Bagian Dua Puluh

53 6 0
                                    


Pagi ini Hana berangkat seperti biasa. Hana duduk di kursinya. Menunggu bel masuk yang akan berbunyi setengah jam lagi.

Banyak murid yang sudah datang ke kelas. Begitupun dengan Jidan laki-laki tersebut datang lebih awal. Jika biasanya kesiangan. Namun Jidan sudah duduk rapih di bangkunya.

"Hari ini ada PR?" tanya Jidan menoleh ke arah Hana.

Hana mengangguk. "Tugas kimia."

"Lo udah?"

Hana menggelengkan kepalanya. Lalu memperhatikan buku tulisnya yang masih kosong.

Jidan berdecak. "Kebiasaan. di rumah ngapain aja sih!"

Hana mencibir pelan. "Aku gak ngerti."

Jidan mengeluarkan buku dari tasnya, menyodorkannya ke arah Hana. "Cepet nyalin."

Buru-buru Hana mengambil buku tersebut, sebelum bel berbunyi. Hana menyalin dengan cepat. Namun pergerakannya terhenti. Perutnya tiba-tiba sakit. Hana mencengkram perutnya erat sambil sesekali meringis. Hana menunduk meredam sakit perutnya. Namun semakin lama semakin perih.

Jidan menoleh, memperhatikan Hana yang menunduk. Laki-laki tersebut menepuk bahu Hana pelan. "Heh."

Hana diam tak merespon. Untuk menoleh pun enggan. "Hana," panggil Jidan lagi.

Hana baru menoleh, mukanya pucat, darah menetes keluar dari hidungnya. Tubuhnya sangat lemas. Jidan terkejut melihat hidung Hana yang berdarah. Begitupun teman sekelas Hana yang menyadari hal tersebut.

Mereka bergerombol mengerubungi bangku Hana. "Sakit." Hana merintih, menyentuh perutnya. Menatap Jidan dengan mata yang berkaca-kaca. Siap akan air mata yang sebentar lagi akan menetes merembes di pipinya.

Dengan sigap Jidan menggendong Hana, keluar kelas menuju UKS. Tak peduli dengan tatapan siswa-siswi yang melihatnya keheranan. Juga tak peduli dengan darah yang kini ikut mengotori bagian depan seragamnya.

Melihat Hana merintih kesakitan Jidan sungguh tak tega. Dengan langkah cepat Jidan berjalan membawa Hana, menyusuri koridor demi koridor agar segera sampai ke UKS. Laki-laki tersebut baru membaringkan tubuh Hana di brankar UKS. Lalu pergi ke ruang guru dengan sedikit  berlari. Tujuannya mencari dokter Lisa yang biasa menangani murid yang sakit.

Tak lama Jidan kembali dengan Dokter Lisa. Menghampiri Hana yang sudah pucat pasi.

Jidan keluar dari UKS, membiarkan Dokter Lisa memeriksa Hana.

"Jidan Hana gimana?"

Orin, Tristan dan Yasmin berdiri di depan UKS. Sesekali memperhatikan Hana lewat jendela kaca yang tirainya sedikit terbuka.

"Lagi diperiksa."

Jidan duduk di bangku depan UKS. Ia menunggu hasil pemeriksaan Hana, Jidan menoleh, menatap Orin yang berdiri di sampingnya sambil mengusap bahu Jidan pelan. "Tenang aja Hana pasti gak papa, lo gak usah khawatir."

Jidan sendiri tak tau kenapa begini, dirinya merasa khawatir luar biasa melihat Hana tadi rasanya Jidan tak tega, jantungnya seperti ingin copot dari tempat. Jidan merasa kasihan, wajah pucat Hana yang menatapnya sambil merintih kesakitan masih bisa Jidan bayangkan dengan jelas.

"Keringet dingin anjir." Tristan terkekeh geli, memandangi wajah Jidan penuh dengan bulir-bulir keringat.

"Segitu khawatirnya lo sama Hana? Gue yakin sih kalian ada apa-apa." Tristan meledek. Sementara Yasmin menyenggol perut Tristan. "Bercanda mulu. Liat sikon dong," ucap Yasmin memperingati.

🍁

"Jadi temen saya gimana?" Yasmin menghampiri Dokter Lisa, disusul yang lainnya.

"Saya rasa ini bukan mimisan biasa. Pendarahan di sekitar hidung Hana di sebabkan karena penyakit Varises esofagus. Setelah meneliti gejala-gejalanya tadi, seperti muntah darah bahkan hampir pingsan, tadi juga sempat bertanya dan dibenarkan langsung oleh Hana sendiri."

Yasmin membeo. "Varises esofagus?" ulangnya.

"Penyakit yang disebabkan oleh terhambatnya aliran darah ke hati, Hana harus diperiksa dirumah sakit khusus. Mungkin saja ada kerusakan pada organ hatinya, ada baiknya jika Hana istirahat dan pulang ke rumah, kalo gitu saya permisi."

Dokter Lisa pergi dari UKS. Sementara Yasmin langsung duduk di samping Hana. Sedih melihat Hana seperti ini. Hana harus menyimpan lukanya tanpa memberitahu kalau kondisi tubuhnya sedang tidak baik, meskipun dari luar semua akan menyangka jika Hana tidak sakit, siapa yang tau dibalik semua sikap juga kesan cerianya, ia memendam satu penyakit.

"Dari kapan lo sakit?" tanya Yasmin.

"Dari SMP."

"Kenapa gak cerita." Orin ikut duduk di samping Hana.

"Aku pikir gak ada gunanya cerita."

"Gue ini sahabat lo Hana. Mau gimana pun masalah lo, lo harus cerita, lo gak bisa mendem ini sendiri." Yasmin mengusap bahu Hana pelan.

Sahabat ya? Kalau diingat mereka baru dekat beberapa minggu yang lalu, bahkan Hana juga heran mereka bisa jadi sedekat ini.

"Maaf aku gak cerita."

"Terus penyakit lo ini gimana?" tanya Orin.

"Aku harus operasi."

"Hah operasi?" Yasmin memandang Hana kaget.

"Transplantasi hati. Hati aku mulai mengalami kerusakan jadi aku harus operasi. Itupun setelah hasil CT scan yang memang mengharuskan aku melakukan operasi."

Yasmin memeluk Hana erat, air matanya menetes, meskipun baru dekat dengan Hana beberapa hari namun Yasmin tau Hana baik, Yasmin juga nyaman berteman dengan Hana.

"Hana lo harus kuat ya." Orin juga memeluk Hana mereka bertiga sama-sama merasa sedih. Orin dan Yasmin yang tak menyangka dengan penyakit Hana, sementara Hana yang sedih melihat orang-orang di sekitarnya ternyata peduli.

"Gue gak nyangka selain penyakit kanker ada juga penyakit yang bahaya kaya gini." Tristan menatap Hana.

Jidan sama sekali tak fokus, fokusnya menatap Hana. Ada perasaan tak enak yang menjanggal. Entahlah Jidan seperti tak rela melihat Hana harus menanggung ini. Bagaimana gadis sebaik itu harus diberi cobaan yang bahkan bahunya entah sanggup atau engga sanggup. Perasaannya campur aduk, antara sedih, sakit, sesak semuanya bercampur menjadi satu. Melihat tubuh itu ingin rasanya ia rengkuh membagi kehangatan bersama agar ikut bisa menguatkan Hana yang mungkin butuh penyemangat, melihat air matanya yang turun tak berhenti, tangannya begitu gatal ingin mengusap air mata itu.

Hana tersenyum, menatap Yasmin dan Orin, lalu pandangannya beralih menatap ke depan. Di mana matanya bertubrukan dengan iris mata Jidan. Laki-laki tersebut menatapnya tanpa berkedip.

Hana tersenyum lembut. Kini Hana punya alasan untuk sembuh. Selain tak ingin kehilangan keluarganya, Hana juga tak ingin kehilangan sahabatnya. Begitupun Jidan.

Hana tak ingin kehilangan Jidan. Masih ingin menghabiskan waktu yang lama dengan laki-laki di depannya.

🍁

Next

Makasih yang udah mau baca sorry kalo ada typo ❤️

Setelah BerpisahWhere stories live. Discover now