La Reùssite ㅡ 08

235 21 6
                                    

"BANGSAT."

Baru saja aku, Arsya, dan Marshella masuk ke kantin, udah ada ribut -ribut gini. Bikin sawan aja. Kami bertiga tetap masuk ke dalam kantin, kami lapar. Pingin makan, bukan pingin nonton orang ribut.

Bugh.

Aku mendengar suara tinjuan itu, linu. Kami bertiga menatap dua orang yang sedang berantem di sudut kantin. Itu gengnya Angkasa dan yang di pukul tadi Angkasa. Apa sadar dia mukul Angkasa pas lagi gini ? Ya Allah, cari mati.

"Anjing. Lo ada masalah apa?" Teman - teman Angkasa yang semula duduk santai kini langsung berdiri dan marah, karena Angkasa di pukul begitu saja.

"Cari mati lo."

Aku melihat langsung perkelahian mereka. Live report.

Angkasa yang memegang rahangnya karena pukul tadi, sekarang balik memukul anak itu. Bahkan sampai jatuh. Belum membalas pukulan Angkasa, tapi Angkasa terus memukuli cowok itu sampai harus ditarik oleh temannya yang lain.

"Angkasa, udah. Lo bisa mampusin dia."

"Biar mati sekalian,"

Aku melihat, Putra membantu cowok itu berdiri dan ternyata aku mengenal cowok itu, cowok yang pukul Angkasa. Namanya Farhan, temen sekelas aku. "Kalau ada masalah, enggak harus di bahas di kantin, Han. Semua orang tau kebodohan lo,"

"Gue enggak akan gini. Kalau dia enggak mulai duluan."

"Gue enggak punya masalah sama lo,"

"Gara - gara lo, Angkasa."

...

Sekarang, aku ada di taman belakang sekolahan. Aku bawa dua plastik esbatu dan satu botol air minum untuk Angkasa tentunya. Aku disuruh Putra untuk menemani Angkasa di taman belakang. Karena temannya yang lain harus masuk ke kelas dan ada beberapa yang mengurus Farhan. Masalah Farhan dan Angkasa. Mereka membiarkan Angkasa untuk menenangkan pikirannya.

"Angkasa."

Dia merokok. Ada kepulan asap yang mengudara di sekitar Angkasa.

Cowok itu menengok ke arahku, "Jangan kesini, banyak asap rokok." Kata Angkasa yang sedang mengibaskan tangannya di udara, seolah mengusir asap - asap rokok itu menjauh. Ia juga mematikan rokoknya dengan cara menjatuhkan lalu menginjaknya sampai benar - benar mati. "Sini,"

Aku menghampiri Angkasa, ia mengeluarkan permen mint dari saku celana dan memakannya. "Gue bau rokok,"

Aku melirik Angkasa. Astaga, jantung aku enggak sehat. "Santai aja," kata aku dan menyodorkan satu kantung plastik es batu, "Ini, kompres luka memar lo." Angkasa mengambilnya dan menaruhnya di luka memar yang ada di sebelah kanan.

Satu kantung es batu lagi, aku tempelkan di pipi kirinya. "Sakit?" Tanyaku pada Angkasa

Hanya di jawab dengan satu kata, "Enggak,"

"Sejak kapan lo nyebat?"

Angkasa melirik aku dan menjawab, "Kelas sepuluh."

"Oh, masih baru kemarinnya. Kira gue lo nyebat dari SMP."

"Enggak." Angkasa terkekeh, "Jangan kasih tau Mama," lanjut cowok itu

"Mama lo, enggak tahu?" Angkasa menggeleng.

"Jangan bilang. Nanti gue dimarahin,"

Yaampun, lucu banget. Ketua geng, galaknya minta ampun, suka nyebat tapi takut sama Mama. Gemas betul aku sama Angkasa, kok bisa ada cowok bengal yang takut ketauan nyebat sama Mamanya.

Aku tertawa kencang, "Astaga. Ketua geng kayak lo ternyata takut sama Mama," dan tanpa sadar aku menoyor kepala Angkasa.

YaAllah, tangan aku kok lemes banget noyor kepala orang.

Angkasa menatap aku, "Angkasa, sumpah gue enggak sengaja. Gue minta maaf." Takut. Angkasa ngeliatinnya serem banget.

"..."

Aku mengambil salah satu tangan Angkasa dan memberika satu kantung es batu yang tadi aku gunakan untuk mengompres memarnya. Dan menaruh air minum di dekatnya, "Gue ada kelas. Gue tinggal ya, Angkasa."

Aku lari.

Yaampun, aku enggak mau di pukul Angkasa kayak tadi dia mukul Farhan. Serem banget.

Semoga Angkasa enggak marah.

...

Bel pulang sudah berbunyi. Setelah guru guru dari kelas, teman - teman sekelas aku juga langsung keluar dari kelas. Hanya tersisa aku, Marshella, Arsya, dan beberapa orang yang sedang piket harian.

"Gimana Angkasa?" Putra berdiri di hadapanku.

Marshella dan Arsya juga menatap aku, "Lo bantuin dia, kan?"

"Putra." Aku memasang wajah sedih ke Putra, Marshella, dan Arsya. "Sumpah, gue enggak sengaja. Tolongin gue, gue takut Angkasa pukul gue."

"Hah, kenapa? Ada apa, sih?"

"Angkasa enggak mukul cewe, Kill."

"Lo apain Angkasa, Shakilla?"

"Lo, kenapa?"

Aku menghembuskan nafas pelan, "Gue enggak sengaja noyor kepala dia. Gue udah minta maaf, serius. Tapi dia cuma diem aja ngeliatin gue. Takut."

"Shakilla, lo bloon banget."

"Angkasa enggak mukul cewek setau gue, lo tenang aja." Aku melirik Marshella.

Sekarang gantian, Putra menoyor kepala aku. Semoga aku enggak bodoh. "Angkasa enggak suka di gituin, Kill. Kalau lo cowo, udah mampus."

Aku menatap Putra, "Terus gimana dong? Bantuin gue, gue enggak mau punya masalah sama Angkasa. Takut"

"Putra."

Kami berempat menengok kearah pintu. Disana ada teman - teman satu gengnya Putra. Syukurlah, aku enggak liat keberadaan Angkasa.

"Killa, mending lo minta maaf."

"Enggak usah, biarin aja. Namanya juga enggak sengaja."

Baru saja aku bersyukur Angkasa enggak ada, sekarang dia malah keliatan. Paling tinggi diantara teman - temannya, dan paling ganteng. Ya Tuhan, takut. Serem.

Angkasa melihat ke arahku. Tapi aku, enggak. Aku takut dan beralih menatap Putra.

Putra melirik aku lagi, "Santai, Angkasa enggak bakal hajar lo."

"Serius?"

"Serius. Pegang omongan gue,"

Putra pergi dari kelas dan sebelum pergi dia bilang kepada teman sekelasku yang sedang piket, "Guys, piketnya jangan males dong. Yang bersih, kalau enggak gue catet nama lo berempat."

Setelah itu, Putra menghilang dari balik pintu. Pergi bersama teman - temannya. fyuh, tenang juga. Mereka udah pergi, tenang.

"Ansara." Aku melotot mendengar suara itu, juga tegang.

Memberanikan diri untuk menatap Angkasa di pintu kelasku, "Makasih." Kata Angkasa. Setelah mengatakan kalimat itu, dia pergi.

"Cie. Kata gue juga apa. Angkasa enggak bakalan marah sama lo,"

"Semangat, Shakilla. Sedikit lagi, yuk."

...

TO BE CONTINUE

La RèussiteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang