PELARIAN

9 2 0
                                    

"Jatmiko, hidup ini sebenarnya seperti jalan lurus saja. Kemanapun engkau mengambil jalan akan berakhir pada ujung yang sama. Jadi kalau kamu saat ini hendak kembali ke Surabaya adalah pilihan. Tetapi kamu tidak akan pernah bisa menolak saat kamu temukan ujung jalanmu yang sesungguhnya," nasehat Mak saat aku menyampaikan keinginanku kembali ke Surabaya. Nasehat itu seakan lontaran pengalaman Mak sendiri yang menjeratnya menjadi simpulan-simpulan pelajaran yang diperuntukkan untukku.

Aku mengakui sepenuh hati saat Mak bercerita kisah masa mudanya adalah kisah yang dipenuhi liku-liku jalan yang menakutkan. Dan menakutkan itu adalah bagian dari pilihan Mak. Seandainya saja ketika Mak menolak ditugaskan di Blitar Selatan maka status Mak pastilah tetap sebagai pegawai negeri yang terhormat. Tapi pada kenyataan Mak saat itu seperti tak ada pilihan. Semuanya berlalu begitu saja, menyusuri jalan mengerikan bagi siapa saja yang tahu ceritanya. Sedikit lagi kuceritakan kisah Mak hingga status pegawai negerinya tercabut.

***

Enam bulan sudah Mak menunaikan tugasnya sebagai guru SD Bulak Banteng. Hari itu adalah bulan Januari tahun 1970. SD Bulak Banteng akan meluluskan anak untuk yang pertama kali. Dalam hitungan normal, semestinya lulusan pertama ini sudah dilaksanakan tahun 1967. Tetapi karena terlalu banyak kisah mengerikan negeri ini, tahun 1970 lulusan pertama baru dapat direalisasikan. Tahun 1966 SD Bulak Banteng sempat terhenti karena semua guru dianggap terlibat gerakan bawah tanah. Pasca huru hara, semua guru tiba-tiba menghilang. SD Bulak Banteng selama satu tahun terhenti total. Tahun berikutnya ada bantuan guru dari kota kabupaten, tetapi situasi yang labil membuat kegiatan pembelajaran tidak berjalan lancar. Banyak siswa yang dilarang masuk oleh orang tuanya. Guru-guru dianggap sebagai biang masalah kekacauan yang ada karena sering menyebarkan berita-berita bohong yang sifatnya menakuti siswa. Kekacauan saling fitnah yang menyebabkan kakek, paman, orang tua, tetangga, dan banyak yang lainnya menghilang. Kalaupun mereka ditemukan hanyalah mayat yang tak utuh lagi. Mayat yang dipenuhi luka tusuk. Mayat tanpa kepala. Mayat yang hilang matanya. Mayat yang dipendam seadanya sehingga diperebutkan oleh anjing-anjing liar.

Kalau saja Pak Lurah tidak turun tangan meyakinkan kembali masyarakat dari pintu ke pintu, SD Bulak Banteng hampir dipastikan ditutup. Mereka ke sekolah dipenuhi bayangan ketakutan. Tidak ada permainan menyenangkan bagi anak-anak ketika di sekolah. Jangan berharap melihat permainan petak umpet, gobak sodor, engkle, dampar, atau kejar-kejaran. Ketika berada di sekolah seluruh kegiatan dipusatkan di ruang kelas. Seusai sekolah orang tua mereka sudah menunggu di depan pintu, dengan agak tergesa-gesa diseret dan diajak pulang lewat kebun singkong belakang sekolah, melewati hutan dan jalan setapak yang mereka buat sendiri. Dengan alasan yang tak jelas kadang sekolah tiba-tiba libur satu minggu. Ketika meliburkan diri, sekolah terkonsentrasi kegiatan sekelompok orang yang selalu meneriakkan yel-yel. Sekelompok orang yang terlihat seakan menyusun kekuatan untuk perang.

Tahun 1970 memang kondisi sudah relatif tenang. Semenjak kedatangan pasukan tentara AD dari kota, desa Bulak Banteng dan sekitarnya sudah lumayan tenang. Sisa-sisa peristiwa mengerikan itu memang kadang masih terlihat. Kadang-kadang ada seorang yang sedang mengolah ladang ditangkap dan diangkut dengan truk tentara AD. Ada juga sesorang yang sedang mandi di kali tiba-tiba di dor sebelahnya. Orang ini pun segera angkat tangan dalam keadaan telanjang diseret, dan diangkut dengan truk. Bagi para guru untuk berangkat ke sekolah, atas permintaan Pak Lurah, masih dikawal oleh satu atau dua orang tentara. Dan itu termasuk Mak.

Menjelang hari kelulusan adalah peristiwa yang menggelikan bagi Mak. Mak yang diberi tanggung jawab untuk mengajar di kelas VI harus mengubah 15 nama siswa. Bagi Mak kalau sampai nama-nama itu dibiarkan apa adanya akan memalukan. Nama yang tak layak harus ditulis di ijazah dan dibawa seumur hidupnya. Bolehlah lima belas nama yang ada itu aku sebutkan di sini. Nama-nama itu antara lain: Cikrak 1, Cikrak 2, Jebrak, Ondol, Tompo, Garong, Bogel, Gemplo, Trondol, Gaplek, Koreng, Obrok, Temon, Pelo, dan Ledre. Konon kata setiap nama itu punya sejarah. Beberapa misal saja, mengapa anak diberi nama Cikrak? Cikrak adalah alat untuk mengeruk sampah yang terbuat dari anyaman bambu. Diberi nama Cikrak berarti ibu si anak ini mengalami kesulitan melahirkan. Menurut kepercayaan setempat, untuk memperlancar proses kelahiran ini digunakanlah cikrak yang ditaruh di bawah pantat sang ibu. Ketika anak ini lahir, si anak akan tergolek di atas cikrak. Untuk mengenang peristiwa itu maka anak diberi nama cikrak. Rupanya anak atau orang tua mereka banyak yang menyandang nama Cikrak. Dan ini telah menjadi nama favorite bagi mereka. Hal ini terbukti dengan nama Cikrak yang banyak di SD Bulak Banteng. Tapi belakangan nama cikrak sudah tidak berdiri sendiri. Nama Cikrak sudah disandingkan dengan nama indah seperti, Cikrak Setyawati, Cikrak Santoso, Cikrak Sari, Cikrak Budiono, Cikrak Ambarwati dan lain-lain. Tetapi juga ada nama karena berdasarkan bentuk bayinya, seperti Tompo karena kepalanya bentuknya mirip tompo. Tompo adalah semacam bakul dari anyaman bambu yang berbentuk kotak. Atau karena si anak ini pelat maka diberi nama Pelo. Karena banyak kudis di kulitnya si anak diberi nama Koreng. Untuk yang lain tak usah aku ceritakan di sini. Silakan kalian cari sendiri dan reka-reka sendiri mengapa mereka diberi nama itu.

Berburu Cincin SulaimanWhere stories live. Discover now