2.

123 21 12
                                    


Saat Jaebum memasuki halaman sekolah pagi itu, ada antrian panjang yang biasanya tak pernah terjadi. Jaebum lalu mendekati barisan anak kelas tiga dengan wajah bingung, bertanya pada Gongshik apa yang sedang dilakukan para anggota Komisi Disiplin dan beberapa anggota Dewan Murid di depan sana, di balik meja, memeriksa satu persatu tas anak-anak yang akan masuk ke gedung sekolah.


"Aku tidak yakin, tapi ku dengar," kata Gongshik menyuruh Jaebum mendekat, karena suaranya mulai rendah. "Kemarin Jinyoung habis diteror."


Jaebum menegakkan badannya memandang Gongshik yang tersenyum cerah menandakan bangga akan pengetahuannya barusan. "Diteror?"


"Seseorang menaruh perak murni di loker di kantor Presiden Dewan murid," kata Gongshik. "Tangan kanannya terbakar hebat kemarin sore. Untung ada Miss Tiffanny yang langsung memberinya obat herbal. Yah, meskipun aku yakin lukanya masih membekas sampai sekarang. Kau tahu 'kan, itu barang yang tak boleh disentuh vampire..."


Jaebum mengangkat satu alisnya, tak mengindahkan kalimat selanjutnya oleh teman sekelasnya yang juga keturunan Siren itu. Ia ikut berbaris dibelakang Gongchan, sembari kena marah teman dibelakangnya karena meneyerobot barisan, dan melongok untuk melihat Jinyoung yang tampak hanya berdiri dengan tangan bersidekap. Meskipun begitu, Jaebum bisa melihat perban putih yang mengelilingi satu tanganya.


Jinyoung memang menyebalkan, tapi Jaebum tak pernah membencinya. Justru perasaannya malah lebih mendekati kutub yang lain.


Saat gilirannya tiba, Jaebum sudah bersiap untuk menyerahkan tasnya untuk diperiksa di atas meja di depan Choi Youngjae, anggota Dewan Murid kelas dua (dia kenal Youngjae dari anggota Paduan Suara yang pernah diikuti Jaebum; hanya bertahan selama dua bulan) tapi Youngjae malah menggeleng dan berkata,


"Jaebum hyung tidak disini, tapi disana," kata Youngjae tersenyum tinggi sambil menunjuk meja lain. Jaebum melirik meja yang dituju, dan memutar bola matanya. Senyuman pemuda disana itu sangat familiar dan ini terlalu pagi untuk Jaebum bertemu dengannya.


Dengan menghembuskan nafas, Jaebum menggendong satu tali tasnya dan berjalan ke depan meja Jinyoung yang sedari diam memperhatikan karena tadi tak ada siswa yang diperiksa olehnya. Tak banyak bicara, Jaebum kembali menaruh tas di atas meja.


"Aku tak perlu memeriksamu hyung," kata Jinyoung cerah. Jaebum bisa melihat balutan perban di tangan kanannya.


"Periksa saja," kata Jaebum tenang dan memasukkan kedua tangan ke kantung celana. "Siapa tahu aku membawa pasak untuk membunuhmu."


Beberapa anggota Komisi Disiplin yang mendengar lalu mengeluarkan suara terkejut 'Ooh' pelan. Kalimat Jaebum memberi efek tersendiri. Karena takut Presiden akan kena teror lagi jadi Ketua Komisi Disiplin kelas tiga, Min Yoongi, mendekati Jinyoung dan menawarkan akan memeriksa tas Jaebum, tapi Jinyoung menolaknya dengan halus. Jadi Yoongi beralih untuk memeriksa Jaebum.


"Oh, apa sekarang bercanda juga tidak diperbolehkan?" kata Jaebum saat Yoongi merentangkan kedua tangannya, memeriksa badannya akan benda yang dilarang.


"Tidak. Kau bercanda membawa pasak untuk membunuh seseorang." Yoongi bicara malas.


"Tapi itu bagus," kata Jinyoung yang sudah membuka tas ransel Jaebum. "Aku bisa jadi masokis kalau hyung mau."


Tolong seseorang selamatkan telinga Jaebum, sekarang. Anggota Komisi yang lain memalingkan muka karena malu, dan Yoongi hanya mendengus pelan. Jaebum mencoba menahan omelannya karena Jinyoung tak akan bisa diberi tahu pakai cara halus, jadi ia hanya menghela nafas.


"Bersih," kata Yoongi selesai memeriksa Jaebum. Jaebum hanya tersenyum sok manis, yang berbuah Yoongi mendorong kepala Jaebum sepenuh hati, sebelum Ketua Komisi Disiplin itu pergi menuju ke yang lain.


"Terimakasih, Yoongi hyung!" kata Jinyoung saat Yoongi mulai menjauh.


Jaebum tak banyak bicara dan Jinyoung yang mulai memeriksa dalam tas Jaebum, mengomentari tentang bagaimana banyaknya ditemukan karakter Simpson di setiap sudut peralatan sekolah Jaebum.



"Dia juga nggak jelek-jelek amat, hyung,"



Kalimat Jackson datang lagi ke pikirannya. Jinyoung jauh dari kata buruk rupa, dia tampan. Taruhan dengan Jaebum, kalau misalkan Jinyoung menyerah mengejarnya, akan ada ratusan anak disini, laki-laki atau perempuan, yang bersedia menjadi pendamping Jinyoung. Tiap kali bertemu Jaebum, ia tak akan lupa tersenyum, membuat kerutan di sekitar matanya. Seperti sekarang.


Ini bukan pertama kalinya Jaebum melihat Jinyoung secara dekat, tapi kenapa dia merasa ada yang ganjil pada dadanya?


"Apa tanganmu tidak apa-apa?" Jaebum berdehem mengalihkan pikiran aneh itu. Jinyoung berhenti mencari sesuatu kesana kemari di tas Jaebum lalu memandangnya. Pemuda yang lebih muda satu tahun dari pada Jaebum itu hanya tersenyum sambil mengangkat tangannya yang dibalut perban.


"Tidak apa-apa," kata Jinyoung dengan senyum yang membuat kerutan di sekitar matanya. Manis. "Rasa nyerinya sudah hilang, tapi bekasnya masih terasa."


Jaebum hanya mengangguk kecil saat Jinyoung kembali terburu-buru menutup tas Jaebum dan menyerahkannya. "Terimakasih hyung! Selamat pagi."


Jaebum hanya menggidikkan dagunya dan menyampirkan satu tali tas ke pundaknya. Baru beberapa kali berjalan, Jaebum berhenti dan berbalik pada Jinyoung—yang tidak mengejutkan—masih memandangnya.



"Paling tidak, cobalah berbaik hati dengannya."



Ya, Jackson Wang benar. Kenapa tidak mencoba?


"Ne, hyung?" respon Jinyoung. Jaebum menarik satu sudut bibirnya.


"Tawaranmu, makan siang. Apa masih berlaku?"


Kalimat itu saja langsung membuat Jinyoung berdiri kaku di atas kakinya sekarang. Apalagi ketika Jaebum berbalik dan melangkah pergi sambil berkata,


"Aku akan datang makan siang ini."


Kalau vampire bisa meledak, hidung Jinyoung mungkin sekarang sudah mencelat ke Korea Utara.



TBC

NyctophiliaWhere stories live. Discover now