6. Di Rumah Dinas

7.1K 879 337
                                    

Bukan Bianca tak menyadari tatapan-tatapan penasaran dari beberapa anggota Shaheer yang juga tengah membantu terutama saat sang Komandan tak memberi penjalasan apapun tentangnya. Hanya memperkenalkannya singkat, lebih tepatnya menyebutkan namanya saja dan menyuruh mereka untuk mengikuti semua perintahnya atas tata letak apapun di rumah dinas sang Komandan.

"Mau rapikan mana dulu?" tanya Shaheer sedikit mengabaikan kehadiran Rahil yang merasa bak pemilik rumah dengan duduk nyaman memperhatikan saja.

"Rapikan dapur dulu," jawab Bianca pendek.

Shaheer mengangguk dan meminta beberapa anggotanya meletakkan apapun sesuai aba-aba Bianca.

Untuk ukuran orang yang tak memiliki kepentingan apapun di rumah dinas Shaheer, ia cukup risih saat semua memperlakukannya dengan hormat, persis seperti memperlakukan Shaheer. Tapi ia cukup malas untuk membetulkan apapun asumsi yang terjadi. Ia hanya ingin cepat pulang dan tak perlu banyak basa basi lagi.

"Berhubung dapurnya sudah beres, sudah adzan dzuhur juga, kita salat dulu terus makan," kata Shaheer. "Kamu bisa salat di kamarku. Ada mukenah baru dan sajadah di atas tempat tidur."

Tak lama para lelaki meninggalkan rumah dinas dan dirinya sendiri. Ia pun segera salat juga selagi tak ada orang di rumah.

Begitu memasuki kamar Shaheer usai wudu, ia masih disuguhi aroma maskulin yang segar dan menenangkan bagi indera penciumannya. Kamarnya simple tapi nyaman.

Lalu ia pun buru-buru salat sebelum perasaan asing mengganggunya. Tapi entah suasana kamar yang nyaman, membuatnya lupa hal lain hingga saat selesai dan keluar dari kamar Shaheer, ia dikejutkan dengan kedatangan Mamanya dan...

"Pa...pi?" bisiknya lirih.

Lelaki yang berparas serupa Rahil dan masih gagah di usia yang tak lagi muda itu tersenyum lebar.

"Kok diam? Nggak suka Papi pulang?" tanya Sahil pura-pura sedih.

Bianca tersenyum tipis dan mendekat. "Assalamu'alaikum, Pi, Mama..." ucapnya sambil salim bergantian kepada keduanya. "Mami Hilwa mana?"

"Di rumah Mama-Papanya. Nggak peluk Papi nih? Papi kan kangen," sahut Sahil.

Perlahan Bianca memeluk Sahil. Adik kembar Rahil itu nyaris menangis haru setelah bertahun-tahun, ini kali pertama bertemu lagi dengan keponakan paling menggemaskannya itu. Tapi Sahil menahannya bukan karena malu apalagi masih banyak anggota Shaheer di dekat mereka melainkan demi menjaga perasaan Bianca sendiri.

"Ahem!" Rahil berdeham demi memecah keharuan agar tidak terlarut yang membuat perasaan putrinya pasti berat karena ia sendiri ingin menangis. Maka ia pun pura-pura memasang wajah jengkel. "Mbak, Papa yang ini. Bukan yang itu. Harusnya Mbak peluk Papa aja yang lebih ganteng."

"Berarti saya juga ganteng dong, kan mirip Om berdua," celetuk Shaheer.

"Sikap taubat atau lari sekarang?" perintah Sahil tiba-tiba.

"Siap!" Shaheer yang berdiri santai seketika menegakkan tubuhnya.

"Sikap taubat atau lari?" ulang Sahil jengkel.

"Siap, sikap taubat!" jawab Shaheer tegas.

"Bagus. Satu jam!" perintah Sahil.

"Siap, laksanakan!" Shaheer pun mengambil ancang-ancang sikap taubat di ruang tengah yang masih lengang.

"Dek Sahil..." celetuk Mia. Ia tak habis pikir dengan kekonyolan yang tengah terjadi.

Sementara itu beberapa anggotanya yang ada di sana hanya bisa melongo melihat Danki baru mereka di perintah oleh seorang tamu yang baru datang dan tak mereka kenal. Apa keluarga Komandan mereka? Karena memang mirip wajahnya.

You're Still LovelyWhere stories live. Discover now