part 9

167 8 1
                                    

aku melangkah beriringan bersama mas arra memasuki area diniah. kami langsung disambut tatapan takjub para santri, membuat kegugupanku bertambah berkali kali lipat. kulirik mas arra yang berjalan dengan tenangnya menatap lurus kedepan. kulirik para santriwan santriwati yang menatap kami menjadikannya sebuah tontonan yang sepertinya seru.

kugenggam tangan mas arra agar rasa gugupku sedikit hilang, tapi mas arra malah menghentikan langkahnya. aku ikut berhenti dan menatapnya bingung, ia menatap tanganku yang menggenggam tangannya erat. terdengar tawa dan sorakan para santri, membuatku reflek melirik. aku tersenyum, ingat betul saat bagai mana neng pondokku dulu sedang bermesraan bersama suaminya, dan sekarang ini terjadi padaku.

"mas, ayo." ajakku kembali melangkah.

semakin kupererat genggaman tanganku.

"neng, sebaiknya kita berjalan sejajar saja. gak enak dilihat para santri."usul mas arra.

"kenapa emang?, mas arra kan suamiku." jawabku mempererat pegangan dan terus melangkah. tak perduli berpasang pasang mata melihat dan diiringi dengan sorak sorakan para santri. 

dan akupun sampai didepan kelas yang akan aku isi. aku berdiri didepan mas arra dan menatapnya tak berani menatap sekitar yang membuatku semakin ketakutan dan gugup.

"ini kelasnya neng, neng ulya nanti ngucal sampai bel." kata mas arra.

" mas ngucal dimana?" tanyaku terus menggenggam tangannya.

"disana neng." ucapnya menunjuk kelas dekat gerbang dengan dagunya. mas arra memandang wajah grogiku tersenyum.

"ya udah, mas arra masuk kelas aja."

bukannya masuk kelas mas arra malah memandang kebawah, kuikuti arah mata mas arra. tanganku masih menggenggam tangannya erat. segera kulepas tanganku salah tingkah, dan tanpa disangka para santi didalam kelas bersorak terbawa perasaan. aku melirik mereka tiba tiba memiliki ide.

"mas arra." panggilku membuat langkah mas arra berhenti dan segera membalik badannya menghadapku. kupegang kedua tangannya. "lihat aku." pintaku, membuat kepala mas arra perlahan mendongak menatapku. aku tersenyum sambil menunjuk keningku sebagai isyarat agar ia mengecupnya. mas arra kembali menunduk, kemudian ia melangkah semakin mendekat dan. cup, kecupannya mendarat tepat dikeningku.

aku tersenyum menatap kepergian mas arra dan mendengar sorak sorak para santri yang makin riuh. kupegang keningku sejenak dan segera masuk kelas.

"assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh."

"waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh."

sorak sorak para santri kembali terdengar memenuhi kelas, sejenak aku tersenyum tak dapat menyembunyikan pipiku yang merona akibat kecupan mas arra. ku ambil nafas untuk menstabilkan perasaanku setelah itu segera kuletakkan telunjuk didepan mulut sbagai isyarat agar semua segera diam. walaupun ini membuatku tambah grogi tapi aku tak boleh terlihat grogi. 

"waktunya nadhom keberapa?" 

kemuadian aku segera membacakan makna jawa dan kemudian menerangkan maksud dari nadhom. kuperhatikan setiap wajah para santri yang mendengarkan penjelasan ku dengan serius. setelah aku merasa cukup, aku diam sambil menatap para santri. rasa gugup dan grogiku telah hilang sedari tadi.

"ada pertanyaan?" tanyaku, semua diam. "apa penjelasan saya membingungkan?" tanyaku sambil melangkah mendekati meja paling depan.

"bukannya kurang jelas, neng. tapi saking jelasnya, kami bingung mau nanya apa." tutur seorang santri yang dibalas anggukan oleh teman temannya. aku tersenyum.

"silahkan tanya bab yang mana pun yang kalian belum faham."

seorang santri yang duduk ditengah agak depan mengangkat tangannya. kutatap dan kemudian mengangguk, tanda agar dia segera mengajukan pertanyaannya.

"perkenalan." bukannya bertanya ia malah meminta, dan lagi lagi membuat snyumku mengembang karena seisi kelas menyetujui permintaannya. kembali kuberi isyarat untuk diam. setelah cukup tenang aku kembali melangkah dan duduk dibangkuku.

"nama saya ulya alkhowairizmi, kalian semua bisa memanggil saya ulya." awalku.

"saya lulusan pondok didaerah jawa tengah.dan rumah saya, kalian sudah tau kan." aku tersenyum, memamerkan senyum yang sangat manis.

"nama suami?"

"kalian taulah, sayakan menggantikan dia disini."

kembali terdengar sorakan riuh, membuat pipiku merona lagi.

"nama sayang, neng." apalagi pertanyaan ini, sepertinya semua santri disini niat sekali membuatku salah tingkah. kugaruk garuk tengkukku bingung, mencintai mas arra aja masih berusaha. mareka udah kasih pertanyaan tentang nama sayang. memanggil mas arra saja, aku masih sama dengan yang lain. tak ada yang istimewa sama sekali dari panggilanku.

"coba, ganti saya yang tanya." pintaku karena sudah tak ingin berfikir tentang nama sayang. sontak seisi kelas diam tak ada suara. "menurut kalian suami saya itu seperti apa?" tanyaku. membuat kelas menjadi ramai kembali.

"pak arra itu galak."

"tampan."

"lucu."

"baik biasanya."

"nyeremin."

"kaku."

dan banyak lagi versi yang lain, tapi aku cukup tertarik dengan kata galak. sekalipun mas arra tak pernah menunjukkan sikap galaknya kepadaku. dia selalu tawaduk sopan dan rendah hati. dan sekarang kebanyakan ngomong mas arra galak?. ini fitnah atau fakta? lucu sekali kalo membayangkan mas arra marah. dan tanpa sadar akupun tersenyum.

"kalo menurut neng ulya, gus arra itu seperti apa?" tanya seorang yang sukses membuat seisi kelas diam penasaran dengan jawabanku.

aku ikut terdiam, ada ada pertanyaannya. kulihat seisi kelas yang tak sabar menanti jawaban dariku. aku tersenyum.

"hm.....," belum sampai aku menjawab, aku telah melihat mas arra menunggu didepan kelas. aku tersenyum segera bangkit.

"sudah dulu pelajaran kali ini, apabila ada kesalahan kata saya mohon maaf. wallahua'lam bishowab wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." akhirku segera bangkit keluar menghampiri mas arra. dan yang pasti diiringi dengan teriakan kesal karena masih penasaran.

aku tersenyum sambil memeluk lengan mas arra. ini sungguh cukup menghibur, suara bel selesai berbunyi. aku dan mas arra terus melangkah mantap berjalan pulang. tak peduli dengan berpasang pasang mata.




si eneng brandalWhere stories live. Discover now