(38)

457 54 9
                                    

Aku masih menekuri laptop di gazebo belakang. Membaca setiap file yang dikirimkan Don tadi.

"Kekurangan cairan, bisa menurunkan konsentrasi, Adik Kecil! Jangan bilang kamu lupa hal itu." Aku mendongak ke sumber suara. Walau tanpa melihat, aku sudah tahu siapa pemilik suara itu, apalagi panggilan yang diucapkannya barusan. Andres menyodorkan sebotol air mineral padaku.

Kuperhatikan botol itu. "Produk baru nih. Kayaknya belum beredar di sini."

Andres mengambil tempat di sebelahku. Tidak mepet, masih ada ruang yang cukup di antara kami. Dia mengangguk lemas. "Botol itu bisa menyesuaikan suhu air di dalamnya. Bisa panas, dingin, atau hangat."

"Itu mah sama kayak yang sudah ada. Basi, lah."

Andres menyunggingkan senyum. Dia mengambil botol yang ada di tanganku, lalu membuka penutup dan menunjukkan tombol yang ada di sisi bagian bawah. "Tutupnya dari karet yang kedap air. Kalau dicuci, gak akan rusak. Tumbol merah untuk memanaskan. Suhunya bisa kamu atur. Tombol biru untuk mendinginkan. Bagian bawahnya bisa dilepas, lalu dipasang suriken ...."

"Suriken? Itu botol minum apa senjata?"

"Itu lho pisau blender. Mirip suriken, kan?" Aku jadi mengulum senyum mendengar penjelasan Andres. "Kalau sudah dipasang, bisa bikin jus. Sehat, kan." Aku mengangguk.

"Marlon pasti jadi pelanggan pertamamu, kan?"

Andres menjentikkan jarinya. "Betul, Adik Kecil. Dia malah pesan seribu unit untuk dibagikan ke pelanggan resortnya." Muka Andres jadi sendu setelah mengatakan hal itu. Tak seperti saat dia menjelaskan detail botol futuristik itu.

"Bagus dong. Nanti aku tawarin ke travel juga. Bagus tuh buat souvenir. Kapan ready? Tahu, kan, si Bos Travel. Kalau udah lihat barangnya, dia baru percaya. Kalau masih sebiji, mana mau dia."

"Itu dia masalahnya. Semua barang-barangku ditahan di pelabuhan. Padahal aku pakai jalur terang. Semua surat lengkap, bahkan pajaknya dibayarkan penuh." Andres menggeleng pelan. "Kalau tahu bakalan begini, lebih baik aku pakai jalur gelap. Lebih murah dan ... nggak ribet.”

"Bukannya bagus kalau pakai jalur normal? Tinggal tunjukkan semua dokumennya, beres kan."

"Harusnya semudah itu, Adik Kecil. Jika nggak ada orang yang bermain di belakangku." Tangan Andres mengepal dan rahangnya tampak mengeras.

"Orang dalam?"

"Itu yang sedang kuselidiki." Andres langsung berpamitan begitu menerima panggilan telepon.

Wow! Ada yang berani bangunin macan tidur. Andres itu orangnya selow, tapi kalau ada yang bermain curang, dia nggak akan ngasih ampun. Aku yakin, orang ini ada di sekitar Andres dan dia tahu betul apa yang dilakukannya.

Otakku rasanya panas memikirkan semua ini. Ternyata, bukan aku saja yang memiliki masalah. Hiro dengan urusan percintaannya dan Andres dengan bisnisnya. Yang terlihat adem, cuman Luna dan Marlon. Jadi iri.

"Kesambet lo? Ngoceh sendirian." Aku cukup terkejut dengan kehadiran Luna di sini. "Lo tuh, kebiasaan banget. Kalau lagi bengong bisa lengah. Lo kaget, kan? Kalau dalam kondisi normal, kewaspadaan lo bisa dibilang di atas rata-rata. Intuisi elo juga bisa ngalahin gue. Ya, mirip kayak auditor-lah."

"Lo tuh yang kesambet. Datang langsung misuh-misuh." Aku menyelidik wajah Luna, lalu tertawa. Luna memberengut. "Kantor lo lagi ada audit, kan."

Luna makin mengerucutkan bibirnya. "Chiara sudah kembali. Selamat datang," katanya dengan nada mengejek.

"Masa si Gesit-Luna takut sama auditor. Apa kata dunia?"

"Persetan kata dunia. Gue sebel kalau ketemu auditor. Kayaknya dicurigain mulu. Kan gue jadi salting.”

"Emang ganteng, ya?"

"Banget, Chiara. Mukanya kayak anaknya Shah Rukh Khan. Gimana gak makin salting gue. Tipe idaman gue banget. Eh, kok elo bisa tau auditornya ganteng?”
  
Setelah selesai membahas Mas Auditor, Luna mengirimkan sebuah link tentang berita yang sedang kucari.

=================================

Masih lanjooot?

Yuuuk, mari!

Chiara's Little Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang