17. UUP

68.7K 5.7K 107
                                    

Simpang siur prahara rumah tangga Habib tampan itu dalam sekejap mampu menggemparkan publik. Orang-orang berbondong mencari akun gosip yang menayangkan keretakan keluarga itu. Para wartawan berita pagi selebriti bak pemburu yang baru mendapat mangsa baru. Mereka tak pernah habis akal untuk sekedar mencari sepenggal info dari keluarga yang baru dibangun, tetapi retak dalam hitungan bulan itu.

Hari ini genap sepekan wanita shalihah perindu surga itu terlelap dalam dunia barunya. Tak ada perkembangan sama sekali dari wanita itu. Ia masih setia berada di ruang ICU dengan infus yang terus diganti setiap 2 jamnya. Bahkan, memar-memar ditubuhnya tak lagi nampak.

Hal itu mampu meresahkan setiap orang yang terlibat. Hari-hari mereka selalu digunakan untuk berharap pada Allah memberi kesembuhan orang di dalam sana.

Ruangan itu hanya mengizinkan orang tua serta petugas yang boleh memasukinya. Pria paruh baya yang menyandang sebagai ayah wanita itu sama sekali tak mengizinkan menantunya menjeguk putrinya. Baginya, itu semua tak sebanding dengan apa yang menimpa putrinya.

Sedari kecil, ia bersama istrinya selalu menjaga dan merawat permatanya dengan baik. Seujung kuku pun keduanya belum pernah membentak apalagi mengasari putrinya. Namun, semua pupus begitu saja. Bertahun-tahun keduanya berjuang melindungi permatanya, kini kedatangan seorang anak kecil menghancurkan semua perjuangannya. Bagaimana bisa anak itu melukai putrinya tanpa rasa?

Farhan yang sama sekali belum melihat kondisi istrinya seperti apa, hari-harinya ia gunakan untuk duduk membisu di depan ruang ICU. Berharap ia masih bisa dekat dengan sang istri meski tak bisa melihat bagaimana kondisinya.

Hatinya yang telah dihancurkan berkeping-keping tak mampu menahan buliran yang selalu berhasil luruh dari mata elangnya. Pembicaraan orang-orang tak lagi ia pedulikan. Otaknya terus tertuju akan keadaan sang istri yang bisa dikatakan buruk. Ditambah lagi ia gagal menjadi seorang abi untuk calon buah hatinya bersama Syera.

Rasa salahnya semakin besar kala tatapan sang mertua yang teramat terpukul saat mendengar kabar hilangnya janin yang masih berbentuk segumpal darah di dalam rahim sang putri. Farhan sangat tahu, ayah serta bunda mertuanya sangat menyayangi Hizam sebagai cucunya sendiri. Mereka juga memaklumi setiap tingkah Hizam yang belum bisa menerima kehadiran putrinya. Namun, kabar burung itu seolah meruntuhkan harapan mereka memiliki cucu dari putrinya.

Farhan tak tahu. Bagaimana reaksi istrinya saat sadar itu. Meskipun ia terpukul, Syera akan menjadi sosok yang paling terpukul saat ini.

Sepekan itu juga, seorang anak laki-laki biang semua masalah yang terjadi pada umi sambungnya telah sembuh dari masa khitannya. Hari-hari ia gunakan untuk berdiam diri di kamar dan menyesali segala perbuatannya sendiri. Namun, egonya masih bertahan untuk tak menyukai istri abinya. Laki-laki itu juga tak berani bertatap muka dengan abinya setelah abinya menemuinya dengan menangis seminggu lalu.

Hari-hari Hizam ditemani hanya oleh Aminah. Wanita itu selalu berusaha keras dalam membenarkan cucunya itu dalam tindakan yang benar, ia selalu berkata hati-hati agar setiap perkataan mampu menyadarkan anak laki-laki itu. Setiap harinya ia juga memberi tahu kabar abinya yang sampai sekarang masih dilarang keras oleh besannya untuk menemui menantunya. Aminah sesekali menangis kala mendapar laporan dari Faris atas kegilaan sang putra yang belum bisa menemui sang istri.

Berbaring beralaskan paha, Hizam menutup matanya, merasakan setiap elusan sang nenek. Ia hanya terdiam atas setiap perkataan yang terlontarkan di bibir wanita yang usianya hampir se-abad itu, sesekali ia hanya menjawab ucapan Aminah dengan jawaban seadanya. Setiap perkataan Aminah seolah tertuju pada semua tingkah buruknya pada istri sang abi. Meski begitu, Hizam tahu bahwa neneknya hanya berniat menasihatinya saja.

"Hizam ingat?" tanya Aminah setelah satu jam lamanya berceloteh pada sang cucu, "kertas yang berisi tulisan pesan umi yang diberikan untuk Hizam setelah kematian umi?" lanjutnya.

Hizam mengangguk lemah tanpa membuka mata. "Umi mau, Hizam menjadi anak yang baik. Nurut sama abi, harus berbakti sama orang lebih lebih dewasa ... umi mau, Hizam harus menerima jika punya umi baru. Hizam nggak boleh bikin banyak orang kecewa," katanya lirih, "umi sayang sama Hizam. Hizam nggak boleh nakal, kalau Hizam nakal ... umi bakal sedih di surga sana," lanjutnya, diiringi buliran bening dengan kelopak mata yang masih tertutup.

"Lalu?" tanya Aminah seolah cucunya melupakan satu hal.

Hening. Anak laki-laki itu terdiam seperkian detiak sebelum akhirnya mengeluarkan suara. "Umi sayang sama Hizam."

Jari Aminah bergerak mengusap pipi cucunya yang telah basah air mata. Tak tega harus melihat anak sekecil itu merasakan masalah yang rumit.

Kematian memang tak bisa dicegah dan ditebak. Peristiwa menyedihkan yang sukar diterima. Terutama untuk anak sesuia Hizam, yang waktu itu ia masih berusia 5 tahun. Mungkin, ia lupa kapan terakhir melihat senyum uminya. Namun, ia tak akan pernah lupa bagaimana hari dimana Allah teramat merindukan uminya.

"Apa Umi Syera pernah berkata kasar atau melukaimu?" tanya Aminah dan digelengi Hizam.

Aminah tersenyum tipis. Mencari celah berpikir apakah sang menantu pernah melakukan hal kasar pada cucunya. Namun, tampang Syera sama sekali tak pantas untuk melakukan hal itu, apalagi sang menantu termasuk wanita yang lahir dari keluarga baik-baik. Lalu hal apa yang membuat Hizam rumit menerima umi sambungnya?

"Kalau begitu, kenapa Hizam melakukan itu pada Umi Syera?" tanya Amimah menuntuskan rasa yang mengusik hatinya.

Aminah menghela napas kasar kala Hizam terdiam tak menjawab. Membuatnya memilih kembali berujar, "Umi Syera sangat baik, Nak. Umi Syera selalu berusaha supaya mendapat simpati darimu," selorohnya.

"Hizam ti-tidak bisa," balas Hizam cepat.

Anak laki-laki itu membuka matanya, beranjak duduk dengan sorot yang tak bisa diartikan. Tatapan tajamnya berganti redup, kaset usang di otaknya bak berputar secara otomatis---memperlihatkan bagaimana perlakuannya terhadap istri abinya.

"Kenapa?" tanya Aminah, "Takut dijahatin Umi Syera?" lanjutnya dan diangguki Hizam lemah.

Aminah menghela napas, ditariknya sang cucu dan langsung didekap. "Disaat matamu memperlihatkan ibu tiri adalah sosok yang kejam, memperlakukan anak sambungnya dengan baik hanya di depan suaminya. Nenek rasa kini berbeda, kamu justru yang berperan sebagaimana ibu tiri yang jahat sepeeti yang pernah kamu lihat di televisi. Kamu juga mengakui, bukan? Umi Syera tidak pernah melukaimu."

Aminah mengelus pucuk surai cucunya, menenangkan segala gundah di dalam anak laki-laki itu. "Coba buka hatimu. Nikmati serta jalani semua perlakuan Umi Syera. Apa Hizam sedikit pun tidak merasakan tulus dari perlakuan Umi Syera? Liat lah. Bahkan Umi Syera nggak pernah mengadu pada abi perihal perlakuanmu padanya," nasihat Aminah.

"Bukan kah Hizam tidak mau membuat abi dan Umi Laila kecewa? Nenek yakin, Umi Laila bakal sedih di tempatnya sana kalau putranya ini menjadi anak yang jauh dari didikan abi serta uminya."

"Hizam ... di luar sana abimu sedang menjadi bahan pembicaraan. Mereka pikir abimu mendidik kamu dengan tidak benar. Hizam tahu kan, abimu sosok yang menjadi panutan banyak orang. Setelah saat kabar ini beredar, abimu mendapat banyak gunjingan, Nak. Abi yang menerima semuanya, mereka bukan menyalahkan kamu, tapi abimu ...."

"Beban abi semakin bertambah. Abimu sama sekali belum melihat Umi Syera, ia juga harus menerima pembicaraan buruk orang luar, abimu juga harus menerima amarah Eyang Kakung-mu."

"Apa Abi marah kenapa Hizam?" tanya Hizam lirih.

Aminah menggeleng. "Abi tidak akan marah, selagi kamu mau mencoba menerima Umi Syera ...."

-Bersambung

Umi untuk PutrakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang