Bab 30

171 23 0
                                    


Ruang persidangan terlihat ramai. Aura panas menjalar di seluruh ruangan ini. Hakim, jaksa dan pengacara berada di depan. Aku datang bukan untuk menemani Lily. Tapi aku datang ke sini untuk menjadi saksi.

Ku lihat Lily dan Anggar yang turut hadir dalam kursi persidangan. Di ujung kiri ku lihat Wiliam yang tengah duduk dengan wajah kaku. Di dampingi kuasa hukumnya, wajah Wiliam tampak tenang.

Beberapa saksi dihadirkan. Aku salah satu di antaranya. Aku hadir sebagai mantan sekretaris pribadi Wiliam. Wiliam tersenyum padaku. Dari raut wajahnya dia berharap aku mengatakan tentang kebaikannya. Namun semua itu salah saat aku ditanya oleh hakim.

Aku menjawab semua tuduhan itu benar. Wiliam melotot tak percaya. Aku juga melihat Lily menyipitkan mata.

"Aku di sini bukan hanya menjadi saksi, tapi aku di sini sebagai pelapor, aku meminta pertanggung jawaban atas meninggalnya ayah dan ibuku dua puluh tahun lalu," jelasku tajam. Ruang persidangan bertambah tegang. Wajah Wiliam seperti terbakar saat mendengarku berbicara. Aku sengaja menatap tajam matanya.

"Apa maksudmu?" Wiliam tidak bisa menahan diri. Sang hakim memukul palu di atas meja tiga kali.

"Terdakwa diharap tenang," tegas hakim.

"Awalnya aku sengaja menyamar menjadi sekretarisnya untuk menyelidiki kasus korupsi. Namun aku melihat bukti lainnya yang tak lain adalah keluargaku sendiri. Dia membunuh Ayahku karena kalah dalam pemilihan presiden direktur, dia dendam pada keluargaku," aku meremas kepalan tanganku. Berusaha agar tak menitihkan air mata. Ayah, Ibu, aku tak dendam padanya, aku hanya ingin keadilan untuk kalian.

Selesai aku bicara hakim mengeluarkan bukti yang ku berikan. Dokumen yang selama ini ku kumpulkan, foto keluargaku, senjata tajam dan bukti lainnya.

Ini semua berkat seseorang yang datang malam itu. Seseorang yang datang menjelaskan detil kematian keluargaku malam itu.

"Anggar," bibirku gemetar mengucapkannya. Aku benar-benar tidak percaya dengan orang yang ada di hadapanku sekarang. Orang yang selama ini selalu kurutuki setiap kali mengirim pesan ternyata bukan Oskar.

Aku berdiri mematung di hadapannya. Banyak sekali spekulasi di otakku. Kenapa Anggar melakukan ini. Apa yang dia tahu tentang keluargaku, tentang Ayah tirinya. Tubuhku benar-benar lemas.

"Bisa kita bicara di lain tempat?" katanya dengan nada datar. Aku mengangguk. Sebisa mungkin aku kuatkan diriku membuka pagar rumahku lalu berjalan ke pekarangan rumah. Lampu halaman rumah menyorot sangat terang. Hingga aku bisa tahu rumput jepang masih basah seusai hujan tadi.

Anggar mengikutiku duduk di ayunan berjaring. Aku mendeham kecil. Menelan liur yang sebenarnya untuk menutupi rasa gugup. Jujur, aku tidak ingin menatap matanya. Aku masih belum percaya kalau orang yang ada di depanku ini adalah Anggar.

"Kau pasti terkejut," katanya seperti bisa menebak apa yang ada di pikiranku. Aku hanya bisa mengangguk. Menatap kosong sendal jepitku yang bergambar teletabis.

"Siapa kau sebenarnya Anggar?" kali ini ku benarikan diri untuk melihat matanya. kata-kata itu keluar begitu saja tanpa bisa ku tahan.

Anggar merogoh sesuatu dari kantong jaketnya. Sesuatu yang membuat mulutku menganga lebar. ID Persku yang sudah lama menghilang.

"Sebenarnya, aku mencari orang ini sudah lama," Anggar menunjuk fotoku di ID Pers itu.

"Bagaimana bisa ada padamu?" kataku masih belum percaya.

Jurnalis InvestigacintaWhere stories live. Discover now