Bab 15

192 24 0
                                    


Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 4 sore. Aku masih terpekur di atas kasur. Menimang-nimang pertanyaan, apakah aku akan pergi ke acara Anggar atau tidak. Ku keluarkan uang logam untuk memastikan diriku sendiri.

"Kalau gambarnya angka, tandanya aku tidak pergi, kalau yang keluar lambangnya garuda aku pergi," gumamku pada diri sendiri. dan aku memulai melemparnya ke atas dengan kuku jempolku.

Dengan cepat uang logam itu berputar-putar di udara kemudian jatuh tak tergapai olehku. Menggelinding ke dasar lantai.

"Hey..hey.. hey.." kataku sambil mengejar uang logam itu sampai ke kolong kasur.

"Tiiinn... tiinn," bunyi klakson di depan rumah memaksaku untuk berhenti mengejar uang logam tersebut. Aku membuka jendela sedikit, ku lihat seseorang berada di atas motor besarnya. Rasanya aku pernah melihatnya.

Astaga! Itu kan Anggar. Kenapa dia datang kemari tanpa memberitahuku. Aku memutar badan. Uang logam itu tepat di ujung kakiku dan berlambang garuda.

"Kau... kenapa kau ke sini?" kataku begitu kikuk melihat Anggar yang masih duduk di atas motornya.

"Kenapa kau tidak datang, acaranya sudah mau dimulai," ucapnya cepat. Apa Anggar benar-benar mengharapkan aku datang. Memangnya aku siapanya dia. Ah, bicara apa aku ini.

"Jangan melamun, ayo naik, nanti kita terlambat," Anggar membuyarkan imajinasiku.

"Tapi aku.." kataku sambil melihat diriku yang hanya memakai jeans dan kaus oblong. Sedangkan acaranya semi formal seperti itu. Tapi sejak kapan juga aku memperhatikan penampilan, biasanya juga tak masalah walau harus memakai kaos dan jeans saja.

"Tak apa, takkan ada yang berkomentar," Anggar meyakinkanku.

"Oke, sebentar, aku ingin ambil dompet dan mengunci pintu," kataku bergegas ke dalam rumah, memasukkan handphone ke dompet, kemudian mengunci pintu rumah. Beres.

***

Aku dan Anggar jalan bersisian begitu kita sampai di depan teater opera anak. Aku menghentikan langkah ketika melihat para model masuk ke dalam teater. Penampilan mereka yang begitu memukau membuat ciut nyaliku karena dress codeku yang tidak sepadan. Apalagi Anggar memakai pakaian semi formal.

"Kenapa lagi?" sahut Anggar begitu melihat aku terdiam. Model-model itu tak hanya satu. Bahkan di antaranya pernah aku wawancarai. Semoga saja mereka tak ada yang mengenaliku.

"Oke baiklah," tak ku sangka Anggar melepas jasnya. Kemudian meletakkan jasnya di pundaknya sendiri. Kemeja panjang putihnya dia lingkis asal-asalan sampai ke siku. Tumit sepatunya dia injak seperti memakai sepatu sendal. Aku terkekeh melihat tingkahnya.

"Lebih santai bukan? Ayo kita masuk," katanya menarik sebelah tanganku. Jantungku berdegub sangat kencang. Kenapa pria ini selalu membuatku speechless.

Pertunjukan sudah mau dimulai. Teater dibiarkan gelap. Semua tertuju pada panggung yang diterangi lampu sorot. Aku dituntun Anggar untuk mengkuti langkahnya. Kemudian kita duduk di bangku paling depan.

Cerita diawali munculnya seorang anak kecil yang sedang menangis dengan gaun yang sangat cantik berwarna merah muda. Tak lama datanglah peri dengan rauh wajah yang sangat lembut. Dia menghampiri gadis itu sambil membawa sebuah bingkisan.

"Wahai putri, kenapa kau menangis?" tanya sang peri pada anak kecil itu. Dia mengelus rambut anak itu dengan penuh perhatian.

"Aku sedih, ibu dan ayahku tak kunjung datang, padahal ini hari ulang tahunku, apa mereka tak sayang padaku?" jawab si anak kecil tersebut.

"Jangan sedih putri, ibu dan ayahmu pasti sangat menyayangimu, sebagai gantinya, peri punya kado untukmu," sahut peri itu sambil memberi bingkisan pada anak itu. Raut wajah anak tersebut berubah. Anak itu menerimanya dengan senang hati.

"Terima kasih ibu peri," ucap anak itu sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. Peri itu kemudian menghilang. Si anak sibuk membuka kertas kadonya. Di dalamnya ternyata ada sebuah kotak musik dengan iringan sebuah lagu. Sedetik kemudian, teater ini memunculkan suara instrumen musik dari lagu bintang kecil.

Mataku perih. Hatiku tersentuh. Tiba-tiba saja aku teringat kedua orang tuaku. Teringat masa kecilku. Tak terasa aku menenggelamkan wajahku di bahu Anggar, tepatnya dikemeja yang dikenakannya. Air mataku tumpah. Aku menangis tak bersuara, tapi cukup membuat sesegukan sambil menggigit bibir. Tanganku gemetar hebat.

Anggar yang melihatku tidak berkomentar apa-apa. Dia langsung menggenggam tanganku erat-erat. Aku tak menolak sentuhannya. Lambat laun hatiku mulai tenang. Ada rasa hangat yang mengalir dalam tubuhku.

***

Jurnalis InvestigacintaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora