7. Susu kotak

222 41 7
                                    

"Tau kak Alsaki? Dia dari kelas sebelas unggulan yang sering dipuji guru karena anggotanya sepinter itu."

"Salah satu laki-laki baby face di kelas itu, kan?"

"Aku nggak terlalu tertarik, sih. Udah ada soalnya."

Nara membenahi rambut. Diam-diam, telinga gadis itu sibuk mengorek informasi. Sesuatu yang Fidelya dan beberapa siswi bicarakan kali ini, menyedot perhatian Nara sepenuhnya. Hingga buku yang baru saja ia baca, menganggur di atas meja.

"Nara, tolong ajarin biologi. Aku kurang paham materi minggu kemarin." Fay, siswi dengan rambut lurus sepanjang tulang selangka berdiri di samping meja Nara sembari menggenggam buku paket setebal 325 halaman.

Nara cukup mampu dalam mata pelajaran biologi. Meski nilainya sering kali anjlok dalam menghitung, perolehan nilai biologi gadis itu jarang mendapat nilai kurang dari delapan puluh lima. Tetapi, untuk urusan mengajari seseorang ... ia tidak mampu. Pernah sekali Nara mencoba menjelaskan suatu materi pada orang lain sebelum kejadian di sekolah menengah pertama, ia menyerah karena kehabisan kata-kata.

Mendapati gerak-gerik Nara yang gelisah, Ethan berinisiatif mengambil alih buku biologi di tangan Fay, lalu tersenyum ke arah Nara. "Aku aja."

Nara mengangguk, berterima kasih pada Ethan, dan meraih sekotak susu dari dalam loker meja. Ia mengeluarkan ponsel, meletakkan susu yang masih tersisa setengah di meja, lalu mengetik sesuatu. Bunyi notifikasi WhatsApp membuat Nara tergesa meraih kembali ponsel yang baru saja diletakkan dan tersenyum ketika melihat balasan.

William yang memperhatikan Nara merasakan suatu keanehan. Akhir-akhir ini, gadis itu lebih sering tersenyum ketika menggunakan ponsel. Fokus William teralih ke arah susu kotak di atas meja Nara, tangannya terulur, menyeruput minuman itu hingga tandas karena menganggap Nara tak lagi berminat.

Nara yang mendapati William mengusap bibir sembari menggenggam kotak susu, sontak membuat gadis itu terbungkam rapat. "Kamu ... minum susu kotak punyaku?"

"Iya."

Ethan yang mendengar menoleh ke belakang. Menatap William dan Nara bergantian. Ia melangkah mendekati William yang terheran, mencengkeram pundak sang pirang, meninggalkan Fay yang berdiri di samping mejanya. "Ngapain barusan?"

"Minum susu kotaknya Nara. Mau? Tapi ... keburu masuk perut." William menyeringai.

Suasana kelas mendadak hening, mendengarkan dengan khidmat apa yang baru saja William katakan.

"Nggak bisa beli sendiri?" Kening Ethan berkerut, semakin kuat mencengkeram pundak William.

"Emang kenapa? Lagian Nara udah rela," sahut William tak acuh. Retriever pirang itu menoleh ke arah Nara, diikuti mata semua orang di dalam kelas.

Nara segera mungkin mengangguk, risi ketika menjadi pusat perhatian. Gadis itu menggores tinta hitam dari pulpen yang digenggamnya ke atas lembaran kertas.

Ethan sulit merasa untuk percaya. Ia tak henti-henti menatap William dan Nara. Kelas menjadi riuh, diikuti sorakan dari beberapa orang yang menggerakkan Nara untuk menutup telinga dengan AirPods dari saku seragam.

"Parah kamu, Will. Bagi-bagi, lah! Aku juga mau!" Ethan terlihat kecewa, wajahnya memerah.

Seisi kelas terdiam. Beberapa orang yang sadar terlebih dahulu melempar 'bumerang' sorakan pada Ethan yang tersenyum kikuk.

Alis William terangkat, tangan laki-laki itu mengangkat sesuatu yang digenggam di tangan kanan, meletakkannya di depan Ethan. "Nih habisin, tinggal satu tetes. Telan sama sedotannya."

Ethan menatap kotak susu di meja William, cengkeramannya terlepas. Ia berbalik menuju kursi sembari menutup wajah tirus yang kini memerah.

Fay tersenyum ke arah Nara, mengembuskan napas lega. Nara yang melihat hal itu terdiam, memalingkan wajah ke arah jendela yang terbuka lebar.

Kesalahpahaman memang membawa setitik permasalahan baru jika tak segera diselesaikan. Begitu pula dengan keadaan antara Fay dan Nara. Karena kesalahpahaman di mana Nara memalingkan wajah, Fay merasa dirinya tak layak menjadi teman Nara. Insecure datang mengerubuti tubuh Fay yang semakin tenggelam dalam lumpur hisap negative thinking. Tanpa mengetahui sebuah fakta bahwa Nara hanya bingung mengekspresikan perasaan dengan jantung berdebar karena kebingungan.

Merasa terabaikan, Ethan melambaikan tangan di depan muka Fay, membuat tatapan gadis itu teralih padanya. "Maaf, masih mau lanjut?"

Fay menatap arloji di tangan kiri. Menyadari waktu istirahat yang hampir usai, ia menggeleng. "Aku terusin sendiri. Thanks," ujarnya, lalu pergi.

Ethan menoleh ke belakang, merasa Fay sempat melihat Nara. "Ra." Ethan menyentuh jari kelingking Nara, mengamati pergerakan gadis itu yang kini tengah melepas AirPods dari kedua lubang telinga. Ia kembali berpikir, mungkin lebih baik jika urung bertanya. Tapi, rasa penasaran enggan pergi dan masih memutuskan untuk menggelayuti pikiran. Bagaimana jika ia 'pergi' dan belum sempat bertanya pada Nara? Ethan ingin mati dengan tenang, bukan dengan menjadi arwah penasaran setelahnya. "Kayaknya tadi Fay ngeliatin kamu."

"Iya. Terus?" sahut Nara, memalingkan wajah menghadap bingkai jendela, menghindari tatapan Ethan. Kebingungan mengenai apa yang harus dikatakan. Lagipula, ia merasa bahwa itu bukan hal yang terlalu penting untuk dibahas lebih lanjut.

"Terus?" tanya Ethan.

Nara menatap raut wajah Ethan yang terang-terangan terlihat ingin mengetahui jawabannya. Ia menahan napas sejenak, kemudian mengangkat bahu. "Ya ... gitu."

Ethan tersenyum, sadar Nara tak berminat membahas lebih jauh. "Mau aku beliin susu di kantin? Ganti yang diminum sama William tadi."

Nara mendongak, menggeleng. "Nggak usah."

"Nggak apa-apa. Emang nggak mau?" tawar Ethan.

Nara berpikir, memegang dagu sembari menyelidik Ethan. Ia menyeringai, penasaran akan respon Ethan.

"Paham." Ethan menepuk puncak kepala Nara. Jika laki-laki itu memiliki kembaran yang tampak di hadapan semua orang, ia mungkin akan malu karena sang kembaran akan terlihat melompat kegirangan menendang bangku.

"Aku juga beliin, Ai! Tiga." William menatap Ethan dengan sorot kemenangan.

"Nara cuma mau minum yang kukasih. Punyamu ... basi," celetuk Ethan.

"Sembarangan. Mulutnya minta dijejalin ekor biawak."

"Nggak paham bahasa alien," sahut Ethan.

William mengibaskan tangan. "Susah ngomong sama orang yang sarafnya kebelit mirip kabel TV."

"Ngaca, ada orang nggak sadar diri yang cuma bisa ngatain orang."

"Pernah bercermin di rumah? Yang dari tadi ngatain siapa?"

"Kamu, lah!" Ethan menuding William dengan jempol kaki.

"Ribut apaan, sih? Tanya aja langsung ke Nara," sahut Fidelya dari kejauhan. Tak sanggup mendengarkan ocehan kedua manusia yang turut berpartisipasi dalam mengisi kebisingan kelas.

William dan Ethan terdiam. Kedua makhluk itu merasa tercerahkan.

Nara yang merasa risi dengan perilaku William dan Ethan karena kedua makhluk itu menatap bagaikan hewan peliharaan yang memberikan 'hadiah' buruan pada sang pemilik akhirnya bertanya, "apa?"

"Susu dari aku atau Ethan?" tanya William.

Nara menimbang dengan teliti, membuat keputusan bijaksana. "Dua-duanya, boleh?"

Kedua laki-laki itu mengangguk bersamaan. Tersenyum dan menjawab dengan semangat. "Boleh!"

Seperti itulah, pertengkaran antara William dan Ethan, terselesaikan dengan happy ending.

Aoi'Nara'n [END]Where stories live. Discover now