7

5.5K 457 47
                                    

Pandangannya kosong menatap jendela, bahkan dirinya tak menganggap orang yang berada disampingnya. Untuk apa? Hanya membuat hidupnya kembali rumit oleh keinginan gila dia, bayang-bayang itu kembali mengusiknya. Prilly benci akan hal itu. Hal yang membuatnya merasa gila rasa.

Takdir yang membawanya ke jurang yang gelap dan menakutkan, Prilly ingin keluar dari jurang ini. Namun, ada saja yang menghalanginya. Prilly ingin kembali seperti awal, hidup tenang walau ekonomi menyiksanya. Namun, itu lebih baik. Daripada harus menikah dan menjadi istri kedua dari dia.

"Kau mau apa?"

"Tolong saya tidak mau menikah dengan anda hiks.. selama ini saya cukup menderita, jangan membuat beban saya semakin banyak. Anda pikir dengan menikahi saya, semua itu takkan menyakiti banyak pihak? Banyak yang tersakiti, termasuk istri anda." Prilly berkata lirih.

Ali tau, bahkan sebelum Prilly tau. Semua itu pasti akan menyakiti banyak orang, namun inilah keharusannya menikahi Prilly dan menjadikannya istri kedua apapun caranya akan Ali lakukan.

"Permintaanmu tidak akan terpenuhi, acara pernikahan sudah didepan mata. Kau tidak bisa menolak semudah itu, menyerahlah pada takdir yang menyatukan kita dengan cara seperti ini." Ali berkata dingin, setelah itu. Ali pergi begitu saja membuat tangisan Prilly kembali turun dengan sangat menyayat hati.

"please, jangan."

Prilly memukul kepalanya, kehidupannya ini sungguh perih bagi dirinya. Prilly melihat gelas disampingnya, Prilly meraihnya kemudian memecahkannya hingga beling gelas berhamburan sampai melukai kaki Prilly yang terkena imbasnya.

Prang

Haruskah Prilly bunuh diri? Nyatanya hidupnya  bagai boneka, selalu saja diatur oleh Ibunya yang selalu berkehendak sendiri. Prilly tak peduli kakinya tertancap pecahan gelas, Prilly berjalan diantara banyaknya pecahan gelas. Prilly mengunci pintu kamarnya, terserah... memangnya mereka peduli jika dirinya mati mengenaskan disini.

"Maafin aku Bu hiks.. aku terlanjur capek dengan tingkah Ibu, maafin aku."

Prilly mengambil salah satu pecahan gelas, kemudian menatap pergelangan tangannya. Ini akhirnya, ini keputusannya sendiri. Prilly ingin bertemu dengan Ayahnya, Prilly lelah disini.

Sret

Darah mengalir begitu deras, suara-suara orang-orang luar mulai terdengar. Prilly meringis, tubuhnya tak mampu lagi menyangga. Prilly tergeletak dilantai penuh pecahan gelas.

Brak

"PRILLY!!"

Amalia bersama Ali tentunya kaget mendengar pecahan gelas yang berasal dari kamar Prilly, Ali memeriksa denyut nadi Prilly. Melemah, Ali mengangkat tubuh Prilly. Semuanya panik, Ali segera memerintahkan supirnya untuk menyiapkan mobilnya. Amalia tentunya panik, seteganya ia pada Prilly. Amalia masih menyayangi putrinya.

Dasar jakarta, selalu saja macet. Ali melihat kearah belakang yang terdapat Prilly yang pingsan dengan wajah yang semakin pucat. Inilah ketakutan terbesarnya, memang semua ini gara-garanya memaksakan kehendak Prilly. Namun, apa boleh buat. Ini adalah kewajibannya sendiri.

"Cepetan! Denyut nadinya semakin melemah, saya tak ingin kehilangan anak saya." Sentak Amalia.

Sekejam apapun ia pada Prilly, Prilly tetap anaknya. Walau dirinya gila harta, Prilly masih tanggung jawabnya. Kalo tidak ada Prilly, mana mungkin dirinya takkan mendapatkan harta sepecerpun dari Ali, sungguh Amalia tak mau itu semua terjadi. Amalia masih menginginkan kekayaan itu.

"DOKTER!!!"

Suasana gaduh mulai terdengar saat Ali menggendong Prilly yang sudah lemah tak berdaya, para suster bertindak dengan segera membawa bankar dan mencoba memasangkan selang oksigen ke hidung Prilly. Langkah Ali bersama Amalia berhenti, dan membiarkan Prilly dibawa keruangan UGD. Ali mengusap wajahnya, walau terbilang santai dan datar. Didalam hatinya, Ali sangat mencemaskan Prilly.

Mereka hanya diam tak ada yang mau memulai pembicaraan, Ali terus menatap pintu UGD yang belum terbuka. Menunggu apakah Prilly masih bisa diselamatkan atau tidaknya?

Drett

Suara pintu, Ali mendongak bersamaan dengan Amalia yang menghampiri dokter yang memeriksa Prilly. Ali menatap dingin kearah dokter ini agar segera menjelaskan bagaimana keadaan Prilly.

"Apa kalian keluarganya?"

"Benar, saya Ibunya."

"Mari ikut keruangan saya."

"Apakah pasien pernah menderita psikis?" Tanya dokter lagi. Amalia menunduk, kemudian mengangguk. Benar, kondisi psikis Prilly memang seringkali memburuk. Jika sudah merasa tertekan.

"Beruntungnya yang diatas masih memberi kesempatan pada pasien untuk hidup, sayatannya tidak sampai memotong nadi. Hanya sedikit yang tergores, mungkin kenapa bisa pingsan. Mungkin saja psikisnya mulai kambuh dan membuatnya sedikit tidak kekontrol."

"Maka dari itu, Ibu bersama Pak Ali coba berbicara dengan sangat hati-hati dan tidak membiarkan pasien melamun dengan keadaan kosong. Karena itu tak baik untuk kondisinya sekarang, dan juga jangan membuat pasien emosi. Saya sudah memberi obat penenang pada pasien, mungkin tak lama lagi pasien akan sadar."

Amalia tau hal ini akan terjadi pada Prilly, namun bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Setelah dokter menjelaskan, Prilly sudah dipindahkan keruangan VIP termewah yang sudah Ali pesankan. Kulitnya kini pucat, Ali melihat tangan Prilly terbaluti. Tiba-tiba saja kelopak mata Prilly terbuka.

"Pe----rgi."

Suaranya dingin, pandangannya kosong. Ali menatap datar kearah Prilly, ternyata selama ini Prilly tertekan. Dan kembali mengalami psikis yang buruk, Amalia melihat Prilly sudah bangunpun memanggil dokter agar memeriksanya kembali.

"AKU BILANG PERGIII."

"AKU ENGGAK MAU LIAT KALIAN HIKS... PERGIII PERGIIIIIII...."

Prilly menangis dengan menyayat hati, Ali mencoba agar Prilly tak lagi memukuli tubuhnya sendiri. Prilly memukul kepalanya sendiri, Ali berusaha menahan tangan Prilly agar tidak memukuli kepalanya. Dokter bersama suster datang dan segera menyuruh mereka agar menunggu diluar. Suster menyuntikkan obat penenang pada Prilly, Prilly mulai tidak memberontak. Prilly hanya diam dan kembali dengan pandangan kosong.

"Lebih baik jangan temui dia dulu Pak Ali, jika tidak psikisnya akan semakin buruk. Dan kemungkinan besar, psikis yang semakin memburuk akan mengakibatkan gangguan mental." Ujar dokter membuat Ali bersama Amalia kaget.

"Baik dok."

Mungkin Ali terpaksa mengundurkan pernikahannya, kondisi ini tidak memungkinkan bagi Prilly. Setelah Prilly sembuh, pernikahan itu akan terjadi. Ali menatap Prilly dibalik jendela, Prilly benar-benar kacau untuk saat ini. Terlihat dari sorot matanya yang penuh akan kata terluka.

Drrrtt

Ponselnya bergetar, Ali mengangkatnya menjauh dari Amalia yang terus memerhatikannya. Ali berdeham kemudian menjawab panggilan.

"Hmm."

Setelah menerima telpon, Ali kembali ketempatnya barusan. Sebenarnya Ali ingin masuk, namun takutnya Prilly kembali mengamuk. Ali tak ingin acara pernikahannya tiba-tiba saja batal oleh karena wanita itu benar-benar gila. Hanya menunggu dan tak banyak bicara.

"Apa pernikahan itu akan terjadi?" Tanya Amalia menatap lurus kedepan tanpa menoleh pada Ali. Ali mengangguk yakin, pernikahan itu akan terjadi bagaimanapun keadaannya. Ali tak mau uangnya sia-sia ia berikan pada Amalia, Ali ingin Prilly menjadi istrinya. Walau semua itu banyak tentangan.

"Saya akan bawa Prilly ke psikiater kenalan saya, dia pasti bisa sembuh!"

"Psikis itu bukan hal mudah, dia sudah menderita selama 10 tahun. Walau saat tertekan saja dia kambuh." Amalia berkata dingin.

"Apapun caranya dia akan menjadi milikku."

Senin, 27 April 2020

Ada yang setuju update setiap hari?

Buruan tentuin.. setuju atau tidak
In sya allah jika setiap hari.. kaii akan berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian.

Setuju or tidak?

TAKDIR [PROSES PENERBITAN]Where stories live. Discover now