Study in Celebes #2

175 14 1
                                    

Gawat, gawat! Hari ini aku akan terlambat! Aku bergegas menuju mobilku yang terparkir di depan. Aku bukannya takut akan terkena pemotongan gaji atau apa pun, tetapi aku hanya tidak suka karena akan bertatap muka dengan Samuel lagi. Jika terlambat, aku akan kena tegur dan dipaksa memandang wajah menyebalkan Samuel selama sepuluh menit di ruangan miliknya dan itu hal yang sangat buruk.

Aku memacu mobilku sekencang mungkin dan mencari jalan pintas menuju kantor. Karena untuk sampai ke sana dengan melewati jalan yang biasa sudah jelas akan memakan waktu sebanyak tiga puluh menit. Terlebih lagi, sekarang hanya tersisa waktu dua puluh menit sebelum Samuel tiba di kantor. Aku melintasi jalanan-jalan kecil. Di satu jalan yang cukup lebar, aku melihat kerumuman orang dengan mobil polisi, serta sebuah mobil sedan yang kukenal, "Bukankah itu mobil AKP Sudirman?" pikirku.

Aku memutuskan untuk singgah sebentar untuk menanyakan apa yang sedang terjadi. Aku memarkirkan mobilku di samping tanah lapang tempat para masyarakat berkumpul. Mereka menunjuk-nunjuk sebuah pohon dari belakang garis polisi. Ada seorang yang memotret-motret, sepertinya wartawan.

"Dai, apa yang Anda lakukan di sini?" tegur Sudirman terkejut melihatku.

"Saya kebetulan lewat dekat sini dan melihat keramaian juga mobil Anda, apa yang terjadi?"

"Lagi-lagi, ditemukan mayat seorang perempuan. Kali ini tergantung di pohon. Permpuan dengan rambut cokelat."

"Cokelat?" aku sangat kaget mendengarnya. Hal itu mengingatkanku kepada Priscilia yang sejak kemarin tidak masuk kerja. "Boleh saya melihat mayatnya?"

"Kenapa, Dai? Anda merasa akan mengenalnya?"

"Ya, hanya ingin memastikan. Kemarin rekan kerja saya tidak masuk, hingga saat ini tidak ada kabar sama sekali. Rambutnya pun sama dengan yang tadi Anda katakan, disemir cokelat. Saya hanya khawatir," jelasku kepada Sudirman yang kemudian menyetujui permintaanku.

Dia menemaniku ke rumah sakit untuk memastikan identitas mayat. Ternyata benar, perempuan yang terbaring di depanku benar-benar Priscilia. Meskipun dengan keadaan yang sangat berbeda dari yang kukenal. Wajahnya lebam bukan main, tubuhnya penuh bekas penganiayaan. Di dadanya terlihat banyak bekas gigitan. Di bagian lain, terlihat bekas terbakar dan sengatan listrik, banyak pula bekas tusukan. Semua kukunya terlepas dari tiap jari yang ada, baik jari kaki atau jari tangan. Di lehernya terlihat jelas bekas lilitan tali. Keadaannya benar-benar mengenaskan.

"Rambutnya hampir lepas dari tengkorak kepalanya dan saya tidak menyarankan Anda melihat bagian intimnya, itu benar-benar mengerikan," kata petugas rumah sakit yang mendampingiku dan Sudirman.

"Bagaimana Dai, apa Anda mengenalinya?" tanyanya.

"Ya, dia teman sekantor saya, Priscilia Octaviani. Sejak kemarin dia menghilang," aku menjawab datar. Ada sesuatu yang bergemuruh dalam dadaku. Campuran antara rasa marah, menyesal, sedih, tidak berguna dan kecewa kepada diri sendiri. Kejadian yang lama aku lupakan itu serasa melintas kembali dalam benakku.

"Dai, maukah Anda ikut saya untuk dimintai keterangan? Jangan takut, bukan sebagai tersangka, hanya sebagai saksi yang mengenal korban," tanya Sudirman.

"Tentu saja" jawabku yakin.

Kulihat mobil Sudirman yang tadinya memang jalan lebih dulu, sudah terparkir di parkiran kantor polisi. Sementara itu, saat aku memarkirkan mobil, kudengar seorang perempuan berteriak-teriak meminta keadilan atas nama temannya Dewi. Dia memperlihatkan ponselnya dan menyuruh para polisi untuk menangkap orang yang terekam itu. Aku melewatinya dan disambut Sudirman yang kemudian mengundangku masuk ke dalam ruang kerjanya. "Maaf, perempuan yang berteriak-teriak di depan itu siapa?" tanyaku penasaran.

Project X: The New Beginning of Net Detective IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang