01. Morning Class

51 3 2
                                    

Hangatnya pagi menyambut Rhode Island setelah semalam kawanan rintik hujan turun. Bunyi kicauan burung terdengar indah layaknya sebuah instrumen yang membuat siapapun mendengarnya merasakan kenyamanan.

Erin bangun dari tidur nyenyaknya, lalu mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan meregangkan tubuh. Ia melihat jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh sehingga ia memutuskan untuk mandi dan membuat sarapan dengan roti gandum isi selai coklat untuknya dan Rose.

Setelah 15 menit membersihkan tubuhnya, ia berganti pakaian yang nyaman untuk dipakai. Celana jeans kulot biru gelap dengan atasan kaos hitam bermotif sederhana yang dimasukkan ke dalam, ikat pinggang kekinian berwarna hitam dan tak ketinggalan menggunakan outer merah maroon. Untuk sepatu ia suka yang memudahkannya untuk berjalan kemana-mana dengan nyaman. Kali ini ia memilih sepatu kets untuk menyesuaikan pakaiannya. Selesai dengan pakaian ia memoles bedak secukupnya, lalu menggunakan lip balm karena bibirnya selalu terlihat pucat. Tambahan terakhir ia menyemprotkan parfum beraroma woody kesukaannya dan memasang jam tangan berukuran kecil dengan tali berwarna hitam. Setelah semua beres, ia menyisir rambut dan mengepangkannya dengan tidak terlalu erat.

10 menit berlalu, ia keluar kamar menuju meja makan untuk mengambil roti gandum yang telah ia siapkan tadi, lalu mengeluarkan susu segar dari kulkas dan menuangkannya ke segelas panjang. Di gigitnya roti gandum tadi dengan satu kali gigitan kecil, kemudian ia tersadar setelah melihat pintu kamar temannya yang masih saja tertutup pada pukul setengah delapan. Ia pun mendengus pelan dengan salah satu kebiasaan buruk temannya itu yang sulit sekali diubah.

Erin melangkahkan kakinya menuju kamar Rose yang terletak di sebelah kamarnya. Ia segera masuk dan membangunkannya. Ia memanggil nama temannya itu, namun hanya keheningan yang menjawab. Rose masih bergeming. Erin pun mengguncang tubuh Rose agar segera bangun.

"Rose, bangun! kita ada kelas pagi, lo mau kena marah dosen galak itu?! Rose!!" ucap Erin dengan suara agak kencang namun tegas. "Ya ampun Rin ... kayak udah jam 8 aja sih. Biarin gue tidur sep-", ucapannya terpotong setelah Erin dengan tegas mengatakan, "Sekarang udah jam setengah delapan, lo gak siap dalam 10 menit gue tinggal." Ia berucap begitu sambil berlalu keluar dari kamar Rose dan melanjutkan memakan roti gandumnya yang sempat tertunda.

"Erin, lo kok ngeselin sih!!" teriak Rose dari kamarnya. Erin tak memedulikannya.

Setelah menghabiskan rotinya, ia langsung kembali ke kamarnya untuk mengambil tas tenteng berwarna coklat dengan bahan kanvas dan digantungkannya ke pundak. Kemudian mengambil susu yang ia taruh di atas meja dan meminumnya hingga setengah gelas, ia menyisakan setengahnya untuk temannya itu yang kini sedang mondar-mandir kesana kemari untuk bersiap-siap.

"2 menit lagi." ucap Erin mengingatkan di dekat pintu. "Iya, Erin ku sayang ... Rose udah siap ini.", jawab Rose sambil mengambil roti buatan Erin dan meminum susu yang sudah disisakan untuknya, lalu dengan segera ia menyusul ke dekat pintu agar tidak ditinggal.

"Makasih sayang sarapannya.", kata Rose dengan senyum genitnya.

"Jijik." jawab Erin sambil membuka pintu.

"Jangan jutek gitu Mbak Erin, ntar cowok gak ada yang mau lho.", goda Rose.

Erin memutar bola matanya malas, "Udah, ayo, keburu telat!"

Butuh 20 menit untuk sampai ke kampusnya kalau ditempuh dengan jalan kaki. Itu keputusan Erin yang awalnya di tolak mentah-mentah oleh Rose yang akhirnya, ia menyetujuinya juga karena lebih hemat biaya. Namun, konsekuensinya Erin harus berusaha mati-matian membangunkan Rose jika ada kelas pagi. Apalagi kalau yang mengajar si dosen galak berusia lebih dari 40 tahun itu. Andaikan telat satu detik saja, mereka akan berakhir diusir keluar kelas dan mendapatkan nilai D. Sungguh mengenaskan.

Erin selalu heran dengan Rose yang selalu saja santai jika ada kelas pagi. Apa jadinya jika ia tak membangunkannya, mungkin Rose tidak akan lulus cepat seperti yang diinginkannya. Dasar omong kosong, batin Erin. Mimpi boleh tinggi, tapi kalau tindakannya nol tinggal ucapkan selamat tinggal saja pada mimpi-mimpi yang beterbangan itu.

     ❈❈❈

Universitas ternama dengan jurusan yang memfokuskan ke kesenian. Bangunannya yang elegan dan fasilitas yang memadai, serta pendidikannya yang sangat berkualitas. Tentu saja banyak peminat yang ingin masuk ke sana, termasuk Erin.

Awalnya, Erin hanyalah seorang murid SMA yang tak tentu arah ingin melanjutkan pendidikannya ke bidang apa. Namun, berkat anjuran sahabatnya, Rose, yang saat itu ia menyarankan Erin untuk memilih jurusan yang berbau seni karena ia sering sekali melihat hasil karya Erin, sehingga Erin pun memutuskan untuk memilih jurusan seni. Setelahnya, ia bersungguh-sungguh mencari universitas yang ingin ia masuki, dan pilihannya jatuh ke salah satu universitas yang terletak di USA, oleh karena itu ia juga harus lebih mendalami kemampuan bahasa inggris nya.

Dan disinilah ia sekarang. Berhasil masuk di salah satu universitas yang diincar banyak orang adalah hal yang tak diduganya. Ia sempat berfikir jika keberuntungan sedang memihaknya saat itu. Tapi, jika takdir yang bertindak kenapa harus pusing memikirkannya. Toh, ia juga sudah mengerahkan segala usahanya, jadi itu adil, bukan?

Melewati itu semua, ia sedang menempuh semester 3 nya tahun ini. Erin yakin bisa menjalaninya hingga semester akhir, ia adalah orang yang pekerja keras dan fokus dengan apa yang ia kerjakan jadi ia tidak ingin wisudanya terlambat.

Erin POV

Kelas baru saja berakhir, ku putuskan mengajak Rose untuk membeli sedikit cemilan sebelum pergi menuju perpustakaan.

"Rose, beli cemilan bentar terus temenin gue ke perpus, ya!"

Rose terlihat sedang berfikir.

Ke perpus? aduh kalau disana gue ntar bawaannya ngantuk. Lagian nih anak ngapain ke sana, betah amat. Gimana ya.

"Temenin gue beli cemilan aja kalau gitu, habis itu terserah lo deh.", ucap ku akhirnya.

"Oke sip, yuk!", balas dia sumringah.

Pekanya temanku ini. Kalau gini kan gue gak perlu mikir susah buat nolak.

Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum membaca pikiran Rose yang terlintas. Dasar Rose, untung temen, batinku.

Sesampainya di kantin kampus, aku langsung mengambil satu minuman kaleng dan beberapa jajanan kecil. Untung kantin sedang tidak terlalu ramai, jadi aku sama Rose bisa bayar gak perlu nunggu lama.

Setelah menghabiskan semua yang dibeli tadi, kami pisah jalur jadi, langsung aja aku menuju perpus.

POV End

Erin melangkahkan kakinya masuk ke dalam perpus dan langsung menuju ke rak yang ia inginkan. Niatnya ia ingin meminjam buku untuk dipelajari nanti setelah pulang namun, tiba-tiba ia menemukan buku yang membuatnya tertarik di satu rak yang sama dengan buku yang dicarinya. Setelah mengambil buku itu dan menemukan buku yang ingin ia pelajari tadi, ia segera mencari tempat yang masih kosong dan beruntung ia mendapatkannya, Erin pun langsung mendudukinya.

30 menit membaca, Erin ingin meregangkan tubuh sebentar dan melihat pemandangan ke luar jendela. Indah, cuaca cerah yang sedikit tertutup awan dan beberapa pohon rindang yang hanya melihatnya saja membuat teduh dan nyaman. Tanpa sadar Erin tersenyum menyaksikan pemandangan itu.

Saat mengalihkan pandangannya untuk kembali fokus ke bukunya, tidak sengaja ia menatap seorang pria tak jauh darinya, selisih tiga meja di depannya. Pria itu juga sedang menatap ke arahnya. Apakah dia sedang menatapku?, batin Erin. Kemudian Erin menolehkan kepalanya ke samping kanan, kiri, dan belakang, memang ada beberapa orang di sekitarnya. Setelah itu, ia kembali menatap pria didepannya. Ia mencoba membaca pikirannya namun, nihil. Sama sekali tidak ada yang terlintas.

Apa ini?, batin Erin.

TBC

ADDICTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang