Makan malam semalam berlangsung sangat cukup baik. Gemma menginap di rumahku dan dia tidur bersamaku. Sampai sekarang, dia masih tertidur pulas di ranjangku, aku tak tega membangunkan dia.
Aku bersiap-siap dengan sangat cepat. Hari ini, Ansel akan kembali Los Angeles dan aku sudah berjanji akan menjemputnya. Aku sudah sangat rapih dan segera ke luar dari dalam kamarku, meninggalkan Gemma yang masih tertidur pulas. Aku menutup pintu kamarku dengan penuh kehati-hatian sebelum mencari keberadaan orangtuaku.
Mom tampak tengah berada di dapur, mempersiapkan menu sarapan pagi ini. Aku menghampirinya dan memeluknya dari belakang. "Mom, aku harus pergi menjemput Ansel. Pastikan kau menyisakan makanan untukku." Belum sempat Mom menjawab, aku mengecup singkat pipinya dan berjalan menghampiri Dad yang terlihat tengah membaca surat kabar.
"Tay, ajak dia ke rumah! Kita bisa makan bersama!" Aku mendengar Mom berkata. Aku tersenyum.
"Dad, aku pergi menjemput Ansel di bandara." Ujarku santai.
Dad menatapku sekilas sebelum kembali membaca surat kabarnya dengan fokus. "Setelah menjemputnya, segera pulang." perintah Dad dan aku menganggukkan kepala sebelum memberikan kecupan singkat di pipinya juga.
Kemudian, aku melangkah menuju tempat di mana mobilku terparkir. Aku melajukan mobilku menjauhi rumahku, menuju ke bandara. Dari rumahku ke bandara tak memakan waktu cukup lama. Hanya sekitar setengah jam dan aku sudah sampai di bandara. Aku tidak menjemput Ansel langsung di dalam bandara. Aku menunggu di halaman parkir dan segera menghubungi pria itu.
Ansel menjawab panggilanku dan menanyakan keberadaanku. Aku berkata jika aku ada di parkiran dan lima menit kemudian, aku dapat melihat sosok tampan itu yang mendekat. Aku membuka pintu dan ke luar dari dalam mobil. Aku memeluk Ansel erat dan dia juga balas memelukku erat.
"Aku sangat merindukanmu!" ujar Ansel dan aku membalas, "aku juga." Setelah itu, kami saling melepaskan diri.
"Apa kau sudah makan? Mom memintaku untuk mengajakmu makan di rumahku. Kau bersedia?" tanyaku. Ansel tersenyum penuh semangat. "Tentu saja."
****
"....aku masih mengingat jelas saat kita bermain catur selama dua hari tanpa tidur. Itu sangat menyenangkan! Bukan begitu, Harry?"
"Tentu saja, Mr. Swift. Aku selalu senang bermain catur denganmu. Kau lawan terbaik yang aku miliki." Pria berambut curly itu menjawab ucapan Dad.
Aku mengajak Ansel langsung pergi ke rumahku untuk makan bersama dan aku tak tahu jika ada Harry yang juga ikut makan bersama. Mungkin, tujuan awal Harry adalah menjemput kakaknya, Gemma dan tak lama kemudian, Gemma muncul dengan penampilan yang sangat rapih. Gemma tersenyum sekilas sebelum menghentikan pandangannya kepada Ansel.
Gemma menatap Ansel seraya menggeleng-gelengkan kepala. Aku dan semua yang berada di meja makan tampak bingung sebelum akhirnya, menyadari saat Gemma tiba-tiba saja menghampiri Ansel dan dengan gaya seperti remaja, dia berkata, "Gosh, kau Ansel Elgort! Aku sangat menyukai peranmu di The Fault Is In Our Stars. Kau terlihat sangat sempurna!" Gemma terlihat sangat antusias.
Aku terkekeh. Setidaknya, ada satu orang di sini yang bisa memuji Ansel karena sejujurnya, aku mulai merasa tak enak. Sedari tadi, Dad hanya bicara dengan Harry, dia bahkan tak mau menatap Ansel. Mom sempat menyapa Ansel dengan ramah tapi, setelah Dad dan Harry berbicara, Mom ikut bergabung bersama mereka.
Selesai makan, Ansel tiba-tiba saja menarik tanganku dan berkata, "bisakah kita bicara? Mungkin, di kolam renang?" Aku menganggukkan kepala.
Sesampainya di tepi kolam renang, aku dan Ansel duduk di sebuah ayunan besi berwarna putih yang memang berada di sana. Kami duduk berdampingan dalam keheningan sebelum akhirnya, Ansel mulai buka suara.
"Aku sudah melihat kebenaran yang sesungguhnya, Taylor."
"Kebenaran yang sesungguhnya? Apa maksudmu?" tanyaku bingung.
Ansel tersenyum dan mendongakkan kepalanya, menatap ke arah langit dan tanpa menatapku, dia berkata, "aku bisa melihat jelas di matamu."
"Ansel, apa maksudmu? Jangan terbelit-belit. Kau membuatku ketakutan dan penasaran!" aku mendesak. Ansel terkekeh sebelum beralih menatapku lekat. Aku dapat melihat bola mata indahnya. Dia menatapku sangat intens dan kembali tersenyum sambil berkata, "sangat berbeda rasanya, Taylor."
"Ansel, aku serius! Kau membuatku penasaran! Apa maksud ucapanmu?" aku kembali mendesak.
Ansel menarik nafas panjang sebelum berkata, "aku tak bisa bersama dengan seseorang yang tak mencintaiku secara keseluruhan, Taylor." Aku terdiam mendengar ucapannya kali ini. Dia kembali mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit.
"Aku senang menghabiskan waktu bersamamu, Taylor walaupun, aku tahu, semua waktu itu tak begitu bermakna bagimu. Tapi, aku tak akan melupakanmu, sungguh. Aku akan terus bersamamu saat kau membutuhkan aku," ujarnya dengan lembut. Akhirnya, aku mengerti, ke mana pembicaraan ini akan berlanjut.
"Ayahmu sangat dekat dengan pria berambut curly itu. Ibumu juga terlihat sangat menyukai dia. Bukankah kau juga dekat dengan kakaknya?" Ansel bertanya pertanyaan yang membuatku bungkam. Dia memang benar akan semua itu.
Ansel menatapku, tiba-tiba saja tangannya menyentuh sudut wajahku. Dia tersenyum dan berkata, "aku senang bisa berkenalan denganmu. Saranku, turuti kata hatimu. Jangan turuti egomu. Jika kau masih menyayanginya, apa salahnya memberikan dia kesempatan kedua? Kau akan sangat menyesal jika kau kehilangan dia. Benar kehilangan dia."
"Aku sudah kehilangan dia, Ansel." Aku tak tahu kenapa suaraku melemah dan tiba-tiba saja air mata mengalir dari pelupuk mataku. Topik tentang 'dia' memang selalu bisa membuatku menangis dan aku benci ini.
Ansel meletakkan kepalaku di bahunya, membiarkan aku menangis di sana. "Kau belum kehilangan dia, Tay. Aku bisa melihat jelas di matanya, dia menginginkanmu. Dia masih berharap padamu. Dia masih sangat mencintaimu. Begitupun yang aku lihat di matamu."
"Ansel...maafkan aku." aku berujar, tak tahu harus berkata apa-apa. Tangan Ansel mengelus lembut puncak kepalaku.
"Tak apa-apa, Taylor. Aku memahamimu. Mungkin, memang Tuhan hanya menggariskan kita untuk menjadi sahabat. Tak lebih dari itu dan aku berjanji akan menjadi sahabat terbaik yang kau miliki." Air mataku semakin menjadi-jadi. Aku membenamkan wajahku di pundaknya. Aku menangis selama beberapa saat sebelum akhirnya bangkit dari pundak Ansel dan menghapus air mataku.
Aku tersenyum ke padanya. "Terima kasih atas segalanya, Ansel. Kau yang terbaik. Aku menyayangimu," aku merentangkan tanganku dan memeluknya. Dia balas memelukku dan berkata, "aku juga menyayangimu, Taylor."
Ansel melepaskan pelukannya saat ponselnya berdering. Ansel menatap layar ponselnya dan tampak terkejut. Ansel bangkit berdiri dan berkata cepat kepadaku, "aku lupa jika hari ini aku ada wawancara. Sebaiknya aku pergi."
"Tom akan mengantarmu. Kau tidak membawa mobil, kan?" tanyaku. Ansel tersenyum dan berjalan cepat meninggalkanku sendirian di ayunan tersebut. Aku menundukkan kepala dan merenung, menatap air di kolam renang yang terlihat sangat tenang. Air mata masih membasahi pipiku.
Saat suasa sedang hening-heningnya, tiba-tiba saja ayunan sedikit bergoyang, menandakan ada seseorang yang bergabung denganku. Aku tak menatap seseorang itu sama sekali dan saat dia buka suara, aku baru sadar siapa yang ada di sampingku saat ini.
"Aku tak suka melihatmu menangis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Things I Can
FanfictionJika bukan karena perjodohan, aku tak mungkin ada di sini, duduk sendiri, berteman dengan sepi.