Chapter XVIII

342 17 2
                                    

"Ya lo harus pulang sama dia lah, Hon. Kan dia yang bawa lo ke sini. Terlepas dari apa yang udah terjadi dengan hubungan kita sekarang."

Kalimat Nico yang diucapkannya tadi pagi selepas sarapan itu kembali membuat debar di jantung Fanya meningkat. Dia merasa Nico bukan orang yang mengakhiri hubungan dengannya dua tahun lalu. Nico yang sekarang ... sama sekali berbeda. Nico yang selalu kritis dan mencurigai apapun telah berubah.

Meskipun sebenarnya, Fanya mengerti dengan sikap kekanakannya itu. Sebab, selama ini Nico selalu menjadi sosok kakak, ayah sekaligus Ibu bagi Ameera. Jadi, bagi Fanya, itu hanya sebuah imbas psikologis yang bisa dimaklumi.

Jika biasanya Fanya melihat senyum diplomatis yang mengandung ketidaksukaan–setiap kali meminta izin untuk keluar bersama seorang pria, berbeda dengan tadi pagi. Senyuman Nico terlihat lebih tulus.

Fanya membuka jendela mobil dan mengisi paru-parunya dengan oksigen. Sejak kapan dia harus minta izin Nico untuk pulang bersama Abimana ke Sofia? Sejak kapan hal-hal seperti ini menjadi sesuatu di bawah kontrol Nico? Dan sejak kapan dia memikirkan orang lain saat bersama Abimana?

Pria yang sedang duduk menyetir di sebelahnya ini, biasanya memiliki banyak hal yang bisa dibagi. Namun, kebisuan yang kaku justru menyelimuti mereka sejak Abimana menjemputnya di hotel setengah jam lalu.

Lalu, di sela alunan lagu If You Are Not The One milik Daniel Bedingfield–yang sejak pertama kenal sudah sering Abimana putar di mobilnya, pria itu mengambil sebuah pocket camera Canon keluaran terbaru dan memberikannya kepada Fanya. "Suka fotografi?"

"Gue suka ngambil gambar, tapi nggak tahu tekniknya," jawab Fanya sambil tersenyum lebar saat menerima kamera Abimana. Dia memiliki sebuah kamera Fujifilm XA-3 yang dibeli dadakan saat berlibur ke Swedia beberapa tahun lalu. Namun, dia tidak pernah menggunakan kamera itu dengan 'benar' menurutnya. Untungnya, dia mengerti sedikit banyak tentang fotografi saat pacaran dengan Nico.

Akhirnya sebuah kata 'Fotografi' berhasil membebaskan keduanya dari momen awkward yang tercipta. Fanya membuka satu per satu gambar yang diambil Abimana. Dia tersenyum. Unik, begitu pendapatnya tentang pria itu. Fail dalam kamera itu berisi banyak gambar pemandangan, manusia, hewan, tumbuhan, atau apa saja. Namun, kamera itu hanya menyimpan satu fail gambar untuk setiap objek.

"Lo udah hapusin hasil bidikan lo?" tanya Fanya heran. Abimana memang sempat membicarakan Richard Kalvar dengan sense of mystery-nya beberapa waktu lalu. Namun, Fanya tidak pernah menyangka jika Abimana bukan hanya sekadar penikmat karya.

Abimana tersenyum. "Aku selalu terkesan dengan apa-apa yang tertangkap kamera untuk kali pertama, Fan. Suka aja gitu. Kesannya lebih natural dan apa adanya aja," jawab Abimana seraya mengangkat bahu.

"Tentu. Gue inget banget gimana lo waktu itu ceritain tentang Richard Kalvar dengan semua idealismenya soal fotografi. Dia punya sense of mystery yang nggak dimiliki semua fotografer. Lo sadar nggak kalau semua hasil jepretan lo ini udah berkarakter? Wah, untuk ukuran jepretan pertama, ini udah gila, sih," puji Fanya tulus.

Abimana mengucapkan terima kasih, dan balas tersenyum. Membicarakan Richard Kalvar–yang merupakan salah satu fotografer kontemporer idolanya, membuat obrolan mereka berjalan sangat natural. Abimana dengan antusias membicarakan tentang karya-karya fenomenal fotografer idolanya itu.

Fanya menggeser gambar ke samping, merasa takjub dengan hasil jepretan Abimana. Semua tampak sederhana, tapi indah. Ada potret Pegunungan Vitosha yang tertutup salju menjulang dengan gagahnya, muda mudi yang tengah berangkulan di tebing batu–yang dia yakini sebagai Belogradchik Rocks, juga foto seorang gadis tengah menyesap kopi di The Art Foundation bersama ....

"Bim?" tanya Fanya heran sembari menyodorkan kamera. Dia meremas kamera dalam genggaman begitu melihat gambar itu, seolah takut gemetar di jemarinya akan tertangkap mata Abimana.

Abimana tersenyum sebelum melihat gambar apa yang membuat kening Fanya sempurna mengerut itu. "Why?"

"Lo u-dah ta-hu?" Terbata, Fanya mencoba mencari sesuatu di mata Abimana. Bagaimana fotonya sedang bersama Nico bisa ada di kamera Abimana? Jika dia tidak salah ingat, itu adalah kebersamaannya dengan Nico beberapa hari lalu. Saat Nico tiba-tiba muncul dan mengganggu momen 'ingin sendiri' Fanya.

"Tahu apa, Fan? Hubungan kalian?" tanya Abimana tanpa mengubah intonasi suara.

"Lo tahu dan lo masih berusaha nemenin gue?"

Sementara Fanya menunggu jawaban dari pria itu, Abimana meletakkan kamera ke pocket dan kembali fokus dengan kemudi. Di sela alunan lagu As Long As You Love Me yang dibawakan dengan sangat apik oleh Backstreet Boys, sekilas Fanya melihat tatapan Abimana yang tampak berbeda.

"Karena... sejak Nico tiba di Bulgaria, kamu kelihatan gusar banget, Fan. Dan entah gimana pengin banget rasanya bisa nemenin kamu. Meskipun nggak ada di antara kalian yang cerita soal ini ke aku–ini juga karena aku sama Nico belum lama kenal, ya, tapi beda aja rasanya lihat kalian, Fan." Abimana sama sekali tidak tampak terganggu dengan topik ini. Tatapannya masih fokus dengan jalanan di depan mereka. Dia hanya sesekali menatap Fanya.

"Nggak papa kita bahas ini?" Fanya sangat berhati-hati bicara dengan Abimana sejak tadi. Dia tidak ingin membuat semuanya tambah kacau. Namun, saat melihat waut wajah Abimana, Fanya tahu, ada hal yang memang harus mereka bicarakan.

"Jadi dari tadi kamu banyak diem karena ini?" Bukannya menjawab, Abimana justru melontarkan pertanyaan yang tepat sasaran.

"Sorry, Bim."

"Nothing to sorry, Fan. Aku yakin kamu udah lama denger gossip kalau aku coba deketin kamu. Well, itu bener. Aku tertarik sama kamu. Setelah sekian lama, aku akhirnya bisa ketemu temen ngobrol yang satu frekuensi. Tapi kalau kamu mikirnya aku tersinggung sama apa yang terjadi, kamu salah besar. I'm completely okay, Fan. Buat aku, Offense is taken, not given. Tergantung gimana kita ngelola perasaan aja," kata Abimana panjang lebar. Dan kalimat itu sempurna membuat Fanya kehabisan kata. Bagaimana pria sebaik ini belum memiliki pacar?

"Dan?"

"Dan dari awal, aku selalu mikir gini: kalau kamu nggak bisa bales perasaan aku, ya udah. Kan, kita bisa tetep temenan. Toh aku masih bisa ngobrol sama kamu, masih bisa nongkrong sama kalian. Aku menghargai apapun keputusan kamu, Fan."

Lagi, salah satu lagu legendaris Backstreet Boys mengalun di sela obrolan mereka. Sepertinya, Abimana benar. Mereka satu frekuensi. Buktinya, lagu-lagu yang menurut sebagian pria dalam hidupnya–termasuk Nico, sangat norak, tidak bagi Abimana.

Abimana sangat cocok menjadi temannya. Ya, seorang teman, bukan kekasih.

Dan lagu-lagu dari boy band legendaris itu berhasil membuat mereka kembali larut dalam sebuah obrolan seru. Fanya dengan mulus memutar haluan topik. Sepanjang sisa perjalanan menuju Sofia, sejarah panjang grup musik itu menjadi topik yang meleburkan kekakuan.

Fanya dan Abimana bahkan sempat menyanyikan single pertama Backstreet Boys yang berjudul We've Got It Goin' On sebelum kata maaf itu sekali lagi terucap dari bibir Fanya.

Mendengar itu, Abimana tersenyum. "Never mind, Fan. Doain aja aku bisa ketemu orang yang bisa nerima keanehan aku kayak Nico nerima kamu."

Demi mendengar kalimat itu, hati Fanya menghangat. Ya Tuhan, pria sebaik ini ....

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 16, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Gypsophila (Ongoing)Where stories live. Discover now