Bagian 2. Gak Percaya

6.4K 405 5
                                    

|▪|▪|▪|▪|▪|

Intan menggedor gedor pintu kamarku sambil mengucapkan kata maaf. Aku hanya diam di kamar sambil membaca buku psikologi yang baru aku beli dua hari yang lalu sambil rebahan dan makan biskuit rasa coklat. Aku masih sangat kesal mengingat kelakuannya tadi yang membuatku malu sangat malu sekali. Aku masih tidak habis pikir dengan kelakuannya itu. Jadi ingat kejadian tidak mengenakkan tadi pagi rasanya.

Buru buru aku memberi jarak dari Pak Idris dengan mendorong dadanya. Bukannya dia yang mundur kebelakang justru aku yang mundur karena doronganku. Aku mendongak dan tepat menatap wajahnya yang terbalut buff dan hanya menampilkan matanya. Tajam seperti burung elang, menusuk seperti pedang pora. Eh pedang pora? Astagfirullah kenapa pikiranku justru pada pedang pora maksudnya seperti pedang samurai. Iya pedang samurai.

"Ada yang bisa dibantu?" tanyanya sekali lagi. Kali ini dia berbicara seperti menekankan kata per kata. Aku menundukkan wajahku takut melihat mata tajamnya itu.

"Pak Idris," panggil pemuda SMA yang masih stay disebelah Pak Idris. Pak Idris yang awalnya menunduk kini menatap anak SMA yang memanggilnya. "Terima kasih infonya Pak. Sangat membantu sekali dan akan saya usahakan. Sampai jumpa Pak." Lalu pemuda pemuda SMA menyalami Pak Idris hormat. Setelah itu mereka berdua pergi meninggalkan ku berdua saja dengan Pak Idris.

Untuk pertama kalinya aku berharap ada Idrislova yang datang menghampiri Pak Idris agar aku bisa lari sembunyi sembunyi tanpa perlu menjelaskan hal menyebalkan seperti ini. "Siapa namamu?" tanya Pak Idris tegas.

Aku langsung mendongak menatap mata tajamnya. Pak Idris membuka buff nya dan membiarkan buff tersebut menggantung di lehernya. Menampilkan wajah tegasnya. Aku masih diam enggan menjawab pertanyaannya. "Kamu bisu?" tanya nya lagi sambil bersedekap dada. Badannya sedikit dibungkukkan agar wajahnya lebih dekat denganku, buru buru aku menundukkan wajahnya membuat Pak Idris kembali tegak.

"Tidak."

"Akhirnya bicara juga. Ada yang bisa saya bantu?" Pak Idris mengulang pertanyaan yang entah sudah ke berapa kalinya. Aku tidak sempat menghitung pertanyaan yang dia ajukan. Aku diam bingung harus menjawab apa. Sial sekali rasanya disaat seperti ini otakku justru buntu untuk menjawab pertanyaan gampang seperti itu. Kemana perginya Daneen yang pintar dan spontan, sepertinya dibawa kabur oleh Syifa dan Intan. "Oh kamu hanya bisa bicara Iya dan Tidak ternyata," sarkas Pak Idris.

Aku mendongak menatap wajah datar nya dan menyebalkannya lagi wajah itu tampan. Pak Idris benar benar terlihat seperti manusia yang sempurna. Tampan, pintar dan taat pada agama ataupun pekerjaannya. Aku jadi penasaran Pak Idris takut kecoa atau tidak. Di dunia yang bernama bumi ini mana ada manusia yang sempurna. "Sebenarnya bukan saya ingin bertanya ataupun butuh bantuan melainkan teman teman saya yang ingin foto dengan bapak tapi mereka terlalu gugup hingga mendorong saya dan menabrak bapak. Saya minta maaf teman teman saya keterlaluan bercanda seperti itu," jawabku akhirnya. Lalu aku menunduk lagi takut menatap mata tajamnya itu.

"Gugup? Mendorong kamu hingga menabrak saya? Bercanda? Kamu sengaja ya?" tanyanya. Aku mendongak sambil mengerutkan alisku bingung itu pertanyaan atau pernyataan.

"Maksud bapak?"

"Kalo mau minta foto ya minta foto saja. Tidak usah pura pura minta dorong. Itu namanya modus. Kamu tau modus?" Tuh kan benar benar menyebalkan. Ingin sekali aku mencakar wajah tampannya itu kalo saja aku punya keberanian menatap mata elangnya.

Prawira Abu Abu [#1.SGS] (Tersedia E-book)Where stories live. Discover now