10 :: | Demi Kakiku

117 25 9
                                    

Kedua insan paling dihormati itu memasuki ruangan inap Jinyoung. Mereka duduk di sofa panjang yang tersedia di sudut ruangan. Memandang Jinyoung yang masih tersisa tawanya bersama gadis yang tengah duduk di sampingnya. Ia tersenyum. Seolah-olah mengatakan jika dirinya baik-baik saja.

"Katakan saja... Aku sudah pernah mengalami hal seperti ini." ucapnya sambil mengeratkan genggamannya pada tangan Meiling. Memandang sepasang kekasih kesayangannya yang terlihat begitu ragu.

Raja menghela nafas pelan, lalu memandang Jinyoung dengan senyuman tipis. "Kau harus menjalani kemo lagi... Dia tumbuh lagi... Kali ini di kaki kirimu..."

Pangeran muda itu mengangguk paham. Lalu kembali tersenyum. "Ada lagi yang disampaikan dokter?" tanyanya.

"Kau harus mengurangi aktivitasmu sementara waktu sampai hasil kemonya terlihat bagus... Appa memutuskan untuk membawa guru untukmu... Jadi kau tidak lagi sekolah..." nada pria itu memang lembut, tapi bagi Jinyoung yang mendengarnya, cukup sudah menghancurkan. Ia menunggu lebih dari sepuluh tahun untuk merasakan bagaimana harumnya kayu meja dan kursi di bangunan bernama sekolah. Dan pada nyatanya, ia hanya bisa merasakan dua setengah tahun saja.

"Tapi mereka tidak akan mengambil kakiku lagi, kan? Ini satu-satunya yang aku punya." kali ini ia memohon. Mendengar kalimat ayahnya jika ia tak lagi bisa membendung perasaannya yang sudah tentu dari awal hancur karena melihat CT scan sialan itu. Dan lagi ini? Seburuk itukah?

"Mereka tidak akan mengambil kecuali kau memaksa. Kalau kau masih memaksakan banyak aktivitas dan sebagainya, mereka tidak bisa melakukan apapun lagi jika hal itu terjadi." penjelasan itu membuat Jinyoung bernafas lega.

" Dan kaki palsumu, akan appa simpan. Kau akan memakai kursi roda untuk mengurangi aktivitas kakimu sementara." imbuh pria paruh baya itu dengan nada tegas. tanda ia tak lagi ingin di bantah putra nya.

"Iya... Tidak masalah asalkan mereka masih membiarkan kakiku... Demi kakiku." ia tersenyum. Ia tak pernah selega ini sebelumnya. Meskipun pada faktanya ia memang masih harus menjalani serangkaian pengobatan yang mengantree kedepannya, ia tetap bahagia jika kakinya masih diizinkan untuk bersamanya.

∆∆∆

Selama hampir seminggu ini, Jinyoung belajar di istana. Guru-guru didatangkan khusus untuknya. Dan ya, ia sudah cukup terbiasa dengan pembelajaran seperti ini. Meskipun pada dasarnya ia merasa sedikit lebih terlambat, tapi setidaknya apa yang ia ketahui justru lebih baik dibandingkan jika ia bersekolah seperti pada umumnya.

Karena guru hanya mengajarkan pada satu anak, tentu metodenya hanya satu yang bisa dengan mudah dipahami anak itu. Dan itulah yang Jinyoung rasakan.

"Baiklah... Anda bisa beristirahat, pangeran... Selamat menikmati hari anda..." Wanita berambut pirang itu mengakhiri pembelajarannya. Menutup buku pelajaran Jinyoung dengan senyuman.

"Terimakasih, Han seonsaengnim..." Jinyoung memundurkan ban kursi rodanya. Kemudian meninggalkan ruangan itu dengan lega.

Satu lagi, hari-hari yang hanya berisi pengawal dan dayang menggerayanginya. Padahal rasanya baru saja semalam ia merasakan bersekolah, masuk kelas bersama Byounggon, Seunghun dan Hyunsuk. Tapi ternyata itu sudah hampir 3 tahun saja.

"Selamat sore, pangeran tampan..."

Ia mendongak. Memandang gadis bermata kucing yang tengah berdiri dihadapannya. Ia tersenyum.

"Hey, Mei... Kau sedang apa? Eung... Dan untuk apa kain merah itu?" ia menunjuk ke kain merah panjang yang Meiling bawa.

"Ini penutup mata..." ucapnya dengan senyuman, lalu beralih berdiri di belakang Jinyoung. Memposisikan kain itu tepat di depan mata Jinyoung.

Luceat Lux Tua | CIXWhere stories live. Discover now