7. The past

205 9 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.15 tapi Aga belum juga berniat angkat kaki dari rumah minimalis bercat putih gading itu. Ia seakan tak mau pergi, ia merasa nyaman disini.

"Nih." Ujar Leo yang tiba-tiba membawakan dua gelas kopi hitam dan meletakan nya di meja. Tentu satu untuk Aga dan satu untuk dirinya sendiri.

"Makasih Le." Aga mengamati Leo yang sedang meniup-niup pelan kopi panas nya. Ia tersenyum kecil, menikmati suasana malam di teras rumah Leo bersama kopi panas sebagai pelengkap nya. Ditambah angin malam yang kali ini seolah ikut berbahagia seperti Aga.

"Gue duduk di teras, berduaan sama Leo malem-malem. Dibuatin kopi lagi, jadi kebayang masa depan." Aga senyum-senyum sendiri saat berbicara dengan batinnya.

"Kenapa lo? Kesambet?"

"Enggak, cuma lagi seneng aja."

"Aneh!" Leo meletakan kopinya dan memeluk lututnya sendiri.

"Sorry ya Le." Ujar Aga tiba-tiba.

"Kenapa?"

"Gue tadi nggak tau kalo bang Rafi..." Tenggorokan Aga seperti kering, ia bahkan tak mampu mengatakan apa yang ada di pikirannya.

"Nggak papa Ga, maklum kan baru ketemu sekali. Dulu Bima sama Fero juga gitu waktu tau kalo bang Rafi nggak sama seperti yang mereka bayangin."

"Ini semua salah gue." Ujar Leo tersenyum kecut.

"Kok salah lo?" Aga lebih mendekatkan diri ke Leo.

"Bang Rafi lumpuh gara-gara gue. Waktu itu umur gue 8 tahun, bunda udah bilang ke gue kalo nggak boleh main ke jalanan. Tapi gue nya ngeyel. Gue malah ngajak bang Rafi main sepeda ke jalan. Dan tiba-tiba aja mobil itu dateng, mobil itu hampir nabrak gue. Kalo nggak ada bang Rafi mungkin gue udah mati. Tapi sialnya, malah bang Rafi yang ketabrak, gue lihat abang gue bersimbah darah di depan mata gue sendiri Ga." Leo semakin mengeratkan pelukannya dilutut nya dan menyembunyikan wajahnya. Aga mendengar suara isakan kecil disana. Leo menangis.

"Saat itu jalanan sepi, gue berusaha minta tolong. Bahkan pengemudi mobil itu keluar, tapi jahatnya dia nggak nolongin gue sama bang Rafi. Dia malah kabur!! Gue inget wajahnya, gue inget sampe sekarang! Gue berusaha cari tapi percuma. Itu udah kejadian 10 tahun lalu. Mungkin dia udah nggak ada di kota ini." Ujar Leo parau. Cairan bening masih tersisa di sudut matanya.

"Ini bukan salah lo Le, ini udah takdir. Jangan salahin diri lo sendiri atas takdir yang udah di berikan Tuhan." Aga mengelus pelan pundak Leo. Sementara Leo hanya memandang Aga kosong.

"Tapi gara-gara kejadian itu semuanya jadi hancur Ga. Ayah gue jadi beda sama bang Rafi, dia jadi lebih memperhatikan gue daripada bang Rafi setelah tau bang Rafi lumpuh. Karena saat itu mimpi ayah gue dan bang Rafi sama-sama hilang. Padahal gue penyebab nya."

"Mimpi itu nggak cuma satu Le, kalo satu mimpi belum tercapai, masih banyak mimpi lain yang mungkin lebih baik menanti kita kedepannya. Hidup emang nggak harus sesuai apa yang kita inginkan, kadang kita perlu kecewa, sedih, ataupun marah sekalipun untuk memotivasi diri kita sendiri agar bisa lebih baik." Aga tersenyum manis melihat Leo mendengar kan omongannya dengan seksama.

"Tapi ayah gue dari dulu pengen banget anak nya jadi petinju. Harapan ayah gue ya bang Rafi. Anak laki-laki pertama nya yang ia selalu bangga-banggakan. Meskipun begitu ayah gue nggak lupa sama gue sama bunda. Sebelum kejadian itu merenggut keharmonisan keluarga gue. Dan merenggut mimpi ayah gue dan bang Rafi. Tapi hebatnya, kakak gue yang satu itu tetap tabah dan bahkan nggak marah sama sekali sama gue, nggak marah saat ayah membedakan perlakuan dia sama gue. Gue sayang banget sama dia, melebihi diri gue sendiri."

GERHANAWhere stories live. Discover now