Chapter 6. Pria yang Tak Ramah

7.4K 397 39
                                    



Sebelum aku menghubunginya atas saran Esmeralda, aku sama sekali tak mengenal Joaquin. Sejak kecil dia sudah menunjukkan tanda-tanda pemberontak, dan sering sekali dihajar ayahnya sampai babak belur. Dia tidak pernah mau menjaga adik perempuannya, apalagi sampai mengenal kawan-kawan adiknya. Seingatku dulu aku takut kepadanya. Namun jumpa lagi beberapa tahun kemudian saat kami sama-sama dewasa, dia tampak baik, dan suka menolong. Meski demikian, aku agak was-was dengan pekerjaannya. Kalau tidak terpaksa, tentu aku tak ingin merepotkan seorang bandar narkoba.

Semua orang tahu betapa bahayanya berasosiasi dengan orang-orang yang bergerak di bisnis kotor ini. Walaupun tak sedikit juga yang justru menghampiri karena prospeknya yang sangat menjanjikan selama tak tertangkap polisi, atau DEA. Kalau tidak hati-hati, yang hanya mengenal mereka, dan tidak pernah berurusan dengan narkoba sepertiku tidak mustahil ikut terseret, dan kena getahnya.

Namun, bagaimana lagi? Aku tidak punya pilihan. Saat kubilang ada banyak pekerjaan lain di Mexico untukku, semuanya tak terlepas dari kedekatanku dengan Joaquin.

"Ramonaaa," seru Joaquin seraya membuka lengannya lebar-lebar. Ia mengekeh, tampak sangat senang melihatku. Aku berdiri dan memeluknya. Joaquin tergolong cukup tinggi untuk ukuran pria Mexico. Aku membentur dadanya saat kami berpelukan.

Garis wajah pribuminya masih sangat jelas. Saat kami bertemu pertama kali di rumahnya di tepi kota, ia sedang asyik mengendarai kuda yang kutaksir harganya mencapai jutaan peso. Sosoknya dengan rambut diurai yang terbang terbawa angin mengikuti laju kuda mengingatkanku pada lukisan-lukisan di museum mengenai suku asli Benua Amerika. Saat kami kecil aku tak menyadarinya, tapi kini aku tahu mengapa Senor Samuel sangat keras kepada Joaquin kecil. Dia bukan anak kandung keluarga yang berdarah asli Portugis itu.

"Bagaimana perayaannya? Jauh lebih spektakuler daripada di Ensenada, bukan?" tanya Joaquin, masih tertawa renyah.

Aku setuju dengannya, "Menakjubkan sekali. Apa kau pernah ke sana?"

"Naaah, tidak," katanya sambil mengipaskan lengan di depan wajahku yang artinya meremehkan. "Aku sudah ke Gereja setiap Minggu dengan istri, dan anakku. Dan yang paling penting, aku memberikan donasi yang sangat besar ke Gereja, itu sudah lebih dari cukup untuk menebus dosa-dosaku. Oh iya... kamu mau minum apa?"

Aku hanya bisa mengulum senyum. "Apa di sini ada jus jeruk, atau apel?"

"Oh, Ramonaaa," kesah Joaquin sambil geleng-geleng kepala. "Ayolah, minumlah wiski, atau tequila. Minumlah bersamaku. Sedikit saja. Hitung-hitung sebagai perayaan. Aku sudah pastikan pada bar yang akan menerimamu bekerja, kau tak akan diganggu siapapun di sana. Kau akan betah. Ya? Satu gelas saja?"

"Jangan," tolakku pada rayuannya, ia bahkan sudah menuang sesloki tequila, dan menyambar sepotong jeruk yang disediakan di meja. "Aku sedang lelah, dan ini sudah larut malam. Aku tak ingin mabuk di jalan. Lagipula... aku baru selesai beribadah, setidaknya aku ingin menunggu sampai besok."

"Aku akan menjagamu," Joaquin mendesak. Ia menyodorkan tequila tadi padaku, sampai hampir menyentuh bibirku, tapi aku benar-benar sedang tidak ingin minum. Apalagi di tempat seperti ini. "Oh, sudahlah!" kata Joaquin kecewa, dan meminum sendiri satu shot tequila-nya. Sesudah meringis karena rasa tequila yang menyengat, dan tanpa menggunakan jeruk, ia mengulang pertanyaannya lagi, "Baiklah, kau mau minum apa tadi?"

"Jus saja, kalau mereka punya. Kalau tak ada cukup air mineral."

"Oke." Joaquin mengangkat tangannya. Otomatis, beberapa pemuda yang berjaga-jaga di sekitar sofa melingkar itu saling memberi tahu bahwa pimpinan mereka membutuhkan bantuan. Seseorang yang kelihatannya paling muda mendekat, dan dengan sopan bertanya apa yang bisa dilakukannya. Namun, Joaquin justru termenung sesaat, dan mengurungkan perintahnya. "Kau tahu, aku akan memesannya sendiri ke bar," katanya padaku.

The Gentlemen (El Hidalgo)Where stories live. Discover now