SembilanBelas_ Nadia dan Bella

312 39 1
                                    

Cinta sedang mempersiapkan makan malamnya. Hari ini dia cepat pulang dari kantor dan seperti biasa masih menyempatkan waktu untuk singgah berbelanja karena sudah lama pula ia tidak mengisi kulkasnya.

"Ada makanan nggak, Cin? Sumpah, gue lapar banget." Tanpa berbalik, Cinta sudah tahu pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Ivo.

"Lo emang udah kayak jelangkung aja, deh. Salam dulu, kek." Bukannya menimpali, Ivo malah mendekat ke arah kulkas dan membukanya.

"Ada bronis, nih. Gue makan, ya?"

Cinta yang sementara sibuk mengupas bawang langsung menimpali, "Kalaupun gue larang, lo bakalan tetap ambil sendiri, kok."

Ivo mengambil sekotak bronis itu. Ia mendudukkan dirinya di samping wastafel, dekat dengan posisi di mana Cinta sedang mengiris bawang. Tidak punya akhlak emang.

"Lo abis ngampus?" tanya Cinta.

"Hooh. Tadi lupa bawa duit jadi nggak makan di kantin. Lo tahu sendiri, gue paling anti yang namanya pinjam duit sama orang lain," balas Ivo.

Cinta menoleh sebentar lalu tertawa. "Tapi sama gue gimana?"

"Ya, lo beda lagilah, Cin," elaknya.

"Mending lo bantu masak biar cepat kelar. Jadinya lo juga cepat makan."

Ivo segera menaruh bronis yang belum ia habiskan itu ke dalam kulkas kembali. Ia mengambil alih pekerjaan yang masih dianggurkan oleh Cinta. Bau makanan sudah menguar ke mana-mana. Paling tajam adalah ikan asin yang sedang digoreng oleh Ivo.

"Ngomong-ngomong, hubungan lo sama Atar gimana?" tanya Ivo masih dengan tangan yang sibuk menggoreng.

Cinta berdehem. Tangannya ia keringkan dulu setelah mencuci sayur di wastafel. "Enggak gimana-mana. Gitulah kayak yang kamu lihat."

Raut wajah Ivo seperti tidak yakin. Ia mematikan kompor setelah mengangkat ikan asin yang sudah tergoreng. "Lo berdua belum pacaran?" tanyanya.

Gelengan Cinta menjadi jawaban atas pertanyaan Ivo. Sembari menumis, pikiran Cinta kembali berkelana pada satu nama. Andai saja semua yang dipikirannya menjadi kenyataan, ia tidak bisa membayangkan sebahagia apa dia sekarang.

"Lo enggak mengharapkan lebih gitu? Maksudnya lebih dari sekadar temen. Atau status yang lebih jelas?"

Cinta terhenyak. Baru saja angan itu terlintas. Ia mengulas senyum tipis. "Bohong kalau gue bilang enggak. Secara dia buat gue selalu nyaman. Cuma gue harus sadar posisi kita. Dan sepertinya Atar juga nggak mengharapkan lebih, kok."

"Maksud lo?"

"Ya, kemarin aja waktu dia ngajak gue ke kafe Orange, dia bilang gitu."

"Gitu gimana?" desak Ivo semakin penasaran.

Cinta mengembuskan napasnya lalu menoleh ke arah Ivo. "Dia bilang, gue cuma temannya. Enggak lebih. Malahan dia sepertinya dekat sama banyak cewek. Bukan cuma gue aja. Buktinya kemarin di kafe, dipeluk terus cupika-cipiki gitu sama penyanyi kafe. Atar emang gitu, ya, kalau di kampus?" tanya Cinta pelan.

Ivo akhirnya kembali sibuk dengan masakan lanjutannya, yakni membuat sambal. "Ya, kadang, sih. Atar terkenal kalau di kampus. Secara dia anak band dan pastinya juga punya banyak fans, termasuk cewek-cewek."

"Itu yang gue maksud. Gue nggak mau berharap lebih. Namun, di sisi lain juga perasaan gue semakin tak terkendali," ucap Cinta lemah. Ivo mendekat lalu menepuk-nepuk pelan pundak Cinta.

"Emang, sih, kalian kelihatan seperti pacaran aja. Makanya gue nanya tadi, lo udah jadian sama dia apa tidak. Tapi, ada baiknya lo juga hati-hati. Sebagai teman, gue juga nggak mau lo terluka untuk kedua kalinya."

C I N T A R A (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang