Mengenalnya

649 46 1
                                    

*Sudut Pandang Wilson*

Kami makan dengan sangat puas. Santapannya sangat lezat, meskipun aku tidak tahu siapa yang masak. Setelah selesai makan, kami hendak menuju kamar kami untuk istirahat. Aku masih gak nyangka, kenapa bisa itu dinding ruangan tidur hancur ? Jadinya kita tidur di laboratorium dengan kasur palembang. Saat aku mendengar informasi jika dinding itu hancur, aku langsung panik. Bagaimana tidak, adikku dan... Ehmm... Si W yang status untukku masih belum jelas.

(Kilas Balik Siang Tadi)

Aku mendengarkan musik lewat ponselku, bukan untuk mengusir rasa bosan tapi untuk menutupi suara bising akibat aktivitas bawahan Pak Sugeng yang sedang menghancurkan batu meteorit itu. Suara besi yang beradu dengan meteorit itu bisa membuatku jadi gila !

Aku menyibukkan diriku dengan mengamati pemandangan di sekitar kejadian ini. Tiba-tiba aku merasa bahuku di tepuk oleh seseorang. Oh, itu Pak Sugeng. Aku melepaskan kedua earphone-ku dari daun telingaku.

"Iya, Pak ? Maaf tadi saya lagi dengerin musik. Hehehe...". Ujarku dengan tawa garingku.
"Pantes. Dari tadi saya panggil kamu kok gak nengok-nengok. Saya takutnya kamu kecantol sama penghuni sini aja.". Kok bercandanya serem sih Pak Sugeng. Dia malah tertawa kecil.

"Hehehe... Ada apa ya, Pak ?". Aku mengikuti Pak Sugeng yang berjalan menuju meteorit itu namun tidak terlalu dekat.

"Apakah tidak ada jalan lain selain memecah batu ini, Wilson ?".

"Iya, Pak. Soalnya kalau kita hanya ambil serpihan luarnya saja, itu sudah tercampur dengan gesekan akibat pembakaran di atmosfer. Jadi kurang bisa dipercaya, Pak.".

"Hmm... Bagaimana ya ?".

"Memangnya kenapa, Pak ?".

"Seperti yang kamu lihat, Son. Orang-orangku telah berkutat dengan meteorit ini lebih dari 4 jam. Tapi tidak satu bagian meteorit ini pun yang terpotong atau bahkam hancur. Bahkan...". Pak Sugeng mengambil salah satu Pick-Axe yang ujungnya sudah patah dan bengkok.

"... Hampir seluruh alat kami rusak dibuatnya.". Dia meletakkan kembali benda tersebut. Benar juga, aku belum pernah melihat batu luar angkasa yang sekokoh ini.

"Begini saja. Besok saya suruh anak buah saya untuk bawa bor penghancur atau mungkin bahan peledak. Bagaimana ?".

"Kalau saya lebih baik bor saja, Pak. Jangan gunakan peledak. Apalagi ini lereng bukit yang rawan longsor. Terlebih lagi ini masih daerah yang asri. Saya takutnya malah merusak alam ini, Pak.". Dia mengangguk.

"Baiklah. Saya akan lakukan itu. Untuk saat ini, apakah bisa kita hentikan penghancuran meteorit ini ? Kasihan anak buah saya kelelahan.".

"Boleh kok, Pak. Silahkan saja.". Dia memberitahukan bawahannya untuk menghentikan pekerjaan menghancurkan meteorit ini.

Aku mendekat ke arah Pak Sugeng yang sedang berdiri. Dia sedang mengetikkan pesan di ponselnya.

"Disini memangnya ada sinyal ya, Pak ?". Ujarku. Dia tersenyum.

"Ada. Kalau kamu pakai kartu XXXX. Aku sudah memberitahukan bawahanku untuk membawa alat itu ke sini besok.". Aku mengangguk.
"Test... Pengawas kepada Kepala.". Suara dari HT milik Pak Sugeng berbunyi. Dengan sigap, Pak Sugeng menerima panggilan HT tersebut. Dia meminta izin untuk mengangkat panggilan itu.

Aku tetap tidak bisa mendengar percakapan itu. Aku tiba-tiba melihat ekspresinya berubah seperti kaget. Dia menyudahi panggilannya dan mendekati ke arahku.

The Extra-Terrestrial (E.T.) [DONE]Where stories live. Discover now