[41]. Apapun

958 116 1
                                    

EMPAT PULUH SATU


***

KAKI Diego terus melangkah, berjalan mondar-mandir di depan sebuah ruangan dengan raut wajah resah. Sudah satu jam lebih dirinya berada di sini, menunggu kepastian dari dokter tentang keadaan Melody saat ini.

Wajahnya kini mendongak ketika melihat kehadiran dua sosok yang tengah berlari kecil ke arahnya. Mereka adalah Austin dan Xevanya. Keduanya berhenti tepat di hadapan Diego, hingga membuat Diego kebingungan. Untuk apa mereka ke sini?

"Di mana Melody? Gimana keadaannya?" tanya Austin beruntun, tak sabar untuk mendengar jawaban Diego selanjutnya.

Diego memasang wajah dinginnya. "Ngapain kalian berdua ke sini?" Bukannya menjawab pertanyaan Austin, Diego malah balik tanya.

Austin mengepalkan tangannya, merasa gondok dengan semua tingkah yang diberikan oleh Diego. "Harusnya gue yang nanya, kenapa Melody bisa ada di posisi ini? Bukannya lo udah janji buat jagain dia, huh?"

Dengan cepat, Diego meraih kerah baju Austin dengan kasar. "Semua terjadi secara tidak terduga. Dan lo, gak usah so tahu!" balasnya dengan penuh penekanan.

"Udahlah, kalian ini kenapa sih?" Xevanya melepaskan tangan Diego dari kerah baju Austin. Matanya kini bergantian untuk menatap kedua sosok lelaki di depannya secara bergilir.

"Masalah gak akan selesai kalau kalian berdua terus-terusan berantem kayak gini!" lanjutnya, membuat Austin dan Diego saling memalingkan wajah.

"Aku dan Kak Austin bisa sampai di sini, karena Regal beritahu sama kita. Katanya, dia mau nyerahin dirinya sama polisi karena merasa udah nyelakain Melody. Aku liat tadi, dia merasa bersalah banget," jelas Xevanya, mulai menceritakan kronologinya.

"Gimana kalian berdua bisa kenal sama dia?" tanya Diego dingin.

Xevanya melirik Austin sekilas lalu kembali menatap Diego. "Kita kenal sama dia pas masuk sekolah di dunia manusia ini. Aku sama kak Austin satu kelas sama dia. Dan di sana, aku ngeliat bahwa Regal juga sering ngejar Melody sama kayak cowok-cowok yang lain. Karena itu, aku sama kak Austin kenal sama Regal," jawabnya kemudian.

Diego tidak memberikan respon apapun. Lelaki ini lebih memilih untuk menghadapkan tubuhnya ke arah pintu, mengintip Melody yang masih setia ditangani oleh para dokter. Sama halnya seperti yang dirasakan oleh Regal, Diego juga sangat menyesal. Sangat, sangat lebih menyesal. Jika saja Diego tahu akhirnya akan seperti ini, ia tidak akan pernah menuruti permintaan absurd Melody untuk pergi ke Pantai. Dan kenapa ... kenapa harus Melody yang menyelamatkannya? Kenapa harus Melody yang berada di posisi ini? Jika saja Diego bisa memilih, lebih baik ia saja yang ditembak, bukan Melody.

"Raja Arnold minta lo buat kembali ke kerajaan." Ucapan Austin membuat Diego menggeram. Dengan sekali gerakan, ia menatap Austin dengan tatapan tajam.

"Gue gak mau, dan gak akan pernah mau!" tolaknya mentah-mentah.

"Kenapa? Lo gak mau ninggalin Melody di sini? Kenapa lo gak bawa aja Melody ke kerajaan dan jadiin dia bangsa kita untuk selamanya? Dengan begitu, lo gak akan pernah harus takut buat kehilangan Melody lagi," imbuh Austin, membuat Diego menghembuskan nafasnya dengan kasar.

Bagaimanapun juga, Diego tidak akan pernah mengubah kodrat Melody sebagai manusia. Ia tidak akan membuat Melody merasa tertekan karena harus masuk ke dalam dunianya yang penuh dengan aturan dan perintah.

Bersamaan dengan itu, seorang dokter tiba-tiba saja muncul dari balik pintu--membuat ketiganya langsung terfokus pada sosok berjas putih tersebut. "Maaf." Kata pertama yang keluar dari mulutnya sukses membuat darah Diego kembali berdesir hebat.

"Kami sudah berusaha untuk sebaik mungkin, bekerja keras, dan melakukan semua yang kami mampu lalukan. Tapi ... takdir berkata lain," jelasnya, dengan raut wajah menyesal.

"Bilang kalo Melody baik-baik aja!" Dokter itu tersentak ketika Diego tiba-tiba saja menarik jas dan menyerangnya dengan sorot tatapan tajam.

"Maaf, Tuan. Dia sudah pergi, mohon Tuan untuk mengikhlas--"

"MELODY MASIH HIDUP! LO MAU GUE BUNUH, HAH!" Semuanya terkejut ketika Diego hendak melayangkan bogemannya ke arah wajah dokter, membuat Austin dengan cepat menahan pergerakannya.

"MELODY UDAH MATI DAN LO HARUSNYA TERIMA ITU!" teriak Austin--mendorong tubuh Diego hingga punggung lelaki itu menubruk dinding.

Diego mengacak rambutnya, frustasi. Lelaki itu kini berlari untuk masuk ke dalam ruangan dan langsung mengguncang-guncangkan bahu Melody.

"Mel, bilang kalau mereka itu bohong! Lo cewek kuat, Mel! Lo gak akan ninggalin gue!" pekik Diego, mencium punggung tangan Melody sekilas dan beralih untuk kembali mengguncang-guncangkan tubuh tak bernyawa itu.

"Lo cewek kuat, Mel ... lo gak selemah ini ..." lirih Diego, menarik tubuh ringan itu ke dalam pelukannya. Mendekapnya dengan sangat erat, sangat, seakan tak ingin membiarkan pelukan itu lepas. Entah dari kapan air matanya sudah mengalir, Diego tidak peduli. Ia merasa dunianya benar-benar hancur. Hatinya remuk, dadanya sesak. Hal yang paling berharga di hidupnya kini telah hilang. Melody telah pergi.

Diego melepaskan pelukannya lalu mengecup bibir Melody dengan derai air mata yang membasahi pipinya. Berharap, Melody akan kembali bangun seperti di cerita Snow White. Namun dongeng tetaplah dongeng. Cerita fiksi yang dibuat alih-alih untuk membujuk anak-anak. Cerita itu tidak nyata, dan ... hal itu juga tidak bisa diwujudkan secara asli. Mata Melody masih terpejam rapat dengan wajah damai yang terlelap seakan dirinya tengah tertidur.

"Ikhlasin Melody, Diego ... " Xevanya mengusap punggung Diego dengan lembut, bermaksud menenangkan lelaki itu. Entah dari kapan gadis ini berada di sisinya. Namun Diego tak merespon, ia sibuk memeluk Melody sambil sesekali menyeka air matanya.

Di sisi lain, Austin nampak berdiri di ambang pintu dengan tatapan kosong. Sama halnya dengan Diego, ia juga merasa sakit hati. Gadis yang dicintainya kini telah pergi dan tak akan kembali. Tangannya menopang pada pintu agar tubuhnya tidak ambruk. Austin juga merasa menyesal, kenapa ia tidak ada di saat Melody berada di posisi seperti itu. Kenapa ia tidak menyelamatkannya?

Austin mengernyit ketika ia melihat Diego bangkit dari posisinya. Lelaki itu nampak mengusap air matanya dan beralih untuk kembali membaringkan tubuh Melody di atas ranjang. Diego kini berjalan mendekatinya dan berkata, "Tolong jaga Melody. Gue mau ketemu Ayah."

Diego tidak berkata lagi. Lelaki itu kembali melangkah melalui Austin dan pergi dari ruangan tersebut. Xevanya yang merasa kebingungan lantas bertanya, "Kenapa Diego mau ketemu sama raja Arnold sekarang?"

Bibir Austin berubah menjadi sebuah garis tipis, merasa mengerti dengan apa yang akan dilakukan Diego selanjutnya. "Menghidupkan Melody kembali," jawabnya singkat lalu berjalan mendekati Melody dan duduk di pinggir ranjang.

"Ngehidupin Melody?" Xevanya mengerjap tak percaya. "Tapi resikonya--"

"Lo tau sendiri, Nya. Demi Melody, Diego rela ngelakuin apapun," potong Austin. Ia kini meraih tangan Melody kemudian digenggamnya dengan lembut.

__________________________________

MELODY [END]Where stories live. Discover now