[34]. Istri ke Empat

1.5K 115 3
                                    

TIGA PULUH EMPAT



***

MELODY berlari menuju tempat kerjanya. Tadi, sehabis pulang sekolah, dirinya langsung ke sini--ke tempat kerjanya yang sudah beberapa hari ia telantarkan. Ah, Melody hanya bisa berharap, jika nanti pak Bos tidak akan memarahinya.

"Maaf, Pak. Saya terlambat," ujar Melody kepada sesosok lelaki yang kini telah berdiri di ambang pintu Restoran seraya berkacak pinggang.

Lelaki itu menajamkan pandangannya, memperlihatkan amarahnya yang mulai muncul ke permukaan. "Kamu saya pecat!"

Ucapannya sukses membuat mata Melody membelalak. Apa ia tidak salah dengar? Dirinya ... dipecat!

"T--tapi, Pak ... saya mohon, jangan pecat saya ..." lirih Melody kemudian. Ia tidak tau apalagi jika dirinya benar-benar sampai dipecat. Bagaimana nanti dengan kehidupannya selanjutnya?

"Kamu sudah cuti lebih dari tiga hari dan tidak sekalipun ijin kepada saya. Kamu kira pekerjaan yang saya berikan ini cuma main-main?"

Melody menggelengkan kepalanya sambil berusaha menelan salivanya dengan susah payah. "Saya mohon, Pak. Jangan pecat saya ..." Melody terus membujuk bosnya itu, membuat lelaki tersebut kini berubah menyungging senyum.

"Saya tidak akan memecat kamu. Tapi dengan satu syarat," ucapnya, disambut dengan respon antusias dari Melody.

"Apa, Pak?"

Lelaki itu menyeringai lalu melangkah untuk bisa lebih dekat dengan Melody. "Jadilah istri keempat saya," jawabnya yang refleks membuat mata Melody melebar.

Melody mengepalkan tangannya, merasa kesal. "Saya tidak akan pernah mau jadi istri Bapak!" tukasnya, menolak tawaran lelaki itu dengan mentah-mentah.

"Saya memang membutuhkan pekerjaan, Pak. Tapi saya tidak akan pernah menjual harga diri saya, sampai kapanpun!" Setelah mengucapkan itu, Melody langsung mengambil langkah untuk pergi dari sana. Nafasnya memburu, menandakan bahwa emosinya telah memuncak. Tangannya mengepal, dengan langkah yang terus menerobos padatnya orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar sana.

Langkah Melody seketika terhenti ketika ia mendengar suara petir menyambar di atas langit sana, menandakan bahwa sebentar lagi pasti akan turun hujan. Sial, Melody bahkan tidak membawa payung. Ia harus cepat-cepat pulang ke rumahnya, ralat, lebih tepatnya rumah Diego.

Melody mempercepat tempo langkahnya. Ia tidak mau sampai kehujanan. Jika sampai itu terjadi, ini adalah sore yang paling sial di dalam hidupnya. Dipecat, kehujanan, dan ... mungkin nanti Melody akan sampai demam. Ah, Melody memang tidak cukup kuat jika berada terus menerus dalam derasnya air hujan. Imun di tubuhnya itu kurang kuat.

Namun sial sekalipun sial.
Hujan benar-benar turun dan tak membiarkan Melody berteduh dulu, karena nyatanya, Melody masih berjalan di trotoar tanpa ada terlihat satupun tempat berteduh.

Melody berdecak kesal seraya mengusap wajahnya yang sudah basah. Pandangannya terlihat mengedar, mencari sesuatu yang bisa ia jadikan tempat perlindungan. Hingga, sebuah mobil yang tak asing kini berhenti tepat di samping tubuhnya.

MELODY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang