38. Cosplay

70 15 2
                                    

"Ai!"

William menaiki tiga anak tangga sekaligus setiap ia melangkah, berhenti di depan pintu kamar Nara yang tertutup. "Ai, ayo berangkat. Nanti telat sekolah." Ia memutar kepala, meregangkan otot leher, lalu terkejut saat pintu terbuka.

Nara memijat pelipis, berkedip cepat menyesuaikan softlens cokelat yang terpasang di mata kiri, melepas wig. "Aku belum ngasih tahu mama, lupa. Aku nggak masuk hari ini, kamu berangkat sendiri. Besok juga."

"Itu buat apa?" Tertarik dengan Nara yang berusaha melepas softlens, William berdiri. "Nggak masuk sekolah direncanain sampai besok? Kamu kenapa?"

Nara melirik lantai, berpikir sejenak. "Aku tipe orang yang ngerencanain semua hal di awal." Ia menggosok perut. "Diare, udah dari tadi malam. Apa aku ngelindur asal comot sereal Jack waktu di dapur?"

William terdiam, masih penasaran dengan softlens di jari telunjuk Nara.

"Aku mau cosplay. Kostum sama wig-nya udah datang dari kemarin. Mumpung nggak sekolah, kucoba aja," ujar Nara, meringis saat perutnya terasa sakit kembali. "Surat izin ambil di meja belajar, titip. Aku ke toilet dulu!" Nara memasang softlens dengan cepat. Wig di tangannya terlempar bebas menuju sofa. Akan tetapi, gagal mencapai tempat tujuan saat rambut palsu tersebut terjatuh ke bawah dan mengenai kepala Jack yang langsung mundur-mundur ke belakang.

William masuk ke dalam kamar Nara, memperhatikan kostum yang ada di atas ranjang, lalu mengambil surat di atas meja belajar. "Aku mencium aroma Jejepangan di kamar ini."

•••

Ethan mencorat-coret kertas kosong, mencari jawaban dari sebuah persoalan yang guru kimia berikan. Ia mengangguk saat menemukan jawaban, lalu bergegas menyalinnya pada buku.

William mengembuskan napas berat, bibirnya mengerucut tak senang. Terlihat bosan dan mengeluarkan ponsel, memotret soal kimia di papan tulis, lalu merebahkan kepala di atas meja, menghadap Dhafa yang serius. Ia bergeser sedikit ke samping, menjulurkan kaki ke arah kursi Dhafa, lalu menendangnya. William terkekeh saat Dhafa terkejut dan mengelus dada dengan hidung yang kembang kempis.

"Iseng banget sih, Will." Ethan memutar bola mata.

William tak menjawab, pipi laki-laki itu menggembung. Ia menopang kepala dengan kedua telapak tangan, urung turut menggunakan kedua telapak kaki.

Dhafa bergeser, merapatkan kursi dan meja ke samping kanan William, menutup akses jalan yang dapat dilalui para siswa-siswi. Ia mencuri pandang ke arah guru kimia yang sibuk membolak-balik buku paket, lalu berbisik, "Will, mau jenguk Nara? Bareng, aku nggak tau rumah dia di mana," ujar sang penyuka anime sejak lima tahun lalu yang berstatus sebagai anak rumahan, tidak mengetahui letak rumah anggota kelas kecuali rumah Jino yang tak jauh dari rumahnya.

Ethan dengan saraf telinga yang sensitif dan aktif sepanjang waktu menoleh. "Ikut. Omong-omong, perlu ajak Fay juga? Kurasa, dia pengin ikut."

"Nggak masalah. Ajak Adisti juga nggak apa-apa. Dia ketua kelas, mungkin mau ngewakilin sekelas buat jenguk Nara." William menguap, bersorak saat guru kimia memutuskan mengakhiri pelajaran dan memberi tugas tambahan untuk pekerjaan rumah.

Ethan terdiam, ragu. Ia menatap punggung Adisti yang berada di barisan terdepan, lalu menghela napas.

•••

Nara berdiri di depan cermin panjang yang menampakkan seluruh tubuh. Ia berjalan ke sisi lain, meraih short cape oranye lalu mengenakan jubah itu. "Aku bangun jam setengah tiga. Tiga puluh menit buat mandi, sepuluh menit makan siang, tiga puluh lima menit make up cosplay." Nara tersenyum senang, memutar tubuh. "Lima belas menit lagi jam pulang sekolah, William harus lihat."

Ia menoleh saat mendengar keributan dari lantai satu, mengernyit saat mendengar suara ramai, dan bergegas menuruni tangga. Gadis itu menahan napas saat mendapati sekumpulan manusia yang duduk di sofa ruang tamu. Nara berjinjit, melangkah perlahan naik ke atas, lalu terperanjat saat seseorang menyadari keberadaannya.

"Ai!"

Nara meringis, terpikir untuk memberi pelajaran hidup pada sang pirang. Ia berbalik, mendekati sekumpulan orang yang tercengang.

"Umaru-chan!" Dhafa berdiri, menatap kagum sembari menutup mulut yang terbuka.

William melirik Dhafa. "Satu orang maniak Jepang lainnya."

Nara duduk di dekat Fay, menunduk malu dan membuka tudung short cape. Tertawa pelan saat Dhafa tak berhenti melempar tatapan kagum.

"Imut, mirip." Ethan berdiri, berjalan mendekati Fay, lalu meminta gadis itu untuk bergeser. Memberinya tempat di samping kanan Nara.

"Cosplay? Kamu suka anime?"

Nara mendongak, menatap Adisti yang menyilangkan tangan sembari bersandar di sofa. Tatapan ketua kelasnya itu tidak ramah, tetapi juga tidak membuat Nara merasa terintimidasi. Terkesan seperti orang asing yang baru saja bertemu dengan orang asing yang lain.

Fay menoleh. "Nara udah mendingan?" Ia terlihat khawatir, memindahkan sekeranjang apel dari sofa ke atas meja. "Adisti bilang, apel bagus dikonsumsi kalau diare. Jadi, tadi dia ngajak aku beli ini dulu sebelum ke sini."

Nara terdiam. Kemudian tersenyum lebar ke arah Adisti yang terkejut. "Makasih, Adisti."

"Omong-omong, ketua kelas suka anime juga?" tanya Dhafa.

Adisti menggeleng, duduk tegak, lalu melepas silangan tangannya. "Aku suka film fantasi."

Dhafa merengut, lalu kembali terkagum melihat penampilan Nara dengan short cape oranye, wig pirang, serta seragam putih dengan rok berwarna merah. "Kawaii."

William dan Ethan sontak berdiri, duduk mengapit Dhafa, dan menutup wajah laki-laki itu dengan bantal sofa.

Ethan menyipit, menahan kaki Dhafa yang menendang ke segala arah. "Matanya liat kemana tuh, Wibu?"

William terkekeh. "Ambil toples, Than! Kita jadiin action figure, terus kita pajang di Laboratorium sekolah. Kepala sekolah udah pasti bangga."

Aoi'Nara'n [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang