Satu

3.3K 233 201
                                    

"Bakwan, bolong-bolong. Ikan, bolong-bolong. Nenek, bolong-bolong. Kakek, bolong-bolong. Mama bolong, papa bolong, kakek bolong, nenek bolong, semua bolong. Si Pilsa memang cantik, si Pilsa memang manis...," Filza menyanyikan lagu anak-anak sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, menikmati setiap lirik. Sesekali ia merubah-rubah lirik. Ia tadi mendengar lagu ini saat tetangga memutar musik dan suaranya sampai ke rumah. Jadi, Filza menirukan sebisanya. Lagunya enak. Filza suka.

"Bolo-bolo, Za, bukan bolong-bolong. Seneng banget ngerubah lirik lagu," cibir Kanaya yang baru saja datang dengan membawa segelas susu coklat untuk putri pertamanya. Walaupun di dapur, Kanaya bisa mendengar jelas nyanyian Filza. Suara putrinya itu memang merdu. Merusak dunia nyata maupun ghaib. Cemprengnya Subhanallah.

"Baju mama bolong," celetuk Filza setelah mengambil alih gelas yang diulurkan Kanaya. Gadis kecil itu meneguknya.

"Hah? Mana Za yang bolong?" Kanaya panik sendiri. Ia memutar badan sambil melihat-lihat bagian mana yang bolong.

Filza yang melihat itu langsung tertawa. "Kalau nggak bolong ya nggak bisa dipakai, Ma. Mama itu gimana, sih? Heran akutuh," ucap Filza lalu kembali meneguk susu coklatnya.

"Ck, kamu itu." Kanaya mengambil gelas Filza yang sudah tandas, berniat membawanya ke dapur. "Mama mau ajak Rafka kesini dulu, Za. Kamu yang anteng."

"Iya, Ma." Filza menyantap camilan berupa makaroni pedas manis sambil menonton kartun kesukaannya. Upin-ipin, si botak yang tak pernah gundul.

Beberapa saat kemudian, Kanaya datang dengan menggendong Rafka yang sudah bangun tidur. Keduanya duduk di samping Filza yang masih fokus menonton televisi. Bahkan camilan yang tadinya setoples, kini tinggal setengahnya saja.

"Ma?" panggil Filza tanpa menoleh kearah Kanaya. Gadis kecil itu sibuk menyantap makanannya.

"Kenapa?"
Kanaya mengelus pipi gembul Rafka. Putra kecilnya itu mirip sekali dengan Ridwan, suaminya. Tampan.

"Kenapa Upin rambutnya cuma ada satu?"

"Nggak tau Za, mama bukan saudaranya duo botak. Coba kamu survei sendiri di kampung durian runtuh. Jangan lupa bawa surat pengantar buat izin ke pak kades."

"Yah, mama. Masa gak tau sih, padahal Pilsa tuh pengin tau," balas Filza dengan mencebikkan bibir sebal. Ia memang tidak terlalu paham dengan kata-kata yang diucapkan mamanya, namun ia bisa menangkap ketidaktahuan disana.

"Kenapa? Kamu kasihan sama Upin karena rambutnya cuma satu? Yaudah, sedekahin aja rambut kamu, Za, biar mereka gak botak lagi," balasnya dengan asal.

"Ih, mama. Yang ada Pilsa yang botak." Filza terdiam sejenak. "Rambutnya mamas Pino banyak, ma, suruh transper ke Upin aja."

"Yaudah, minta aja sama mamasmu itu."

"Emang rambutnya mamas pino bisa ditransper ke Upin, ma?" Filza memasang wajah polosnya. Ia baru tau jika rambut pun bisa ditransfer. Jika tahu begitu, sudah dari dulu ia akan memberikan rambut Vino ke Upin dan Ipin. Supaya kedua botak itu gaul, dan bisa ke barber shop.

*Iya, lah. Kalo botak ngapain ke tukang cukur? Mau nipisin kulit kepala biar glowing?😂

"Bisa. Mau transfer via apa? JNE, JNT, atau kantor pos? Ongkir ditanggung pemenang, Za."

"Apa, ma? Jungkir? Siapa yang njungkir?"

Pangeran untuk FilzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang