Taksi itu berhenti di depan gerbang rumah milik Vano. Bergetar jemari Wafa membuka pintu taksi dan dia terdiam beberapa saat di depan gerbang.
Gadis itu perlahan membuka pintu gerbang, perlahan. Dia tidak mau Vano jadi semakin tinggi hati, mengetahui kalau akhirnya dia 'terpaksa' pulang kembali ke rumah. Andai saja Ilman tidak mengusirnya pergi, dia berencana mencari penginapan di dekat rumah sakit. Dia ingin mendampingi Ilman kemoterapi esok pagi.
Sampai di depan teras, Wafa terduduk. Sudah habis energinya untuk menangis sepanjang perjalanan dari rumah sakit, menuju ke rumah. Kini seolah dia tidak sanggup menangis lagi. Sebelum masuk, gadis itu mengirimkan pesan ke Ilman.
"Assalaamu'alaikum. Ilman, aku sudah sampai rumah. Terima kasih."
Tidak Wafa sangka, dalam hitungan menit, tanda contreng dua berubah warna menjadi biru. Pertanda Ilman membaca pesan yang dia kirim.
"Wa'alaikumsalam. Syukurlah."
Lelaki itu menjawab pendek.
"Kamu besok kemoterapi jam berapa? Semoga lancar dan kembali sehat. Tetap semangat ya. Jangan pernah kubur impian kamu untuk kembali kuliah di Madinah. Kamu janji kan, mau ajak aku dan teman-teman umroh kesana."
Send.
Kesedihan Wafa berangsur berganti dengan senyuman. Dia selalu sebahagia ini bila saling bertukar pesan dengan Ilman. Dulu di saat handphone adalah barang mewah, mereka berdua berkirim surat melalui kantor pos. Meski baru sampai dalam beberapa minggu dan belum lagi kadang surat mereka juga bisa nyasar dan kembali lagi ke Indonesia. Tapi mereka tetap saling menanti untuk berbagi cerita masing-masing.
Senyum Wafa perlahan memudar menatap layar ponsel. Kali ini tidak ada balasan pesan dari Ilman. Dari pesan sebelumnya yang diberi tanda contreng biru, kini hanya ada satu tanda berwarna hitam. Wafa tahu, Ilman baru saja memblokir nomer ponselnya.
Ilman, aku menyayangi kamu karena Allah Swt. Biarlah kamu mungkin tidak mau bertemu lagi denganku. Tetapi, melihatmu kembali sehat dan bisa meraih mimpi, membuatku bahagia. Gadis itu menarik napas panjang. Dadanya nyeri karena rasa kecewa karena Ilman tiba-tiba memutus kontak dengannya. Kamu harus kuat Fa, tidak boleh menangis.
Wafa berjinjit masuk melalui pintu samping. Dia sengaja mandi dan berganti pakaian di kamar untuk tamu. Sebelum masuk ke kamar mandi, dia telah mengambil pakaian ganti dan gunting. Gadis itu menatap cermin di kamar mandi. Kemarin di salon, dia telah mengubah penampilannya seperti yang Vano inginkan. Kini surai hitamnya telah berubah lurus dan berkilau.
Wangi shampoo mewah dari salon langganan Vano, masih tercium sampai sekarang. Wafa memejamkan mata sebelum menggunting rambutnya perlahan. Helai demi helai surai hitamnya jatuh ke lantai kamar mandi. Biarlah malam ini mungkin sedikit berantakan. Besok dia bisa merapikannya kembali ke salon.
Selamat datang Wafa yang baru....
Dia mengumpulkan guntingan rambutnya ke dalam plastik dan kemudian membersihkan kembali kepalanya di bawah shower yang hangat. Selesai mandi, Wafa mengeringkan rambut dan mulai menunaikan sholat Tahajud. Dia tetap mengirimkan do'a untuk semua orang yang disayanginya. Keraguannya muncul saat akan menyebut nama Vano dan Ilman dalam do'anya. Semoga Allah senantiasa menjaga kalian berdua. Aamiiin.
Sambil menunggu adzan Shubuh, dia mengaji sampai jatuh tertidur di ruang sholat. Sejak pertama kali Bunda memintanya untuk menjaga rumah ini, Wafa sudah menaruh sajadah, sarung dan sajadah di ruangan khusus untuk sholat. Tanpa sadar, Wafa tidur beberapa jam sampai dia terbangun oleh suara adzan di Masjid yang berada beberapa blok dari rumah. Dia melihat pintu kamar suaminya, belum ada tanda-tanda lelaki itu akan terjaga.
YOU ARE READING
VANO dan WAFA
RomanceEvano, pria muda yang memiliki kapasitas otak cemerlang. Namun sayang, kepintarannya seringkali tidak sejalan dengan pribadinya. Pulang kembali ke tanah air setelah menempuh pendidikan S3, ia dikejutkan dengan perempuan yang dikenalkan Bunda kepadan...