4. SEBUAH KEJUJURAN

80 9 1
                                    

Menurutku, bungkam adalah cara yang paling tepat.

***

Kelas XI IPA 5 sedang berada di situasi hening. Tidak tanpa alasan, ada ulangan harian fisika. Tak seperti ulangan bahasa Indonesia yang biasanya ditinggal tidur oleh gurunya, tapi guru fisika ini menatap setiap sudut kelas tanpa kedip. Bu Heny namanya.

"Bu, mau tanya," ucap Danu, cowok berbadan bongsor itu mengangkat tangannya.

"Ada apa, Nu?"

"Buat soal kok susah amat, kaya ngejar doi yang nggak peka-peka," celetuk Danu.

Hanya Danulah yang berani bersenda gurau dengan guru berbadan sedikit lebar ini.

"Diam kamu Danu! Kerjakan saja pasti juga kamu remidi, kan?! Contoh tuh Malika yang selalu dapat nilai di atas rata-rata."

Malika yang dipuji hanya tersenyum sekilas. Memang selama kelas 10 Malika selalu mendapat peringkat  tiga besar.

Di arah yang tak jauh dari sana, ada Lyora yang memandang Malika tidak suka. Ketika Malika izin ke toilet, sebuah ide terlintas dipikirannya untuk menjebak Malika.

****

Bel istirahat berbunyi, semua murid harus mengumpulkan hasil ulangannya.

"Bu saya tadi liat Malika bawa contekan tuh," tuduh Lyora.

"Apa benar Malika?" tanya Bu Heny tak percaya.

Malika terbelalak. "Saya nggak pernah bawa contekan Bu, kalo emang nggak tau jawabannya pasti saya jawab asal. Fitnah tuh Lyora."

"Cek aja lacinya, gue liat ada sobekan kertas di situ," adu Lyora.

Bu Heny memeriksanya dan benar ada buku lks yang terbuka di laci Malika, "Iya ini benar. Apa apaan kamu Malika? Diam-diam kamu lakukan ini? Apa setiap ulangan kamu bawa?!"

"Saya juga nggak tahu Bu, ada buku disitu, seingat saya, sehabis belajar buku sama lksnya udah saya masukin ke tas Bu," bela Malika.

"Walaupun kamu mengelak, tapi kebenarannya memang ada contekan di meja kamu. Sekarang saya minta kamu berdiri di lapangan upacara dan hormat ke tiang bendera sampai jam istirahat kedua nanti!" hardik bu Heny.

"Tapi-"

"Tidak usah mengelak lagi, kamu mau di hukum yang lebih berat?!" bentak bu Heny.

"Enggak Bu," jawab Malika tertunduk pasrah. Malika berjalan lesu menuju lapangan.

Malik yang melihat ekspresi perubahan wajah Malika hanya bisa menatapnya iba. Begitu pula dengan Dinar, dia tidak bisa mencegahnya karena tidak ada bukti.

Lapangan upacara cukup ramai karena masih banyak siswa-siswi lalu lalang karena ini adalah jam istirahat. Sehingga Malika menjadi pusat perhatian dari setiap penjuru sekolah.

15 menit berlalu, begitu saat bel tanda isitrahat telah usai berbunyi. Gadis itu menghela napas panjang, "Akhirnya selesai juga." Malika segera ke kelasnya. Bukan sekolahan namanya jika setiap siswanya rajin. Buktinya, di setiap koridor masih ada yang masih berkeliaran di sana walaupun bel sudah mengeluarkan suara dengan lantangnya.

"Katanya anak rajin, kok sampai dihukum gitu sih?" cibir siswi yang Malika lalui.

"Gue denger sih dia bawa contekan waktu ulangan."

Begitulah kiranya. Walapun mereka berbisik, Malika masih bisa mendengarnya. Tapi gadis itu tidak ada niatan untuk menegur atau mengajak ribut.

Udara di luar tadi begitu panas, membuat kepala Malika terasa kunang-kunang. Dia mencoba memejamka matanya untuk mengurangi pusing di kepalanya. Tiba-tiba Malika merasa ada benda dingin menempel di pipinya. Tapi apa?
Gadis itu membuka matanya perlahan dan ... Malika cukup terkejut karena ada Malik yang sedang berdiri di sampingnya.

"Gue tau lo kepanasan, makanya beli ini buat lo," ucapnya sembari memberikan minuman dingin kepada Malika.

Malika diam sejenak, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi di depannya.

"I ... ya makasih," Malika menyunggingkan senyumnya mencoba menghilangkan rasa gugupnya.

"Yaudah gue pergi dulu."

Padahal Malika ingin berbicara lebih banyak lagi dengan Malik. Tetapi sudahlah mungkin pemuda itu butuh waktu untuk mengenalnya.

"Malika," panggil Dinar melihat sahabatnya yang tersenyum sendiri. Dinar sampai sudah mendadahkan tangannya di depan sahabatnya itu.

Malika sedang melamun mengingat kejadian yang terjadi barusan.

"Heeh, lo ketempelan apa gue panggil diem aja?" kesal Dinar, akhirnya dia menggebrak meja sampai membuat Malika tersentak.

"Berisik ah, gue lagi bahagia nih."

"Kenapa?" tanya Dinar penasaran.

"Malik kasih gue minum tadi."

Dinar tak menunjukkan ekspresi terkejut.

"Ih, kok lo diem aja sih," protes Malika.

Dinar mendengkus. "Ya terus gue harus ngapain?
Jungkir balik? Sujud syukur?"

"Ya gak usah gitu juga kali."

"Eh emang kenapa sih, selama gue kenal lo gue gak pernah liat sifat lo kaya gini. Kalo ada yang suka sama lo pun lo kaya cuek gitu aja nggak mau ngladenin. Lah ini malah lawan katanya lo malah seolah-olah kaya ngejar-ngejar Malik. Apa jangan-jangan lo di guna-guna?" selidik Dinar.

"Apaan sih lo ya nggak lah," elak Malika. Dia juga merasa begitu. Ada perubahan di dalam dirinya sejak bertemu Malik.

****

"Jadi Malik itu sahabat kecil lo, yang selama ini lo cari itu," ucap Dinar cukup kaget dengan penuturan Malika.

Malika mengangguk.

"Lo yakin, Malik anak baru itu?" tanya Dinar ragu.

"Iya, setelah gue menelisik lebih dalam gue yakin dia Malika sahabat kecil gue," jawab Malika.

"Menurut cerita lo Malik itu humoris, tapi Malik yang ini malah lawan katanya." Dinar membuka ice cream yang tadi di belinya. Begitu pula dengan Malika sedang memakan snack kesukaanya.

Sebelum ke halte Bus, mereka mampir ke supermarket yang berada di dekat sekolah. Mobil yang biasa di kendarai oleh Dinar sedang di bengkel, jadi dia harus naik kendaraan umum. Malika yang biasanya hanya sendiri di tempat ini menjadi ada teman mengobrol sambil menunggu bus lewat.

"Lo nggak ada niatan gitu, bilang ke dia kalau lo itu sahabat kecilnya," saran Dinar.

"Gue awalnya mau bilang jujur ke dia, tapi kayanya bukan waktu yang tepat, deh."

"Malika, lebih cepat lebih baik, kan?"

"Iya tapi gue ragu, lo tau kan sifatnya Malik, gue takut dia malah benci gue nantinya. Dan mungkin gue nggak akan bilang ke dia."

"Tapi dia kok nggak ngenalin lo sama sekali sih?"

"Mungkin yang dia kenal itu Ara."

Dinar menaikkan alisnya, pertanda tak maksud perkataan sahabatnya itu.

"Dulu nama gue Ara, tapi sejak gue pindah dan Papa meninggal, kata Mama kalau ada yang tanya nama kamu siapa jawab aja Malika. Dan gue baru inget Malik nggak ngenalin gue, karena nama gue berubah. Gue aja sekarang baru tau nama lengkap Malik," lanjut Malika menjelaskan.

"Kalau itu emang keputusan lo gue dukung, tapi jangan buat lo nyesel nantinya."

Malika sebenarnya ingin berkata jujur, tapi hati kecilnya berkata tidak. Biarlah Malik mengenalnya sebagai Malika orang asing, bukan Ara sahabat kecilnya.

Tak disadari ada seseorang yang mendengar percakapan mereka. Orang itu tersenyum penuh arti.

Thank you♡.

Malik dan Malika (SELESAI)Where stories live. Discover now