sayangnya, rumah Potter adalah tempat paling aman untukmu, yang merupakan perhatian utamaku. Aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja di sana atas belas kasihan Potter dan para muggle idiot itu. Kau akan menulis surat padaku setiap beberapa hari dan memberi tahuku tentang kondisi di sana, dan jika ada sesuatu yang salah, aku akan berkunjung dan memperbaiki situasi."

Well, itu sedikit meyakinkan, meskipun tetap bukan yang Draco inginkan. "Bagaimana dengan Mother?" akhirnya dia bertanya dengan tenang.

Mendengar kata-kata ini, Severus menghentikan langkahnya. "Kau sadar ibumu sedang mengalami kesulitan saat ini. Butuh perhatian medis. Orde akan memberikan perawatan terbaik untuknya di lokasi yang aman. Kau tidak perlu tahu keberadaannya, dan dia tidak mengetahui keberadaanmu, untuk tindakan pencegahan keamanan."

Draco mengerjapkan air mata, mengalihkan pandangannya kembali ke lantai. Bagaimana jika sesuatu terjadi pada ibunya? Kapan dia bisa melihatnya lagi? Meskipun dia memiliki perbedaan dengan ayahnya, ibunya selalu jadi kehadiran konstan dalam hidupnya, selalu mementingkan Draco melebihi dirinya sendiri. Ibunya sedang melakukan itu sekarang.

"Kau akan menghabiskan dua minggu di kastil sementara persiapan dilakukan. Kemudian Kepala sekolah akan ber-Apparate denganmu ke rumah Potter, dan memastikan kau nyaman tinggal di sana," Severus berhenti sebelum menambahkan, "Aku minta maaf ini terjadi, Draco." Draco hanya mengangguk, air matanya sudah hilang sekarang. Jika dia harus tinggal bersama Potter, biarlah itu terjadi. Tetapi Potter tidak akan membuat segalanya jadi mudah baginya.

***

Harry Potter berbaring di tempat tidurnya, matahari terbenam menuang bayangan di dinding kamarnya. Dia telah kembali ke rumah Dursley selama dua minggu sekarang, dan melewati setiap harinya terasa lebih melelahkan daripada pertemuan terakhirnya dengan Voldemort. Keluarga Dursley tahu ada yang tidak beres dengannya—emosinya berubah naik turun dengan hebat, mengakibatkan lebih banyak perselisihan daripada biasanya dengan keluarganya—tapi tidak cukup peduli untuk menanyakan apa yang sedang terjadi. Mereka berusaha menghadapinya dengan bergantian antara mengunci dia di kamarnya dan memberinya pekerjaan rumah dalam jumlah yang mustahil. Hari ini dia dikunci di kamarnya.

Harry melirik surat yang tergeletak tak terbuka di mejanya. Surat itu tiba pada dini hari dalam sebuah amplop Hogwarts, dibawa oleh burung hantu Hogwarts yang tampak mengesankan. Coretan miring di amplop itu jelas milik Dumbledore. Harry tidak bisa memaksa dirinya untuk membuka amplop itu, mengingat ledakan hebatnya di kantor Dumbledore setelah kematian Sirius. Perasaan mual dan kosong di perutnya tidak pernah meninggalkannya sejak saat itu.

Berguling miring, Harry memejamkan mata, bertanya-tanya apakah dia akan bisa tidur. Dia tidak ingin memikirkan surat itu. Surat itu mungkin ada hubungannya dengan Sirius. Bagaimana jika Dumbledore berharap dia memberi tahu keluarga Dursley tentang apa yang terjadi? Atau sedang berusaha menghiburnya, atau menambahkan apa yang telah dia katakan di kantornya? Memikirkan itu hanya membuatnya semakin lelah, semakin muak.

Ketika cahaya terakhir memudar dari kamarnya, napas Harry semakin dalam. Dia belum tidur nyenyak akhir-akhir ini, sering terbangun di dini hari dengan mimpi buruk tentang kematian Sirius yang bergema di kepalanya.

Surat itu terletak tak terbuka di atas meja. Harry Potter tidak tahu kejutan yang akan datang untuknya dalam dua hari.




Reverberations | ✔Where stories live. Discover now