*Vano Pov*
"Saya terima pinangan dari Saudara Ilman untuk putri saya yang bernama Wafa, dengan cincin emas 2 gram. Selanjutnya kami hendak membicarakan masalah tanggal pernikahan antara Wafa dan Ilman."
Wajah Wafa terlihat berseri mendengar Bapak menerima dengan baik, pinangan dari Ilman dan keluarganya. Baru kali ini aku tidak berkedip menatap gadis ini, seolah ini adalah pertemuan terakhir kami.
"Terima kasih Mas Vano, sudah bersedia menjadi wakil Bunda untuk hadir di acara lamaran Wafa. Sampaikan salam hormat saya untuk Bunda. Insya Allah dua pekan lagi Wafa kembali ke Jakarta. Wafa akan membawa Ilman berobat kesana."
Ketika rombongan Ilman dan keluarganya beranjak pergi, aku hanya bisa berdiri di belakang bahu gadis ini. Wafa kini telah dikhitbah dan separuh pintu hatinya tertutup untuk kehadiran pria lain.
Masih kuingat kemarin sore kami berpisah di depan jembatan dua puluh empat. Lelaki itu, Ilman dijemput oleh keluarganya. Sementara Wafa ikut denganku bersama Pak Wagyo, yang setia menemani sejak kami masih di bandara.
"Fa, jadi itu yang namanya Ilman? Kamu benar-benar akan menikah sama dia?"
Aku berharap Wafa akan menolak lamaran lelaki itu.
"Insya Allah Mas. Sejak sebulan lalu, Wafa sudah sholat Istikharah. Alhamdulillah setelah bertemu Ilman hari ini, hati lebih tenang dan mantap. Manusia bisa saja membuat kecewa, tapi Allah tidak akan pernah mengecewakan hamba-Nya."
Ku terdiam. Kata-kata Wafa kembali membuat luka di hatiku bertambah dalam. Andaikan luka ini bisa aku sembuhkan dengan obat apa pun. Sayangnya aku belum menemukan obat penawarnya.
Keringat membasahi wajah hingga ke punggungku. Tanpa sadar aku berbaring ke kanan dan ke kiri dengan gelisah. Kedua mataku berat untuk membuka. Semua do'a yang kuhafal sejak kecil, melintas di jaras sel saraf kepalaku. Berharap dengan berdo'a, aku bisa segera terjaga.
Ya Rabb... Semoga ini semua tidak nyata. Tolong aku, beri aku kesempatan untuk membuat Bunda bahagia. Jika memang memilih Wafa bisa mewujudkan kebahagiaan Bunda, beri aku petunjukMu.
Sekuat tenaga aku berusaha terjaga dari tidur malam yang panjang. Napasku seperti terengah-engah dan akhirnya aku terbangun. Meskipun dengan badan penuh peluh. Padahal udara malam yang menyelinap di antara kisi jendela kayu yang tidak rapat, terasa begitu dingin.
Kuraih ponsel di samping kasur kapuk yang masih terasa bersahabat dengan punggungku. Masih pukul satu dini hari. Samar aku mendengar suara seseorang melantunkan bacaan Qur'an. Aku perlu memastikan, apakah bunga tidurku tadi nyata atau hanya mimpi belaka. Aku mencubit pergelangan tanganku. Sakiit...
Berulang kali aku mengucap syukur. Ternyata semua itu hanya bagian dari mimpi burukku. Rupanya pertemuan Wafa dan Ilman kemarin, begitu mempengaruhi kesehatan mentalku. Sampai-sampai terbawa ke alam bawah sadar dan aku bermimpi kedua orangtua Wafa dan Wafa telah menerima lamaran Ilman.
Perlahan aku membuka pintu kamar milik Faiz. Malam ini kamar Faiz menjadi kamarku. Faiz tidur dengan Bapak di atas tikar di dekat dapur. Sementara Ibu tidur di kamar Wafa. Kulihat siluet seseorang sedang duduk bersimpuh di dekat pintu ruang tamu.
Suaranya begitu pelan, seolah tidak ingin menganggu tidur penghuni rumah. Dia tampak bercahaya meskipun di tengah kegelapan. Perempuan itu kemudian bersujud beberapa saat, lalu kembali duduk dan berdo'a.
"Ya Rabb...
Sayangilah mereka semua orang-orang yang aku sayangi. Bapak, Ibu, dek Faiz, Bunda Listya, Mas Vano, Mas Rendy, Mbak Layla, Wina, Desi, Fitri, Rima, Ilman dan Rasyid.
KAMU SEDANG MEMBACA
VANO dan WAFA
RomanceEvano, pria muda yang memiliki kapasitas otak cemerlang. Namun sayang, kepintarannya seringkali tidak sejalan dengan pribadinya. Pulang kembali ke tanah air setelah menempuh pendidikan S3, ia dikejutkan dengan perempuan yang dikenalkan Bunda kepadan...