▫️5 - keara

238 35 6
                                    

Jakarta, Mei 2020.

Gak terasa, udah satu bulan gue kerja di Harapan Bangsa. Gue lagi antusias banget nungguin gaji perdana gue cair. Gaji bulanan gue akan ditransfer ke rekening gue oleh pihak HRD, per tanggal satu alias, today.

Ini adalah gaji pertama gue setelah menghabiskan waktu dua puluh satu tahun masa hidup gue untuk sekolah, sekolah, dan sekolah, jadi wajar bukan kalau sekarang gue bisa menghela nafas dan antusias?

"Udah ditransfer belom?" tanya Ale sambil membenarkan ikatan rambutnya.

"Bentar, ini baru mau gue cek di M-Banking. Lo gimana?"

"Udah dong. Seneng gue, akhirnya.... Setelah sekian lama ketimpuk tugas dan dua kali sidang,"

"Hahaha bener-bener." Gue melihat notifikasi masuk di ponsel gue yang membuat bibir gue mengulas senyuman secerah mentari pagi. "Anyway, gue juga udah ditransfer nih. So?" Gue mengerling genit ke arah Ale.

Mumpung klinik kami sedang sepi pengunjung, gak ada salahnya bukan gue jadi diri sendiri, secara, satu-satunya mahluk di Harapan Bangsa yang tahu gue luar dalam ya cuma Ale seorang.

"Sency, PS, atau PIM yak?" Gue menatap Ale dengan wajah sumringah.

"Halah, skip deh kalo itu. Gue lagi Males ngemall, Key."

Nice shot, semangat gue langsung turun drastis.

"Ngopi aja gimana? Gue dapet rekomen tempat ngopi asik dari abang gue yang lokasinya di sekitar sini. Mau kesana?"

"Boleh."

"Ih jangan bete dong, Key. Weekend deh kita ngemall. Lo mau nyari apa, sih?" Ale memandang gue dengan puppy eyesnya.

"Pengen mampir ke Wynesands gue. Kak Winny udah ngeluarin produk baru di season ini."

Wynesands adalah clothing brand milik Winny Ferzieger, desainer blasteran Sunda-Swiss lulusan ESMOD favorit gue. Dia juga selebgram sih, dan gue udah udah ngefans dia dari zaman putih abu-abu.

"Pantesan." Ale berdecak. "Oke. Weekend yak, probably saturday, sekalian gue pengen mampir kinokuniya."

"Gaskeun buu!" semangat gue auto meningkat drastis. Dasar bocah labil.

"Ehem."

Melihat wajah kaku Ale, gue langsung tahu siapa yang baru saja berkunjung kemari tanpa diundang.

Baiklah, gue akan kembali memasang topengku dulu.

"Ya?"

"Ada psikolog yang bisa visit ke rinjani satu nggak?" Lelaki bersnelli dengan stetoskop tersampir di bahunya itu menatap kami berdua secara bergantian.

Wajahnya terlihat cemas, tapi itu sama sekali gak mengurangi tingkat kegantengan dia. Hehehehe, gih timpuk gue.

"Kenapa, dok?"

"Pasien saya butuh psikolog buat anaknya."

Gue menyipitkan mata. "Kenapa dokter nggak langsung menghubungi mbak Leka? Biar bisa langsung di data nama anaknya."

"Leka ada di IGD, jadi saya inisiatif kesini buat ngeliat siapa psikolog yang lagi kosong," jelasnya. "Jadi, siapa dari kalian yang bisa ikut saya kesana?"

"Lo aja Ke." sahut Ale cepat. "Klien gue sebentar lagi dateng."

Alah setan. Bilang aja si kampret Ale mau liat gue kena dysphnea gara-gara Ikko.

"Mana ada klien, perasaan tadi lo bilang lagi gak ada klien." Gue memicing ke arah Ale yang kini sudah bertampang sedatar triplek. "Lo aja Al."

"Lo."

"Lo."

"Lo."

"Lo."

"Lo aja, Keara Aneska Halim."

"Lah, kok malah jadi lempar-lemparan gini, sih. Sudah, Keara saja yang ikut saya," Gue belum sempat berkilah saat lelaki tampan mix western-oriental itu menarik lengan gue untuk segera mengikutinya.

Ya Tuhan, mimpi apa coba gue semalem?!

"Ayo jalan, jangan kayak siput."

Gue mengacungkan jari tengah pada Ale yang kini sedang memberiku tatapan mengejek.

Sialan, gue bakal bikin perhitungan sama dia.

Liat aja nanti kalo gue ketemu Alfin. Mampus lo Al.

"Dok, lepasin tangan saya bisa? Malu diliatin suster," bisik gue.

"Ah ya, maaf."

Jalan beriringan sama salah satu dokter idaman milik Harapan Bangsa emang bawaannya bete sendiri. Itu loh, diliatin suster-suster ganjen yang sedari tadi bisik-bisik ngeselin.

"Kamu kenapa sih, mukanya kok ditekuk gitu?" Ikko menoleh ke arah gue.

Gue yang gak siap diliatin, auto kelabakan dan yah, you know, kejudesan gue mengambil alih.

"Emang muka saya dari orok begini, dok. Mau diapain lagi emangnya." judes gue.

Maaf ya kak, gue nggak mau baper sama lo. Gue masih sadar diri, daripada nyesek inget lo udah ada yang punya. Hiks.

Eh, mikir apa gue ini?

"Bukan itu maksud saya." Ikko terlihat menghela nafas. "Kenapa kamu memasang ekspresi seperti itu? Kalau muka kamu mah, cantik."

Barusan dia bilang apa?

Cantik?

Wah, kayaknya gue udah mulai ketularan syndrome sablengnya Ica. Gue musti konsul ke Psikiater selain Ica of course, mungkin aja gue ada indikasi jadi ODGJ.

Kali gue butuh resep anti halusinasi.

Palpitasi Atrium Where stories live. Discover now