Bab 25

35.7K 3.9K 84
                                    

"Bunda, nanti Bunda nggak puasa lagi?"

Aku meringis mendengar pertanyaan Risang. Bulan ini memang sudah masuk bulan Ramadan, dan kemarin aku kembali tidak berpuasa karena rasanya lemas sekali. Perutku seperti terus menerus merasa lapar dan akhirnya, Ardan memintaku untuk menggantinya di lain hari ketika anak kami sudah lahir nanti.

Risang memang baru puasa setengah hari, ketika azan Dzuhur terdengar, aku akan menyuruhnya untuk makan. Tapi dua hari ini, ia kuat puasa hingga azan Maghrib berkumandang.

"Bunda kan ngasih makan dedek juga. Dedeknya kan masih kecil di perut Bunda, jadi Bunda harus banyak makan, biar dedeknya sehat," ujar Ardan seraya menyuap makanannya.

Kami sedang sahur bersama. Meskipun belum tentu aku akan kuat untuk berpuasa, tapi aku tetap ikut sahur untuk menyiapkan makanan mereka berdua. Daripada tidak ikut makan dan perutku keroncongan sampai pagi, lebih baik aku ikut makan saja.

"Tapi dedeknya lama ya, di perut Bunda? Kapan sih, lahirnya?"

"Masih lama lah, Abang. Abang kan, lahirnya Desember. Nanti dedeknya lahir kalau nggak Oktober, ya November," kata Ardan lagi.

"Hmmm, lama. Aku udah ada nama padahal buat dedeknya."

"Oh, ya? Namanya siapa?" tanya Ardan antusias.

"Desang, dedeknya Risang," kata Risang bangga yang membuat aku dan Ardan tersedak bersamaan.

Kami menghentikan batuk kami sambil tertawa-tawa karena mendengar jawaban ngawur Risang. Anak itu pasti mendengar omongan orang-orang yang membuatnya berpikir bisa memberi nama adiknya dengan nama itu.

"Ya nggak gitu juga, Abang," kataku setelah menyesap air untuk mengurangi batuk. "Masak nama adiknya kayak gitu?"

"Memangnya kenapa? Bagus, kan?"

"Yang kasih nama nanti Papa. Nama itu yang ada artinya, biar bagus. Sebagai doa juga, Nak," ujarku memberitahu.

"Oh, ya? Nama aku berarti ada artinya juga dong, Bunda?"

"Hmm? Ya ada dong," kataku sambil melanjutkan kunyahan.

"Apa? Apa?" tanya Risang antusias.

"Artinya, kamu itu hadiah buat Papa sama Bunda, yang diharapkan jadi anak yang penyayang dan welas asih. Risang jadi anak penyayang, kan?" Ardan bertanya setelah menyelesaikan mengupas apel dan memotong-motongnya kecil.

Ardan memang tidak banyak memakan makanan berat ketika sahur. Dia akan banyak memakan buah dan minum air putih. Katanya, dia akan lebih bertenaga ketika mengonsumsi banyak buah dan air.

Aku sendiri tidak tahu banyak arti nama Risang itu apa. Ibu yang memberinya nama. Aku hanya mengiakan saat Ibu memberinya nama Risang Airlangga ketika bayiku berusia lima hari dan sudah lepas tali pusarnya.

"Iya dong, Papa. Nanti aku sayang semua. Aku kan sayang banget sama Bunda, sama Papa juga. Sama dedek nanti juga sayang, kok," ujar Risang dengan alisnya yang berkerut di tengah.

"Bagus, dong. Pintar anak Papa."


***


"Ardan," aku memanggil Ardan yang tidak kunjung masuk ke kamar. Aku ingin ia membantu memijat kakiku yang terasa pegal. Padahal tadi ia sudah keluar dari kamar Risang, tapi belum terlihat lagi setelah itu.

Aku mencarinya ke ruang tamu, tapi ternyata ia ada di dapur samping hanya memakai sarung yang belum ia lepas sejak pulang dari masjid, juga singlet yang pinggirannya tampak sudah rusak.

"Kamu ngapain?" tanyaku mendekat ke arahnya.

"Situ aja. Aku goreng pastel. Ini yang isinya ada telurnya, kan?"

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang