|16| Teman Sejati

859 103 5
                                    

Gading sudah bukan kaum rebahan yang tinggal menunggu malaikat maut menjemput, kini ia punya kehidupan yang sebenarnya. Menjalani karir yang telah ia miliki, dengan hati senang juga tanpa mengeluh walau merasa lelah.

Setiap hari, Gading selalu berdesakan dengan pengguna angkutan umum menuju kafe tempatnya bekerja. Sebenarnya, jarak antara rumah Bagus dengan kafe hanya tiga kilometer. Namun, Gading tidak mau bau keringat ketika bekerja, ia pun tidak mau menghabiskan tenaga dengan percuma. Memang jalan itu sehat, tetapi akhir-akhir ini, Gading mudah lelah jika kebanyakan beraktivitas. Mungkin, akibat usia yang semakin menua.

Sepatu hitam yang biasa ia gunakan untuk sekolah, kini Gading kenakan ketika bekerja. Ia tidak punya alas kaki formal lain selain itu. Mira memang memiliki uang banyak dengan pekerjaannya, tetapi ia sangat pelit jika mengeluarkan sepeser uang untuk Gading. Benar-benar kakak tiri itu, berbeda tingkat sayangnya dengan saudara kandung.

🍃🍃🍃

Semalam, Gading bermimpi kembali. Ibunya tersenyum indah memandangnya. Mengulurkan tangan dengan lembut, seperti ingin memeluk Gading dengan hangat. Namun, ketika Gading berlari ke arah ibunya, ada dinding yang tidak bisa Gading lewati. Dinding tak kasat mata yang kokoh, hingga mampu memisahkan mereka.

Namun, Gading tidak terlalu memikirkan mimpi itu. Gading berpikiran jika ibunya hanya kangen kepadanya, dan ingin bertemu walau sebentar.

Pagi ini, Gading sudah siap berangkat kerja. Mengenakan seragam berwarna cokelat tua kebanggaan, juga tas ransel tipis yang hanya berisi dompet, sarung dan ponsel. Bagi Gading, sarung adalah benda penting yang harus selalu dibawa. Sebab, ibadah selalu dinomorsatukan olehnya. Ketika mendengar azan, ia langsung bersiap salat, meninggalkan segala pekerjaannya.

Ia melangkah menuju depan komplek guna menunggu angkot yang lewat. Menyapa para tetangga yang akan berangkat kerja dengan senyum ramah. Walau hanya mendapat jawab deheman, Gading tidak masalah, yang penting ia sudah bersikap ramah kepada siapapun.

Dua puluh menit kemudian, Gading sampai di tempatnya bekerja. Membuka pintu dan bersiap menata meja kursi untuk para pelanggan. Sungguh, Gading lebih suka berkegiatan daripada hanya tidur di rumah. Apalagi, malah kepikiran mengenai masalah lalu, yang seharusnya dijadikan pelajatan dan dilupakan.

"Jadi anak baru tuh emang semangat buat kerjanya gede banget, deh. Pagi-pagi aja tatanan bangku udah rapi. Salut gue sama lo, Ding. Bos juga gak rugi nerima lo sebagai karyawannya," ucap Pepi, teman bekerja Gading.

"Bisa aja lo, Pep. Daripada di rumah bosen, mending datang kerja lebih pagi. Lebih menguntungkan juga, bisa belajar sama lo jadi barista kalau pelanggan belum datang."

"Ini udah rapi semua, kan? Ayok gue ajarin sekarang aja, lo juga udah banyak tahu tentang teknik barista. Gue jadi gak terlalu ribet buat jelasin."

"Beneran? Lo mau ngajarin sekarang?" ujar Gading memastikan.

"Tahun depan! Ya sekarang lah," Gading terkekeh dan mengikuti Pepi ke arah susunan mesin yang rapi.

Gading mengamati juga memperagakan teknik yang diajarkan oleh Pepi. Kemudian, menyunggingkan senyum ketika ia berhasil meniru.

"Lo emang keren banget, deh. Baru dua kali lihat udah langsung bisa. Emang dasarnya lo pekerja keras banget, Ding."

"Bisa aja, lo."

"Teknik lainnya, nanti atau besok lagi, deh. Kayaknya bentar lagi bakal ada pelanggan yang dateng."

Gading mengiyakan dan kembali dengan pekerjaannya. Ketika ada pelanggan masuk, ia pun langsung bertanya pesanan yang diinginkan. Sebenarnya, ini bukan tugas Gading, hanya saja teman yang bertugas untuk itu sedang berhalangan hadir. Jadi, Gading berniat untuk menggantikan tugasnya untuk hari ini. Toh, perilaku yang baik akan dibalas dengan kebaikan pula di masa depan.

🍃🍃🍃

Gading melamun kala angkot melaju ke komplek rumah Bagus. Memikirkan keinginannya untuk tinggal di kos atau kontrakan. Hingga tidak merepotkan Bagus lagi.

Namun, tabungannya belum banyak. Ia baru gajian sekali, sehingga ia harus menabung lebih rajin lagi. Tidak ingin menyia-nyiakan uang dengan hal yang tidak penting.

"Ntar gue gak usah makan aja, deh. Uangnya ditabung. Lagian pembantunya Bagus lagi cuti, gak ada makanan di rumah. Gak pa-pa laper hari ini, yang penting tabungannya banyak dan nggak ngerepotin Bagus lagi," batin Gading.

"Pak, Toko Haya, kiri," ucap Gading ketika sudah hampir sampai di tujuannya.

Sampai di rumah Bagus, Gading langsung mandi, dan terlelap. Suasana rumah sangat sepi, sebab Bagus belum pulang dari sekolah. Jadi, ia memilih untuk tidur dan menghalau rasa laparnya.

Bunyi keroncongan Gading abaikan, ia berusaha berpindah ke alam mimpi dan makan di sana. Memang tidak ada pengaruhnya, tetapi setidaknya ia melahap makanan, walau hanya dalam angan. Bagi Gading, lebih baik sekarang ia menahan lapar daripada terus-terusan merepotkan orang.

🍃🍃🍃

Bagus sudah memarkirkan motornya di garasi rumah. Langsung melesat masuk dan mencari makan di dapur. Seperti biasa, sepulang sekolah, perutnya selalu meronta ingin diisi. Maklum, tenaga telah habis untuk berpikir. Namun, Bagus biasanya membeli makan di kantin. Kali ini tidak, dengan alasan ingin makan bareng dengan Gading.

"Lah, gue lupa kalau Bibi lagi cuti. Mana tadi gak beli makan di warung. Bagus bodohnya udah mendarah daging memang," umpatnya dalam hati.

"Gading! Katanya lo pulang duluan? Lo dimana? Gading!" teriak Bagus dari meja makan, yang tidak mendapat jawaban apapun.

Tanpa ragu, Bagus naik ke lantai atas rumahnya. Mencari Gading di kamar, hingga ia melihat Gading telah menciptakan pulau besar di bantal. Bau tidak sedap pun mulai menyerang hidung bangirnya.

"Gading!" teriak Bagus kembali tepat di telinga kanan Gading, yang membuat Gading bangkit dari posisi tidurnya akibat kaget dengan suara mirip toa.

"Kenapa lo hobi banget ngagetin gue, sih? Untung gue gak punya penyakit jantung, kalau punya, bisa mati mendadak gue," Gading ngedumel dengan tangan kanan mengelus dadanya, yang jujur saja terasa sedikit nyeri. Namun, sekali lagi Gading meyakinkan dirinya bahwa ia baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan tubuhnya.

"Gue laper," adu Bagus seperti anak kecil.

"Terus?"

"Ayok makan ke warteg depan, gue yakin lo juga belum makan."

"Gue gak laper, Gus. Gue ngantuk, malah lo ganggu tidur nyenyak gue. Kalau mau makan, tinggal makan aja sendiri."

"Kalau lo males keluar, gue bikin mie aja deh. Lo juga laper, kan? Perut lo bunyi," Bagus terkekeh seraya pergi meninggalkan Gading di kamar.

"Perut bodoh, gak bisa diajak kerjasama," umpat Gading sambil menyusul Bagus ke dapur. Berniat membantu memasak mie untuk makan bersama.

Tidak lama kemudian, dua piring berisi mie sudah ada di hadapan Gading dan Bagus. Mereka melahapnya dengan rakus, sebab rasa lapar yang sangat kentara.

"Lain kali, gak usah terlalu perhatian sama gue," ucap Gading di sela-sela kegiatannya mengunyah.

"Terus, siapa yang perhatian sama lo? Diri lo aja bodo amat dengan keadaan lo, gimana kalau lo tiba-tiba mati karena kurang perhatian? Ntar gue gak punya temen."

"Alah sok manis, lo. Sini piring lo, gue cuciin," ucap Gading seraya merampas piring kosong di hadapan Bagus, dan segera mencucinya dengan lincah.

|Désespéré|

[TBC]

ODOC BATCH 2 DAY 16
5 Juni 2020

Désespéré ✓Where stories live. Discover now