Bab 28

158 20 0
                                    


Keesokan harinya aku dikejutkan dengan berita yang mengatakan bahwa Wiliam tersandung kasus korupsi. Aku membelalakkan mata. Kenapa berita ini naik tiba-tiba. Bukankah kasus ini belum selesai aku tangani.

Aku langsung beranjak dari kasur dan menyeret tasku menuju kantor OLnews. Dengan perasaan yang berapi-api aku mendapati Red yang sedang terpekur menatap komputer.

"Ada apa denganmu Red, bukankah yang menugaskanku untuk menyelesaikan kasus ini!" teriakku tak perduli dia adalah pemredku.

"Tenanglah dulu Olive, ini bisa kita bicarakan," Red berusaha memegang tanganku, tapi segera ku tepis. "Ini berita sedang booming Liv, semua orang membicarakan kasus ini,"

"Lalu kau dengan seenaknya 'menjual' berita hanya karena retting?" aku menegaskan kata menjual. Sepertinya aura iblisku sudah memuncak di ubun-ubun.

"Kau tidak usah munafik Liv, di dalam dunia media sudah biasa hal seperti ini," Red berusaha menyangkalku. Nadanya meninggi.

"Kau sudah berapa tahun menjadi pimred, Cross!" kali ini aku menyebut nama aslinya. "Apa kau sudah lupa apa itu kode etik jurnalistik yang tidak boleh melebih-lebihkan suatu berita, bahkan kau bisa disebut plagiat karena mengcopy beritaku tanpa izin!" teriakku saking geramnya.

"Apa itu hanya alasanmu saja Liv? padahal kau sedang berusaha untuk melindungi orang lain, benar kan?!"

Aku menyipitkan mata. "Apa maksudmu?"

"Kau sedang terlena oleh keluarga Wiliam bukan? apalagi ada orang yang sangat kau cintai di sana?" dia tersenyum sinis.

"Kau benar-benar tidak punya hati Cross, profesi jurnalistik sudah dipecundangi oleh oknum sepertimu!"

"Mulai detik ini, aku berhenti dari perusahaan ini, bagiku profesi jurnalis itu sangat berharga, tidak semudah yang kau bayangkan dan tidak bisa di jalankan oleh orang-orang sepertimu!" aku melempar kartu pers ke dada Cross.

"Kau jangan munafik Liv, jaman sekarang sudah susah mencari perusahaan yang benar-benar bersih!" teriak Cross, aku sudah satu meter pergi darinya. Aku mengangkat tangan tanda Cross harus berhenti berteriak.

Aku hanya mendengar dentuman keras dari ruangan Cross. Dan aku meneruskan berjalan tanpa menoleh sedikitpun.

Ku percepat langkah kakiku meninggalkan kantor OLnews. Ketika aku keluar lift, aku berpapasan dengan Gerdi. Aku memasang raut wajah mematikan dan berlalu begitu saja dari hadapannya.

Tanganku melambai untuk menyetop taksi. "Manggarai ya pak," aku masuk ke dalam taksi, taksi pun berjalan setelah ku hempaskan punggungku ke jok mobil. Huh! Rasanya aku baru saja melepas beban yang sangat berat di pundakku. sesak di dadaku masih ku rasakan, apalagi pada saat aku mengatakan 'berhenti'.

Tak mudah jika kau harus meninggalkan sesuatu yang amat lama kau selami. Pekerjaan jurnalis sudah menjadi fasion untukku.

Aku mencuci wajahku di wastafel. Ku lihat diriku yang terpantul di cermin. kau harus yakin dania kalau yang kau lakukan saat ini memang keputusan yang terbaik. Aku ingin keadilan dari kematian ayah dan ibu secepatnya aku selesaikan.

Aku berjalan gontai meninggalkan wastafel dan masuk ke dalam kamar. Ku lihat smartphoneku menyala. Pesan dari Anggar.

Kau ada di mana? Bisakah kita bertemu di cafe senja

***

Alunan musik klasik mengiringi keberadaan aku dan Anggar di cafe senja. Aku dan Anggar duduk saling berhadapan. "Maaf aku tak bisa bisa memenuhi janjiku agar berita itu tidak terekspos," kataku pelan ketika mengingat berita tentang Anggar mencuat.

"Bukan salahmu," ucapnya parau.

"Aku tidak tahu ini penting atau tidak kalau aku katakan padamu, tapi aku sudah berhenti menjadi jurnalis," aku tersenyum kecut.

"Benarkah?" Anggar seperti tidak percaya. Aku menganggukkan kepala.

"Aku juga sudah merencanakan akan berhenti dari perusahaan Wiliam, setelah itu aku ingin fokus menyelesaikan masalah Ayah dan Ibu," aku menundukkan kepala melihat cappucino yang sedang putar-putar dengan sedotan. Sebenarnya aku menghindari tatapan Anggar. Aku tidak mau dia melihat mataku berlinang air mata.

"Kau memang berhak untuk menentukan pilihan," ujar Anggar. Tak lama pesanan makanan datang. Aku melihat Anggar hanya mengaduk-aduk nasinya saja.

"Kenapa kau tak memakannya?"

"Aku juga tidak tahu, akhir-akhir mood makanku menghilang," jawabnya. Aku melihat wajahnya khawatir. Dia amat terlihat sangat lesu. Walaupun dia tidak menunjukkannya. Aku takut sesuatu terjadi padanya. Kami hanya bisa diam dengan pikiran masing-masing.

Sampai akhirnya suara smartphone Anggar membuyarkan lamunanku. "Hallo Mam?" Anggar mengangkat teleponnya. Aku langsung bisa menebak itu telepon dari Lily. ekspresi wajah Anggar berubah menjadi tegang. Giginya bergemeletuk.

"Iya, aku akan segera pulang," tutupnya.

"Mam menyuruh pulang," Anggar memasukkan smartphonenya di saku celana.

Aku menganggukkan kepala. Aku tak berani menanyakan ada apa, tapi aku tahu ini sangat denting.

Anggar mengendarai motornya dengan sangat kencang, sampai aku mengeratkan tanganku ke pinggangnya. Tidak biasanya seperti ini.

                                                                                                    *** 

Jurnalis InvestigacintaWhere stories live. Discover now