*Wafa Pov*Aku memandang sepetak sawah milik Bapak. Hamparan padi yang mulai menguning, seperti mengurai kesedihan di hatiku. Pemandangan indah yang sejak kecil kurindukan. Berlari riang di pematang sawah bersama Faiz adikku, mengusir kawanan burung yang berusaha mencuri padi. Sawah ini adalah satu-satunya harta peninggalan si Mbah untuk Bapak dan Pakde Ahmad, kakak Bapak.
Sudah puas aku berhari-hari menangis hingga sekarang aku seolah tidak mampu lagi menitikkan air mata. Hatiku sudah membeku dan aku seperti menutup diri dengan lingkungan yang mengingatkanku pada Mas Vano.
Satu yang membuatku merasa bersalah. Bundanya Mas Vano berulang kali menelepon, memintaku pulang untuk menunggui Mas Vano yang masih terbaring lemah di rumah sakit. Bahkan Bunda memberiku waktu satu hari lagi. Kalau aku tidak juga kembali ke Jakarta, Bunda yang akan menjemputku ke kampung.
Aku tidak menyangka, bisa sejahat dan setega ini pergi meninggalkan Mas Vano. Sejak tiga malam lalu hujan deras turun dan Bapak menjemputku di terminal bus. Sepanjang perjalanan di sepeda motor, Bapak sudah memarahiku habis-habisan. Pastilah Bapak sudah tahu dari Faiz mengenai kecelakaan yang dialami suamiku. Tapi aku malah memilih pulang ke kampung.
Hingga keesokan paginya, Bapak tidak mau berbicara lagi padaku. Hingga hari ini. Bapak menyuruhku segera pulang, tapi aku belum mau. Aku belum sanggup bertemu Mas Vano dengan keadaan hati yang hancur seperti ini.
Faiz yang seolah mewakili aku, setia menunggu Mas Vano di rumah sakit. Bergantian dengan Bik Laras, karena Bunda sudah tidak memungkinkan menginap untuk menemani suamiku.
"Mbak, kapan pulang ke sini? Sudah tiga hari. Aku tahu mbak sedih dan sakit hati, tapi mbak tahu kan kewajiban Mbak sebagai istri? Mendampingi suaminya yang sedang sakit. Mas Vano sudah dua hari ini kritis, setelah operasi besar di kepala untuk mengevakuasi perdarahan karena cedera berat.
Apa Mbak Wafa nggak punya hati, meninggalkan Mas Vano sendirian disini? Kalau sampai sewaktu-waktu Mas Vano nggak ada, jangan sampai Mbak menyesal. Faiz tunggu mbak pulang malam ini juga. Masih ada beberapa tindakan operasi lagi yang harus segera diambil dan Dokter hendak menjelaskan ke Mbak Wafa sebagai istrinya."
Suara langkah kaki mendekat. Aku sepertinya tahu siapa yang datang. Itu Ibu, bersama Fitri sahabatku. Fitri tampak lebih berisi dengan usia kandungannya yang kian bertambah. Dia makin cantik dan ini adalah kehamilan anak keduanya.
Kadang bayangan ingin menjadi seorang ibu, menyelinap di hatiku. Aku mengelus perutku yang masih rata. Melihat Fitri yang dengan ikhlas menjalani kehamilannya, membuatku iri. Iri karena dia dan suaminya tampak bahagia dan harmonis. Iri karena mereka tidak mengalami ujian pernikahan seperti aku.
Suami Fitri yang seorang guru agama adalah guruku sewaktu SMA. Pak. Haris, tampak begitu menyayangi Fitri dan putri pertama mereka yang baru genap berusia enam bulan. Pasti tidak pernah terlintas di pikiran Pak Haris, untuk berselingkuh. Fitri termasuk cantik, putih bersih untuk ukuran gadis desa. Dia juga pintar.
Tidak seperti aku. Aku yang tidak cantik, tidak ada daya tarik sebagai perempuan dan tidak pandai berdandan. Badanku tidak berlekuk indah seperti Mariska. Sehingga pantas saja Mas Vano memilih berselingkuh dengannya. Aaah... masih sakit hatiku bila mengingat itu semua.
"Assalaamu'alaikum Fa."
"Wa'alaikumsalam." Aku menjawab pendek, tak bersemangat.
Fitri duduk di sebelahku, di bawah atap jerami saung Bapak di tepi sawah. Ibu juga sama seperti Bapak. Hanya memandangku kecewa dalam diam. Ibu datang tanpa menegurku dan menaruh bekal makan siang untuk Bapak.
ESTÁS LEYENDO
VANO dan WAFA
RomanceEvano, pria muda yang memiliki kapasitas otak cemerlang. Namun sayang, kepintarannya seringkali tidak sejalan dengan pribadinya. Pulang kembali ke tanah air setelah menempuh pendidikan S3, ia dikejutkan dengan perempuan yang dikenalkan Bunda kepadan...