Bab 1

20.3K 1.3K 34
                                    

"Mbak, kita pulangnya nggak bisa lewat jalan biasanya deh. Soalnya ada kecelakaan beruntun. Sekarang masih proses evakuasi."

Laporan dari Nisa-penjaga kasir-membuat Tara mendesah pelan. Pasalnya jika memilih jalan pulang selain rute yang biasa ia lewati, artinya ia akan menempuh waktu lebih lama untuk sampai di rumah.

"Ya udah nggak apa-apa. Mau gimana lagi? Atau kita tutup kafe malam aja kayak biasanya? Sambil nunggu proses evakuasi selesai," usul Tara.

"Mbak, kok gitu sih?" keluh Hanum dan Dimas bersamaan.

Tara seketika tertawa saat melihat wajah masam para waiters-nya. Pagi tadi ia memang sudah mengumumkan pada pegawai-pegawainya bahwa hari ini kafe buka sampai sore saja. Tiba-tiba mengubah keputusan saat mereka sedang bersiap membersihkan kafe tentu saja membuat Tara dihujani protes.

"Padahal aku udah janji ngajak Nindi jalan-jalan," kata Dimas memelas.

"Kalian ini kok berani ngelawan bos, sih!" sahut Tara berlagak ketus meski ia sadar pegawainya tidak akan takut. Mereka sudah terlalu akrab sampai antara pemilik kafe dan bawahan terlihat seperti teman biasa.

"Nggak jadi tutup nih Mbak?" timbrung Nisa.

"Iya, iya. Hari ini tutup sore."

"Yes!" seru Hanum. "Mbak Tara nggak usah ikut beres-beres ya. Ke depan aja sana cari angin segar," lanjut Hanum. Ia yang memang berdiri di dekat pintu kafe pun membukanya. Mempersilakan Tara keluar.

"Kalian kalau keinginannya terkabul baru bersikap manis sama gue," gerutu Tara lalu berjalan keluar.

"Loh, kok anak-anak udah bersih-bersih?"

Baru sampai di pelataran kafe, Tara dikejutkan dengan kedatangan lima pelanggan tetapnya. Salah satunya kini celingukan mengintip kegiatan para pegawai Tara yang sedang siap-siap menutup kafe.

"Iya, Mas. Hari ini buka sampai sore aja. Nisa sama Hanum izin nggak bisa stay sampai malam. Aku sendiri di rumah lagi ada acara. Dimas mana bisa handle semua sendiri," jelas Tara pada Bayu yang tadi bertanya.

"Padahal mumpung hari ini bisa pulang kantor tepat waktu kita mau nongki-nongki dulu di kafe lo, Ra," sahut Monik dengan raut wajah kecewa.

Tara sebenarnya tidak tega mengecewakan para staf dari kantor yang terletak di seberang kafenya ini. Tapi karena sudah telanjur memutuskan kafe tutup sore, Tara hanya bisa tersenyum meminta pengertian pada Monik.

"Lagian tumben tadi kalian pas istirahat siang nggak ke sini?" tanya Tara mengalihkan pembicaraan.

"Kita dikejar kerjaan. Nggak sempat istirahat," jawab Saga.

Tara sontak memandang kelima staf kantor di depannya dengan tatapan prihatin.

"Kita juga sekalian mau ngenalin staf baru ke elo, tahu! Eh, ternyata udah tutup," dumel Tia, staf kantor lainnya yang paling suka ngafe.

"Maaf deh. Ya udah besok aja kalian ke sini pas istirahat siang kayak biasanya," kata Tara. Ia hanya ingin orang-orang di hadapannya ini berhenti mengeluh.

Ngomong-ngomong soal staf baru, Tara tidak menemukan anggota tambahan di tim Mas Bayu. Mereka datang tetap berlima seperti biasanya. Bukan berarti Tara sedang penasaran akut, ia hanya ragu dengan ucapan Tia. Jangan-jangan karena kelelahan, Tia bicara melantur.

"Panjang umur. Tuh anaknya nongol." Yongki menunjuk seorang pengendara motor yang baru saja berhenti di depan kafe.

Tara kini ikut memperhatikan sosok laki-laki berperawakan tinggi yang katanya adalah anggota baru di tim Mas Bayu. Kepalanya masih terbungkus helm full face sehingga Tara belum bisa melihat wajah laki-laki itu.

"Ra, siapkan mental. Lo jangan mupeng ya kalau si doi udah buka helm. Jangan sampai kayak si Monik," bisik Tia pada Tara.

Tara melirik Monik. Benar saja Tia jadi geregetan. Pasalnya sekarang Monik sedang memasang wajah kasmaran sembari sesekali menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.

"Katrok banget lo, Nik! Ketahuan kalau lo itu kelamaan jomlo," cibir Saga yang ternyata juga mendengar bisikan Tia tadi.

Monik lantas menghantam punggung Saga dengan beberapa berkas yang sedari tadi ia bawa.

"Lo kalau ngehina kayak udah berasa jadi yang paling bener!" sungut Monik.

Saga meleletkan lidah. Tara yang sedari tadi memperhatikan pun jadi tertawa pelan. Perdebatan konyol itu membuat Tara melewatkan momen saat si staf baru membuka helm. Tahu-tahu kini laki-laki yang berhasil membuat Monik kesengsem itu sudah berjalan perlahan menuju gerombolan orang-orang di depan pintu kafe.

"Bukan rejeki elu, Roy! Kafenya udah tutup," terang Yongki pada seseorang yang baru bergabung itu.

Perhatian Tara pada Saga beralih pada Yongki. Otomatis pandangan Tara kini juga terarah pada laki-laki yang berhasil membuat Monik senyum-senyum sendiri.

"Ya udah nggak apa-apa, besok bisa coba mampir lagi. Asal tetap ditraktir sama Mas Bayu, kan?" balas orang yang dipanggil Roy itu.

Usaha melucu seorang karyawan baru ini lumayan juga, Tara mengakuinya dalam hati. Ia berani 'menyerang' senior di timnya meski baru kenal.

"Ini, Arroyan. Kafe lo akan tambah rame dengan kehadiran anggota baru di tim gue," timpal Mas Bayu sengaja menghindari tagihan traktir. "Udah ya, kalau gitu gue pulang duluan. Kangen istri sama anak," pungkas Mas Bayu. Bahkan sebelum anak buahnya menjawab ia sudah kabur dengan gesit.

Tia dan Yongki kompak merutuk. Mas Bayu kalau masalah traktir mentraktir memang paling pandai berkelit.

"Jadi ini orang yang pengin kita kenalin ke elo." Tia tersenyum ke arah Tara setelah puas dengan urusan mencibir Mas Bayu. "Roy, ini pemilik kafenya. Kita udah akrab saking seringnya nongkrong di sini," kata Tia kini gantian menjelaskan pada Roy.

Roy memusatkan perhatian pada Tara. Bibirnya lalu terangkat membentuk senyuman. Kali ini Tara setuju kalau Monik tidak salah dalam menilai penampilan seseorang. Arroyan memang tampan. Dari dulu hingga sekarang. Apalagi kalau sedang tersenyum begitu.

Kalau di novel-novel, biasanya tertulis bahwa si tokoh akan kesulitan bernapas, bergerak kikuk, atau apalah untuk menunjukkan gelagat salah tingkah saat ia dihadapkan dengan situasi bertemu kembali dengan cinta monyet semasa remajanya dulu.

Pernah saat Tara tiba-tiba mengingat sosok Arroyan Rasendriya, deskripsi sikap tokoh novel tersebut sempat ia bayangkan akan terjadi juga pada dirinya. Namun, ternyata ketika ia benar-benar mengalaminya, Tara masih bisa bernapas dengan normal dan bahkan membalas senyuman Roy dengan tulus.

Sepuluh tahun yang lalu, Tara sudah memaksa perasaannya pada Roy untuk berhenti tumbuh. Ia bersungguh-sungguh mendesak keluar bayangan Roy yang biasanya memenuhi pikiran. Menekankan pada diri sendiri bahwa ia harus benar-benar melupakan Roy juga sudah Tara lakukan.

Segalanya berjalan mulus saat Roy ternyata memilih pindah ke luar kota setelah lulus SMA. Menjauhnya laki-laki itu membawa angin segar bagi Tara. Usahanya untuk berhenti menyukai Roy menjadi lebih gampang. Namun, ketika bertemu kembali dengan Roy, kenapa usaha move on yang Tara kira berhasil itu kini terasa sia-sia?

Sorot mata Roy yang tajam tapi menenangkan membuat Tara goyah lagi.

"Kalau sama Tari sih gue kenal. Dia ini teman SMA gue." Roy tertawa senang. "Apa kabar, Ri? Lama banget kita nggak ketemu."

Senyuman Tara langsung lenyap. Ia menyesal karena beberapa detik yang lalu hatinya nyaris jatuh di tempat yang sama untuk kedua kalinya. Mestinya Tara harus punya pertahanan diri yang kukuh supaya saat Roy salah mengenali siapa dirinya, ia tidak perlu merasakan perih di dada. Seharusnya Tara selalu memancangkan kuat-kuat kenyataan pahit di otaknya: Arroyan hanya tertarik pada Tari--saudara kembarnya--dari dulu dan mungkin sampai sekarang.

"Gue Tara, Roy," cicit Tara. Entah suaranya terdengar jelas atau tidak.

Mata Roy membeliak sempurna. Ia seketika terbata-bata mengucapkan maaf yang tidak terlalu Tara dengarkan. Meski susah, pemilik kafe itu sibuk mempertahankan mimik wajahnya agar terlihat tetap santai. Tara berusaha tegar agar Tia dan yang lainnya tidak memandangnya dengan tatapan kasihan.

"Kalau gitu gue mau siap-siap pulang. Permisi." Tara melenggang masuk ke kafe, meninggalkan Roy dan lainnya yang masih betah berlama-lama berdiri dalam diam.

Breadcrumbing [END]Where stories live. Discover now