Bab 23

41.2K 3.9K 112
                                    

Ardan mengusap kepalaku yang sedang duduk sambil menghias kue bolu untuk dijual di toko besok. Berhubung Risang sudah tidur, maka aku menyibukkan diri sekarang, karena mataku belum bisa diajak tidur.

"Mau aku bikinin susu?" tawarnya yang duduk di atas sofa, sementara aku duduk bersila di atas lantai.

"Mau es jeruk aja."

Ardan berlalu ke dapur. Sepertinya hendak membuatkan apa yang aku minta, tapi kemudian kembali lagi. "Adanya apel sama pir, Ja. Nggak ada jeruk."

"Minta ke tempatnya Pak RT. Di sana punya jeruk peras yang lagi berbuah," kataku memberitahu.

"Ya udah, aku tinggal bentar, ya? Mumpung masih jam segini, kayaknya mereka juga belum tidur," katanya sambil berlalu ke kamar untuk mengganti celana.

Aku bersyukur karena Ardan tidak pernah lupa untuk mengganti boxer atau celananya yang lebih pendek ketika keluar dari rumah. Meski tetap memakai celana pendek, tapi bahan dan kependekannya berbeda dengan yang biasa ia pakai di dalam rumah. Meski pun hanya untuk menjemur pakaian, ia lebih sering memakai celana training panjang daripada pamer paha pada tetanggaku. Ia juga hampir tidak pernah hanya memakai singlet ketika keluar, kecuali sedang dalam keadaan mendesak saja. Misalkan sedang sibuk dan tiba-tiba hujan turun sedangkan kami memiliki cucian yang hampir kering.

Ardan juga sekarang tidak pernah bertingkah yang membuatku kesal apalagi sakit kepala. Terlebih sejak kehamilanku, ia selalu memastikan bahwa aku baik-baik saja setiap harinya. Belajar memasak, meski kadang terlalu gosong, kurang matang, bahkan kematangan. Tapi dari segi rasa sudah lumayan. Aku tinggal memberitahu apa saja yang ia butuhkan dan Ardan akan melakukan seperti yang aku katakan.

Kami masih belum memberitahu siapa pun tentang kehamilan ini. Pada Risang sekali pun. Tapi Mbak Dewi dan Mbak Sari sudah mengetahuinya sendiri tanpa bertanya.

Ardan memberikanku waktu untuk terbiasa dengan semuanya. Emosiku yang masih gampang berubah membuatnya lebih banyak bersabar dari biasanya. Kadang di malam tertentu, aku akan menangis karena terbawa mimpi tentang masa saat aku mengandung Risang. Ketakutanku itu membuatku bermimpi buruk dan menangis tanpa sadar. Ardan akan terbangun dan menyadarkanku, lalu mengatakan semuanya akan baik-baik saja selama kami bersama.

Dekapannya membuatku nyaman, sentuhannya membuatku tenang.

"Pak RT jadi tahu deh, kamu lagi ngidam," ujarnya saat kembali dengan menenteng satu kresek kecil berisi jeruk peras yang kulitnya hijau.

"Biarin. Pak RT ini, dia sama istrinya kan nggak tukang gosip," kataku yang masih fokus memberi potongan ceri di atas kue potong yang sudah aku oles dengan krim mocca dan ditaburi meses cokelat.

"Tadi udah jadi makan apa belum?" tanyanya saat meletakkan segelas es jeruk di atas meja. Terlihat menyegarkan dan wanginya menggoda lidahku untuk segera meminumnya.

"Belum," jawabku singkat setelah menyeruput es jeruk itu.

"Ya udah, aku suapin. Mau pakai apa?"

Ardan kembali ke dapur dengan santai, kemudian aku berujar, "Nasi padang enak ya, Ar?"

"Apa?" tanyanya yang cepat-cepat menghampiriku. "Nasi padang?"

Aku mengangguk polos. Membayangkan nasi yang diguyur kuah merah bersantan dan daging rendang yang lezat membuatku hampir meneteskan air liur.

"Iya. Aku mau pakai daun singkong sama rendangnya, Ar. Telur dadarnya juga. Beli di mana yang enak, ya?"

Ardan kembali berdiri, meraih kunci motor yang tergantung di dinding luar kamar Risang sebelum memakai jaket yang digantung di tempat yang sama.

Beautiful SinWhere stories live. Discover now