Tragedi Pembakaran Panti

64 6 0
                                    

Bunyi dari langkah kaki yang mengejarku semakin lama semakin terasa dekat. Aku berusaha untuk tetap fokus ke depan tanpa harus menengok apa yang ada di belakangku. Dadaku terasa semakin pengap, membuat bibirku tidak dapat kukatupkan agar bisa mengirup udara sebanyak mungkin. Rasa takut ini memberikan tenaga pada kakiku yang sebenarnya sudah ingin berhenti berlari. Namun, apa daya, aku... masih tidak ingin mati.

Perlahan, langit mulai tidak tampak karena terhalang oleh rindangnya pepohonan yang semakin lama semakin bertambah banyak. Sesaat, kutengokkan kepala ke belakang tanpa mengurangi kecepatan. Namun, sepertinya itu adalah ide yang buruk. Kakiku menyandung akar pohon besar yang kini membuat tubuhku berguling di atas tanah berbatu. Kupegangi kakiku yang sepertinya bengkak, sambil melihat kembali akar pohon sialan yang sempat menghentikan pelarianku. Sambil berjalan tertatih-tahih, kudekati akar besar itu dengan penuh rasa amarah. Semakin dekat, semakin terlihat jelas bahwa itu bukanlah akar pohon, melainkan sosok yang kukenal.

"Mizuki?" Sorot cahaya lampu senter membuat luka-luka sayatan yang terukir pada wajah Mizuki tampak semakin jelas. Darah bercucuran dari tiap luka yang ada. Baju yang seharusnya berwarna biru muda, kini hampir sepenuhnya berubah akibat darah yang keluar dari lubang besar pada perutnya. Bau amis yang sudah lama kulupakan kembali memaksa makan malamku keluar dari dalam perut. Kuberlari ke belakang sebuah pohon untuk menenangkan diri, tetapi sosok yang semula sedang kujauhi kini berada tepat di belakangku. Dengan mata merah seramnya, Kei menggenggam pisau yang siap ditancapkan pada perutku.

"Seorang teman tidak akan meninggalkan temannya mati seorang diri," ucapnya berkali-kali.

Aku berusaha menenangkan diri sambil terus menutup telinga agar suara Kei tidak meracuni pikiranku. Namun, kulihat Mizuki yang seharusnya terbaring di atas tanah kini berdiri mendekat sambil terus menyebut namaku. "Dias... Dias..." Langkahnya yang terseret karena sebelah kakinya patah tambah membuatku merasa seram. Darah-darah itu masih tidak berhenti mengalir, disusul dengan darah Mizuki yang mulai mengalir keluar seiring dengan langkah kakinya. Aku berteriak sambil terus memejamkan mata dan menutup telinga. Entah kenapa suara Mizuki justru semakin terdengar nyaring. Seakan-akan dia ada dalam kepalaku sekarang. "Dias...Dias...Dias!"

"Dias!" suara ibu yang berasal dari balik pintu menyelamatkanku dari siksaan yang setiap malam kualami. Sudah beberapa hari ini aku selalu bermimpi buruk tentang Mizuki atau Kei. Malam ini, sepertinya mereka bekerja sama untuk masuk ke dalam mimpiku.

"Iya Bu, ada apa?" sahutku dari dalam selimut. Kepalaku masih terasa sakit, membuatku malas untuk beranjak dari atas kasur.

"Ada surat dari Jepang!" sahut ibu lagi.

Tubuhku seakan-akan bereaksi terhadap hal itu. Langsung saja aku melompat dari atas tempat tidur, membuka pintu dan mengambil surat dari tangan ibu. Padahal, ibu bilang dia sudah membuatkan bubur ayam untukku, tetapi bagaimana mungkin aku menunda untuk membaca surat yang sudah berhari-hari kutunggu itu. Kulihat nama pengirimnya. Ternyata benar, nama Tuan Takahashi terpampang di sana. Ya, setelah ketibaanku di Indonesia, langsung kutulis surat kepada Tuan Takahashi untuk memberitahukan tentang kebenaran yang kudapat mengenai kasus si Takashima bersaudara itu. Tentu saja kukirimkan juga buku harian Ryo sebagai barang bukti. Hal yang terpenting, aku pun mencari kabar mengenai Mizuki yang tidak pernah membalas e-mail-ku sekali pun.

 Hal yang terpenting, aku pun mencari kabar mengenai Mizuki yang tidak pernah membalas e-mail-ku sekali pun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Project X: The New Beginning of Net Detective IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang