▫️1 - keara

461 43 3
                                    

Seminggu sudah gue bekerja di Harapan Bangsa, salah satu rumah sakit elit swasta yang ada di bilangan Jakarta Selatan.

Semesta mempertemukan gue kembali dengan Ale, partner in crime paling dodol sejagad kediaman Maskur semasa kuliah di kota Solo.

Sama seperti gue, itu bocah juga baru diterima kerja disini seminggu yang lalu. Gue auto ngerasa seperti dejavu, karena dulu, kami pernah selengket upil dan kolong meja.

Gue rasa, semesta memang sedang berkonspirasi dengan takdir untuk mengembalikan masa-masa indah penuh kegoblokan kami di masa lalu.

Gue dan Ale dapet jadwal praktek di hari dan jam yang sama. Itu beneran bisa ngebuat gue dan Ale banyak ngabisin waktu bareng kayak dulu, salah satunya dengan cara mengulang kelakuan absurd kami di masa lalu.

"Hoi!"

Gue dan Ale terkejut saat seseorang menggeplak bahu kami dari belakang.

Siapa lagi, kalau bukan dr. Banitri Sirca Sp.Kj, Psikiater cantik yang rumornya mirip aktris hollywood entah siapa tapi sayang, otaknya rada-rada.

"Anjing, kaget gue." umpat Ale kesal.

"Gue tau kalian jomblo tapi gak usah hopeless juga dong, mojok berdua mencurigakan gitu. Kalian gak lesbi kan?"

Gue memutar mata malas.

"Menurut lo?" Ale beranjak dan membenarkan posisi jas putih polosnya yang sedikit terlihat kusut.

"Engga-engga, becanda sayang. Oh iya lupa kan, gue ada kabar!" dokter cantik itu menepuk jidatnya sebelum kembali terlihat antusias, lengkap dengan senyuman lima jarinya.

Sesuatu yang sebenarnya patut gue dan Ale curigai.

"Apaan? Awas kalo gak mutu!" peringat Ale.

"Bermutu tinggi dan berdaya guna dong seyeng." Ica, panggilan ikrib dokter Banitri Sica, berkedip genit. "Lo berdua masih inget kan kalo dokter Abi sama dokter Yoga dimutasi ke luar jawa?"

Gue mengangguk. "Terus?"

"Hari ini penggantinya udah ada!"

"Allahuma, gue kira setelah ribuan purnama lo nolak anaknya Dokter Zaheed endingnya lo nerima juga." Ale menghembuskan napas kesal.

"Sialan lo! Sampe mati juga gue ogah!" Ica mendengus.

"Terus kenapa kalo udah ada penggantinya?" Gue menatap Ica bosan. "Masbumi?"

"Apaan tuh?"

"Masalah buat kami?" seloroh Ale tanpa ekspresi.

"Sumpah ya kalian tuh kenapa sih bisa lempeng banget. Ini dua dokter penggantinya ganteng banget jir!" Ica menatap gue dan Ale bergantian dengan frustasi.

Lebay, kan?

Emang.

"Gantengan mana sama tunangan lo yang katanya titisan Liam Hemsworth kawe super?" tanya gue sarkas.

"Hmm," dokter berusia sepantar gue dan Ale itu terdiam beberapa dan menopang dagu sebelum berucap, "Gantengan dua dokter ini, sih. Tapi, tetep abang Garindra yang ada di hati."

Bodo amat.

"Yaudah sih, dok. Paling juga ganteng mas-mas." sahut Ale ringan, lengkap dengan cengiran wajah tanpa dosanya. "Makan yok? Keburu jam istirahatnya abis."

"Gue nggak deh, udah bawa bekal. Mau diet, hehehe." cengir psikiater cantik yang diduga rada weng itu. "Tapi, titip jus pisang boleh?" katanya dengan puppy eyes.

"Ogah. Ikut aja napa sih, orang kantin deket juga dari klinik kita." tolak Ale mentah-mentah.

"Tapi bekal gue—,"

"Kan bisa dibawa, dokter Banitri Sirca-ku sayang. Gih buruan kalo nggak kita tinggal nih!" ancamku pura-pura tegas.

Tapi ngaruh juga sih bikin dokter cantik itu kelabakan terus buru-buru balik ke ruangannya buat ngambil bekal yang konon terdapat resep rahasia tubuh langsing nan bohay seorang dokter Banitri Sirca De Rotteli.

"Yok!"

Kami bertiga berjalan bersisian didampingi celotehan tidak bermutu Ica tentang betapa gantengnya dokter bedah dan dokter anestesi pengganti itu.

Gue jadi rada keinget diri gue yang dulu, yang sikap dan pembawaannya tidak jauh berbeda dengan Ica. Semua orang mengenal gue sebagai gadis periang yang ramah, banyak teman, dan mudah tertawa.

Gue tersenyum miris mengingat perubahan drastis yang kini menjadi ciri khas seorang Keara Aneska Halim.

Jutek dan sarkas.

Sangat bukan gue bagi orang yang pernah mengenal gue di masa lalu.

Tapi Kea yang itu, sudah lama mati.

Kantin terlihat sepi siang ini, mungkin karena sudah lewat jam makan siang. Kami bertiga kebetulan baru selesai shift pukul dua, dari yang seharusnya pukul satu. Pasien hari ini cukup membludak, jadi merelakan jam makan siang kami tertunda, adalah hal biasa demi menjalankan sumpah profesi kami.

"Lo mau makan apa, Ke? Gue pesenin."

"Apa ya? Lo apa?" Gue mencepol rambut sebagu gue dengan jedai yang selalu gue cantelin di saku jas putih gue tiap gak dipake.

"Halah babik, malah nanya balik." dengus Ale. "Gue kayaknya pengen Lasagna deh, lo mau apa gih buruan!"

"Makan nasi, Aleira sayang!" Yang tentu saja diabaikan gadis berparas oriental itu. "Gue Aglio Olio aja deh. Biar lo gak ribet mesennya."

"Oke. Minumnya air mineral kan?" Gue mengangguk. "Dah, mending lo berdua cari meja keburu penuh."

Gue melirik Ica yang sedang asyik memainkan ponselnya. "Woi, dok! Pilih tempat gih."

"Oi Le, jus pisang gue!" teriaknya yang dijawab dengan acungan jempol Ale.

Gadis blasteran Jawa-Italia itu tidak menjawab pertanyaanku melainkan langsung ngajak jalan ke arah meja yang berada di paling pojok.

Ini nih yang gue suka dari Ica, dia nggak kelamaan mikir kayak gue sama Ale yang suka debat rusuh sampe bikin polling kalo disuruh milih sesuatu, kayak milih mau makan apa.

Gak lama kemudian, Ale datang diikuti seorang pramuniaga yang membawa nampan berisi pesanan kami.

Cepet banget. Ini nih yang gue suka dari pelayanan kantin Harapan Bangsa, gercepnya rek, sampe ke mas-mbak kantinnya.

"Subhanallah, maka nikmat Tuhan mana yang sanggup kau dustakan?" Ica menatap sesuatu di belakangku dan Ale dengan wajah antusias.

Kalau diibaratkan emoji, mungkin matanya sudah mengeluarkan bintang-bintang. Alay bingit.

"Apaan? Bekal lo? Ya pasti lah, koki keluarga lo kan jebolan sekolah culinary terbaik se-Italia." timpal Ale sembari memotong ayamnya dengan pisau dan garpu.

"Ih bukan bekal gue!" Ica merengut. "Tapi itu, asli ya lo pada kudu lihat arah jam tiga!"

"Apaan sih? Lebay deh lo." Gue berdecak sebelum kembali menenggak air mineral gue sampai habis setengah botol.

"Gosh, mereka jalan ke arah kita!"

"Mereka siapa—," penasaran, gue memilih untuk menoleh, alih-alih pura-pura budek kayak Ale.

Beneran deh, gue nyesel banget gak pura-pura budek kayak Ale. Seandainya waktu bisa diputar, gue mending gak nengok daripada kena kelumpuhan otak sementara.

Perasaan gue lagi gak minum wine dan teman sebangsanya, tapi kenapa rasanya kayak lagi berhalusinasi visual ya?

Palpitasi Atrium Where stories live. Discover now