20. UUP

74.7K 5.9K 130
                                    

Jauh dari hari itu. Mungkin, suasana kehidupan dramatis yang terjadi bak  fiksi usai sudah. Wanita yang menjadi korban terbesar dalam kisah hidupnya sendiri perlahan telah menyisihkan segenap luka hati serta batinnya. Meskipun sering kali ia akan merasa sedih ketika sendirian, tetapi ada sang suami yang selalu punya banyak cara agar dirinya tak sendirian, seolah tahu kesedihan istrinya terletak pada saat dirinya sendiri. Seperti meminta tolong Sasa atau uminya menemani sang istri.

Seorang anak laki-laki yang telah libur dari masa kenaikan kelasnya,  kini telah terhitung hari ke-3 memasuki sekolah sebagai kakak kelas tertinggi. Pagi ini juga, seorang wanita yang berperan sebagai umi sambungnya pertama kali menjalani kesehariannya seperti biasa setelah masa pemulihannya selesai. 

Wanita shalilah bergamis rayon bercorak bunga-bunga warna mustard serta khimar abu-abu lengkap dengan kaos kaki yang tak pernah tanggal di kakinya itu menapakkan alas kakinya dengan cara berjalan cepat mendekati kamarnya usai dari lantai bawah. Tak lupa, senyum manisnya merekah menghiasi wajah cantiknya.

"Assalamu'alaikum," salamnya setelah membuka pintu kamarnya dengan air muka bahagia. 

Belum sempat menjawab. Pria berkaos biru dongker dilengkapi sarung kotak-kotak di dalam ruangan itu membiarkan mulutnya yang akan menjawab salam sang istri terbuka.  Dilihatnya wanita yang menyandang kekasih halalnya yang telah duduk di hadapannya sembari menjawab salam dengan gumaman.

"Mas tau tidak--"

"Tidak," potong pria itu. Membawa kedua tangan istrinya ke genggamannya dengan sayang.

"Ih ... aku belom ngomong, Mas," sahut Syera cepat sembari memberi bumbu raut muka yang lucu upaya merespon ucapan menyebalkan sang suami.

"Ya kamu aneh-aneh aja, hmm .... Gimana aku mau tau kalau istriku ini belum mengatakan apapun," bela Farhan tak mau kalah dan menjawil indra penghirup mungil sang istri dengan gemas.

Farhan dibuat semakin terbuai. Wanita di hadapannya sama sekali tak memperlihatkan rasa sedihnya kala kejadian dimana sang istri menangis puas di dekapannya. Bahkan, istrinya seakan melupakan perlakuan putranya yang bisa dikatakan buruk.

Syera menyengir, memperlihatkan hazel coklatnya yang menambah prefeksinya. Sorotnya yang pernah memancar kesedihan kini terlihat bak mentari yang menyinari bumi. Tanpa malu, wanita itu menubruk dada bidang suaminya dan melingkarkan kedua tangannya ke pinggang lebar sang suami. "Hari pertama Syera pulih total, dan setelah berdiam diri di kamar, disambut hangat oleh perlakuan yang bikin Syera nggak bisa nahan senyum," adunya dan direspon oleh Farhan dengan mengernyitkan dahi. Namun, ia tetap diam. Membiarkan sang istri terus berujar dengan mengusak pucuk khimar yang tercium aroma lavender.

"Hizam nggak kayak dulu. Emmm ... gimana, ya," kata Syera bingung menjabarkan ucapannya, persis interaksi seorang anak perempuan dengan ayahnya, "kalau dulu Hizam selalu nolak perlakuan Syera, sekarang enggak. Hizam lebih banyak diam dan nerima setiap perlakuan Syera," lanjutnya dengan nada sumringah.

"Tadi pagi pas bantuin umi masak, Syera bikin bekal buat Hizam. Hizam nggak nolak tau, Mas. Mas tadi juga lihat kan pas di meja makan, Hizam nggak nolak perlakuanku."

"Ah ... senangnya!" imbuhnya, membuat Farhan tertawa kecil atas kegirangan sang istri.

Padahal, bisa dibilang itu suatu hal yang sepele. Sangat sepele, tapi mampu melahirkan senyum yang begitu indah di bibir istrinya. Begitu besarkah Syera berharap mendapat tempat di hati putranya? Bahkan, senyum itu baru pertama kali dilihatnya. Senyum yang sungguh lebar dan mempesona.

Syera melepaskan pelukannya, otomatis tangan Farhan juga ikut berhenti mengusak khimarnya. Wajahnya berubah, maniknya melirik  jam dinding yang di sisi kirinya. Farhan pun kembali tak paham akan wajah istrinya yang tadi sumringah kini berubah menjadi tatapan mengintimidasi. "Mas nggak ke pesantren?!" tanyanya, bergerak berkacak pinggang persis ibu-ibu kompleks yang akan memarahi anaknya.

Umi untuk PutrakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang