Bab 27

170 20 2
                                    


Aku cepat mengerem langkahku ketika aku melihat banyak sekali wartawan yang datang ke rumah Wiliam untuk menanyakan berbagai pertanyaan perihal Anggar anak tiri. Sepertinya berita kemarin sudah mencuat dan manjadi latah oleh media-media lain.

Ku putar balik ke arah kantor OLnews. Ketika aku sedang membereskan data-dataku di meja. Tiba-tiba Alya menghampiriku.

"Liv, sibuk gak?" Alya mencolek pundakku.

"Tidak, kenapa?" tanyaku melihat wajahnya yang memelas.

"Kita ngopi yuk di kantin," ujarnya. Aku memicingkan alis. Tak biasanya dia mengajakku ke kantin. Lantas aku menganggukkan kepala.

"Maafin aku Liv," mata Alya terlihat berkaca-kaca. Seperti kucing yang tertangkap basah mencuri ikan. Aku heran, kenapa akhir-akhir ini banyak sekali yang meminta maaf padaku. Ini kan belum lebaran.

"Maaf kenapa?" kataku sambil menyuruput cappucinoku yang baru saja datang.

"Sebenarnya, aku yang diam-diam mengirim pesan pada Red dari smartphonemu," uajrnya pelan..

"Kau?" aku tersentak tak menyangka.

"Tapi sungguh aku hanya disuruh oleh seseorang," ujarnya cepat sebelum aku melanjutkan kata-kataku.

"Disuruh?" aku mengerutkan kening.

"Iya, aku disuruh Gerdi, dia mengancam akan putus jika aku tak melakukannya, jadi saat kau datang ke kantor dan menggeletakkan smartphonemu di meja, aku langsung melakukannya,"

"Gerdi yang melakukan itu semua?" aku meremas tanganku sendiri.

"Tapi Liv, please jangan bilang padanya kalau aku jujur padamu," lirihnya memohon.

"Apa yang membuatmu sangat takut seperti ini?" tanyaku heran. "Apa kau benar-benar mencintainya?"

"Karena aku mengandung anaknya," ucapnya tergugu yang langsung membuatku terkesiap.

"Benarkah?" tanyaku tak menyangka. Alya menundukkan kepalanya. Aku mengusap wajah dengan tanganku.

"Kumohon Liv, jangan beritahu siapapun," katanya sambil memegang tanganku. Melihat Alya, setidaknya aku bersyukur tidak jatuh di tangan Gerdi.

"Tenanglah, kau aman bersamaku," kataku berusaha menenangkannya.

***

Aku mandapat kabar dari Lily kalau Dika sudah membaik dan sudah dibolehkan pulang. Bahkan dia sudah mulai kembali renang. Itu berita yang sangat melegakan. Karena bagaimanapun, aku mengerti Dika syok dengan pemberitaan tentang hubungan antara Anggar dan Wiliam. Aku merasa sangat bersalah. Walaupun bukan aku yang melakukannya tapi karena aku di keluarga ini, ada korban yang tidak bersalah dari kejadian ini.

Kabar melegakan kedua adalah aku tahu siapa yang menyebarluaskan berita keluarga Wiliam pada media. Aku puas menonjok Gerdi dan memperingatinya agar tidak berulah lagi. Ternyata Gerdi melakukan itu karena dia masih dendam dengan Anggar karena kejadian beberapa waktu lalu di rumahku. Gara-gara Gerdi, privasi Anggar jadi tercoreng. 

Bisa-bisanya dia melakukannya. Apa dia tidak pernah baca kode etik jurnalistik? Tapi apa orang yang dendam masih memikirkan hal seperti itu.

Lamunanku buyar seketika ketika smartphoneku berbunyi. Sejenak dadaku terenyuh ketika melihat siapa pengirim pesannya.

Hari ini Dika kembali pulih, maukah kau datang untuk melihatnya renang. Dan sekaligus aku mau membayar traktiranmu saat di rumah sakit.

- Anggar

Aku tak bisa menahan bibir untuk tidak tersenyum. Aku mengingat kejadian saat aku dan Anggar bertemu di rumah sakit untuk yang kedua kalinya. Saat itu aku melihat Anggar sangat kelelahan sampai tertidur di kursi tunggu. Ah pria itu walaupun sedang tertidur tapi tak sedikitpun menghilangkan pesonanya,

Aku tak membangunkannya, namun aku pergi untuk membeli pop mie di kantin yang ada di rumah sakit. Aku senyum-senyum sendiri melihat Anggar makan dengan sangat lahap.

"Aku akan membayarnya nanti traktiranmu ini," katanya pada saat itu.

"Ka!" sahut seseorang dari belakang. Spontan aku dan Anggar menoleh berbarengan. Dika terlihat berlari kecil menghampiri kami di arena renang.

"Aku tidak menyangka kalian akan datang," ucapnya sambil memamerkan giginya. Dia terlihat sangat membaik dan kembali ceria.

Anggar memasukkan tangannya ke kantung celananya. "Kau tidak suka?" Anggar bernada sinis namun kemudian terkekeh kecil.

"Ah kenapa kau selalu begitu, aku jelas senang kalian datang," Dika memukul bahu Anggar pelan.

"Omong-omong ada apa dengan wajahmu? Kenapa kau memakai masker?" tanya Dika heran.

"Tidak apa-apa, aku sedang flu," katanya berbohong. Padahal Anggar sengaja memakai masker agar dia terhindar dari wartawan yang sedang gencar meliputnya.

"Apakah renangnya belum dimulai?" pandanganku menyapu sekeliling. Dika menggelengkan kepala. "Belum, mungkin sebentar lagi, kalian duduklah, ingat Dania, kali ini kau tak boleh pulang duluan sebelum aku selesai," nada Dika sedikit mengancam namun dia tertawa setelahnya. Dika pun meninggalkan kami dan bersiap-siap untuk memulai pertandingan.

"Apakah kau meninggalkannya di sini saat kau datang ke rumah membawakanku bubur?" Anggar berusaha menggodaku. Aku merasa wajahku memerah karena malu. Sontak aku mencubit lengannya dengan keras. "Diam!"

Setelahnya aku makan siang dengan Anggar sambil membahas cara membekukkan Wiliam. Hatiku merasa tenang, aku merasa ada yang menjagaku dan bersamaku saat dalam masalah ini.

                                                                                                       ***

Jurnalis InvestigacintaWhere stories live. Discover now