Tujuh Belas

705 115 84
                                    

Double update!!!

"Filza ayo turun! Sarapan!" teriak Kanaya. Ibu dua anak itu kini sedang sibuk menyiapkan sarapan berupa nasi goreng untuk Ridwan dan Filza, juga bubur bayi untuk Rafka.

Tak berselang lama, terdengar suara derap kaki yang bersumber dari lantai atas. Kanaya menoleh, melihat Ridwan dan Filza menuju ke arahnya. Ridwan dengan seragam kantor sedangkan Filza berseragam sekolah sambil membawa tas.

Menjadi ibu rumah tangga memang bukanlah hal yang mudah. Kadang ia harus tidur lebih malam karena membersihkan dapur terlebih dahulu. Kanaya memang risih melihat apapun yang berantakan, bisa pusing ia kalau saat bangun tidur dapurnya tak terawat.

Setelah subuh pun Kanaya juga harus langsung menyiapkan baju untuk Ridwan dan Filza, menyiapkan air hangat dan membuat sarapan. Belum lagi melakukan pekerjaan rumah dan mengurus Rafka yang kadang juga rewel. Memang melelahkan, namun ini kan sudah menjadi tugasnya sebagai seorang istri juga ibu rumah tangga.

Kanaya bersyukur karena walaupun pekerjaannya itu cukup banyak, namun ia selalu diberi kesehatan sehingga bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Apalagi suaminya itu sering membantu Kanaya tanpa ia minta.

Saat melihat Kanaya kelelahan, biasanya Ridwan diam-diam mencucikan baju-baju mereka, menyapu, memasak, dan menyelesaikan pekerjaan rumah lainnya. Istrinya itu perlu istirahat. Dan yang mengerjakan pekerjaan rumah tidak harus istri. Untuk itulah Kanaya sangat bersyukur memiliki suami sebaik Ridwan.

"Pagi Mama!" ucap Filza begitu sudah ada di depan Kanaya. Kanaya tersenyum kecil.

"Pagi, Za!" balas Kanaya. Ia beralih menatap Ridwan. "Pagi, Mas!"

"Pagi, Nay." Ridwan tersenyum lalu mendekat dan mengecup singkat dahi istrinya. Kanaya tersenyum malu.

"Ayo duduk dulu, kita sarapan," ajak Kanaya.

"Pa gendong! Kursinya ketinggian." Filza merentangkan kedua tangannya mengisyaratkan agar ia digendong oleh Ridwan.

"Bukan kursinya yang ketinggian, kamunya aja yang kependekan," balas Kanaya sambil melihat Ridwan yang menggendong Filza lalu mendudukkannya di kursi. Selepas itu, Ridwan ikut duduk di samping Filza.

"Padahal kan Pilsa pengen tinggi," ucapnya sambil cemberut. Ia ingin tinggi agar tak kesulitan jika mengambil barang di lemarinya yang juga tinggi. Filza capek kali harus jinjit-jinjit.

"Nanti juga tinggi. Kamu kan masih kecil, wajah aja kalau masih pendek," balas Ridwan.

"Trus gimana caranya biar Pilsa bisa tinggi kaya Papa?" tanya Filza. Ridwan mengerutkan keningnya, bingung harus menjawab apa. Padahal wajar saja jika tinggi Filza masih segini, namanya juga anak kecil. Tapi putrinya itu malah ngebet tinggi. Kalau masih TK saja ingin tingginya sama seperti Ridwan, lalu apa kabar Filza waktu SMA? Bisa-bisa Filza jadi Monas!

"Renang aja. Bisa bikin tinggi," jawab Ridwan seadanya. Ia tak berbohong. Kata orang-orang renang bisa menambah tinggi badan.

"Papa bohong. Masa renang bikin tinggi. Ubur-ubur tiap hari renang tapi nggak tinggi-tinggi, tuh!" gerutu Filza. Jawaban papanya itu terlalu aneh.

Ridwan mengembuskan napas kasar. Ia lupa jika putrinya itu sangat jenius. "Ya nggak gitu juga, Za."

Kanaya mulai mengambilkan nasi goreng yang sedikit banyak. "Ini buat Papa." Lalu beralih mengambil nasi goreng yang lebih sedikit untuk putrinya, "Dan ini buat Filza."

"Trus buat Rafka?" tanya Filza.

Kanaya mengangkat mangkuk hijau kecil yang berisi bubur bayi rasa beras merah. "Ini, Rafka makan bubur bayi, Za."

Pangeran untuk Filzaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن