Milan

696 86 10
                                    

Hubunganku dengan Jongin tidak renggang seperti sebelumnya, tapi juga tidak terlalu membaik. Malam itu aku lupa kalau Jongin adalah pemilik sah apartemen ini. Dia memiliki kunci cadangan dan hanya menggunakan sidik jari, ia bisa masuk ke kamarku tanpa sepengatahuanku.

Pagi itu aku terbangun dengan aroma alkohol di samping kiri. Tanganku reflek menggerayangi apapun dan akhirnya menemukan badan lengket Jongin tengah tidur pulas. Aku diam hingga dua atau tiga jam setelahnya, menunggu Jongin bangun. Karena, apa yang bisa aku lakukan?

Normalnya, aku akan bangun lebih dulu untuk membuat susu hangat dan roti bakar. Tapi, orang buta yang belum sepenuhnya menerima kebutaannya ini jelas tidak bisa berbuat banyak. Aku terlalu takut untuk mengacaukan dapur lagi. Selama ini Jongin melarangku bergerak, bahkan ketika aku masih bisa melihat. Ternyata hal itu menyebabkan tanganku seolah mati rasa. Aku tidak bisa melakukan apapun dengan baik.

Sejak menjadi buta, aku hidup dalam ruang dan waktu yang hampa. Jika sebelumnya aku mengisi waktu dengan melukis dan membaca, sekarang mataku hanya menatap gelap, tanpa tahu yang kutatap hitam atau putih. Sebelumnya juga aku suka merawat tanaman hias berupa kaktus atau bunga-bunga mini, aku mengoleksi ikan hias, tapi sekarang aku hanya bisa mendengarkan suara musik dan Spongebob berulangkali tanpa bisa mengeluh bosan.

Hingga sejauh ini, aku belum merasa hidupku sangat berat. Berat, tapi aku masih mampu bertahan dan melaluinya karena ada Jongin bersamaku. Jongin tidak lagi tidur sendiri di kamarnya. Setelah dia mengaku mabuk dan hampir meniduri seorang perempuan acak, Jongin selalu tidur di sisiku. Dia akan membangunkanku untuk sarapan bersama, lalu menyuruhku diam di apartemen selagi ia bekerja.

Kami masih di Paris, dan aku masih dibayang-bayangi keberadaan Clara yang sekarang entah di mana. Seperti dugaanku sebelumnya, Jongin ke sini bukan hanya untuk mengejar posisi direktur penyiaran, tapi juga untuk menghindari Clara yang sudah mengendus keberadaan kami di Seoul.

Aku tidak tahu berapa lama lagi kami akan menetap di Paris. Kata orang, Paris adalah kota cantik. Tapi, apa gunanya jika aku tak bisa melihat? Aku sangat menyukai Menara Eiffel, jadi Jongin memilih apartemen mahal hanya agar aku bisa menikmati Eiffel setiap saat. Sekarang aku masih di kamar yang sama dengan kamar yang kugunakan untuk membaca karya-karya Paulo Coelho. Bedanya, aku hanya terpekur diam tanpa tahu apa yang sebenarnya aku tatap. Aku hanya bisa mengingat sebuah foto yang pernah kuambil di bawah Eiffel.

Foto Jongin.

Entah sudah berapa lama aku duduk diam menikmati keheningan tanpa musik. Jongin sudah berangkat entah ke mana sejak tadi pagi, dan hingga perutku keroncongan, belum ada tanda-tanda ia sudah berada di rumah.

Aku lapar, tapi enggan beranjak. Jadi, kuputuskan untuk merebahkan tubuh ke sofa, menggunakan tangan sebagai bantal hingga kebas. Mungkin sekitar empat puluh lagu yang kudengar, barulah kudengar pintu terbuka.

"Jongin?" Panggilku.

"Kau tidur?"

Aku menggeleng, berusaha duduk dan merasakan tangan Jongin mengusap rambutku yang berkeringat.

"Kau demam." Kata Jongin dengan nada panik.

"Jongin," Aku menahan lengannya yang hendak melangkah. "Tetap di sini sebentar."

Jongin menuruti kemauanku. Ia duduk di sisi kanan, meraih kepalaku ke bahunya berharap suhu badannya yang dingin bisa menurunkan demamku. "Kenapa, hmm?" Tanyanya khawatir.

"Aku rindu."

Terdengar berlebihan disaat aku selalu menghabiskan waktu bersamanya. Tapi, sungguh. Akhir-akhir ini kesibukan Jongin menyita perhatiannya. Pekerjaan merebut Jongin dariku, dan aku tidak suka. Tidak ketika aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpanya.

3 Countries 1 Love [END] [COMPLETE] ✔Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora